Thursday, February 18, 2010

STOP NGEBLOG


Haa, akhirnya harus membuat pengumuman juga kalo aku mo stop ngeblog barang beberapa bulan. Semester musim gugur sudah akan dimulai, jadi aku akan sibuk dengan riset, ngajar dan nulis. Mungkin tidak ada spot untuk nulis blog lagi, karena saban weekend-pun akan habis untuk ngerjain yang lain.

I'll come back one day:)

Anyway,
sampai ketemu kapan-kapan...

Wassalam,

Monday, February 15, 2010

A long way to China

Bulan Oktober 2009 lalu kami berkunjung ke Shanghai menghadiri sebuah konferensi di Tongji University. Benar-benar menarik, karena aku tidak bisa membayangkan seberapa besar ukuran bangunan, jalan, atau transportasi publik di sana. Pastilah huge! Karena itulah China!

Kehebohan perjalanan kami ke China dimulai beberapa bulan sebelumnya. Aku mesti urus tiket di Campus Travel sekitar tiga bulan sebelum berangkat karena aturan Curtin untuk perjalanan business (seperti konferensi), kita perlu menggunakan biro perjalanan resmi dari kampus agar memperoleh asuransi. Selain itu, aku ingin berangkat bareng my hubby, sehingga kami ingin dapatkan tiket murah.

Setelah tiket beres, kita mesti cari visa di Konsulat China. Aku masih pusing soal ini, karena paspor biru (paspor dinas) memerlukan visa atau tidak. Syukurlah ada teman dari Jepang yang memberitahukan bahwa paspor biru tidak perlu visa. Kita cuma perlu membawa surat perjanjian kerja sama China dan Indonesian Government untuk jaga-jaga. Akupun sempat bertanya ke Konsulat China berbekal info yang diunduh dari laman Konsulat China di Jakarta. Oleh karena itu, sekarang hanya my hubby yang datang dengan paspor hijau aja perlu mengurus visa. Prosesnya mudah, datang ke Konsulat China di Brown Street, mengisi form, taruh foto di sana, terus jemput tiga hari kemudian. Biayanya AUD50 kalau waktunya tidak buru-buru.

Benar kan, begitu di bandara Perth, pramugari darat yang mengurus check in bolak-balik menanyakan soal visa dan pasporku ini. Maklum, paspor dinas selalu bikin aku harus sabar menunggu, ditunda bentar, diliatin, etc. So, aku jelaskan kalo berdasarkan surat-surat dari website dan lampiran kerjasama China-Indonesia itu aku tidak perlu visa. Setelah 10 menit menunggu beliau menanyakan pada pihak imigrasi yang berwenang segala, barulah tiket kami diproses. Sabar ya, yang pada pake paspor biru! Kurang privilege kayaknya.

Pesawat Cathay Pasific yang akan kita tumpangi terlambat tiba di Perth. Otomatis, perjalanan kami ke Shanghai tentulah akan ditunda juga. Aku udah panik aja ngebayangin haruskah mengurus sendiri penerbangan lanjutan dari Hongkong ke Shanghai esoknya. Waktu transit hanya satu jam, sudah pasti telat, karena mesti cari gate, antri di imigrasi. Hongkong sama seperti Changi, merupakan airport tempat transit international dan gerbang ke negara-negara Far East, Eropa, Africa dan Asia lain. Tapi karena udah jam 1 malam dan aku ngantuk banget, akhirnya kuputuskan pasrah aja, jika sampai perlu nginep di bandara Hongkong sehari.

Baru duduk di pesawat dan siap untuk take off, kami didekati pramugari yang membawa kertas booking. Ternyata hanya suamiku yang dipesankan moslem meal, sedangkan aku tidak dipesankan oleh ibu agen tour yang sempet bikin kesel itu. Aku kecewa, karena meal seperti itu biasanya tidak selalu ada di fridge mereka. Moslem meal, Kosher (Jews meal), Hindu Vegetarian, kids meal, semuanya disediakan khusus menurut regulasi agama ybs. Ini jadi pelajaran untuk selalu cek semuanya dengan teliti dan tidak menyerahkan apa-apa saja ke orang-orang yang mengurus kita. Syukurlah mereka masih punya stok vegetarian Hindu yang penuh kari sayuran. Selama halal, aku ga keberatan.

Pesawat Airbus A330 Cathay ini super keren (maklum,orang kampung). Tadinya aku terheran-heran liat Business Class yang super nyaman karena bisa selonjoran. Ternyata punya kita ga terlalu buruk. Ada screen individual di depan kursi, lengkap dengan bantal dan selimut. Lebih gembira lagi karena penerbangan malam itu cukup sepi, maka aku dan mas bisa dapatkan empat kursi jejer gratis! Keren banget! Bisa tidur selonjoran juga nih, tiket ekonomi tapi fasilitas bisnis! Dua screen, dua selimut dan dua bantal untuk tiap orang... hehehe. Jadi ga enak ma bule-bule di samping kita yang cramming di tempat duduk mereka. Oya, tempat duduknya nyaman banget, ada tempat kepala, terus kursinya bisa distel turun dan tempat duduknya memanjang. Awesome!

Pagi-pagi setelah ngetem bentar di toilet, aku shalat shubuh di pesawat. Terus kuperhatikan my hubby ga tidur-tidur, apa ga pusing? Astaga, beliau udah nonton 3 film sekaligus tanpa capek? Lagi-lagi pas sarapan, aku dapat menu vegetarian (kononnya, tapi kok ada salami di salad?). Mbak pramugari berusaha membantuku merubah booking form, supaya dalam perjalanan kembali ke Perth aku dapat moslem meal. Thank you banget, mbak Kim Jo!

Sesampainya di Shanghai, kita harus buru-buru ke gate. Manajemen Cathay Pasific bagus banget, walaupun telat, mereka langsung menyediakan boarding pass kita. Jadi semua yang ada penerbangan lanjutan ke Tokyo, London, US, Shanghai, Taiwan, etc, tinggal ambil boarding pass dan cabut ke gate masing-masing. Sambil buru-buru mencari gate, kita mesti lewatin entry point tertentu. Di sini jangan salah, karena waktu mepet, antrian masuk panjang, jadi mesti lihat dulu masuknya dari mana. Kalau balik lagi kadang sudah tidak bisa. Hiks!

Begitu sampai di gate, kita udah ditunggu bis ke pesawat Dragon Air. Wuih, masih nge bis nih? Dengan lari-lari agak sutriss, aku dan hubby naik ke shuttle gede. Seperti waktu di Jeddah, masih pake shuttle aja ke pesawat. Sayang, kita tidak sempat melihat Hongkong yang terkenal itu. Aku cuma sempet liat dari pesawat kalo Hongkong dikelilingi perbukitan dan banyak gedung-gedung tinggi. Mungkin satu hari, janji kami berdua, kita akan mampir di Hongkong.

Lagi-lagi, menunya masih belum ditukar juga. Kata beliau, kalau mesen meal khusus itu, at least 72 hours before departure. Ya sudahlah, aku makan aja salad dan menu vegetarian lagi. Desertnya es krim Haagen Dazs! Yum, jarang-jarang di pesawat dapet es krim mahal. Emang keren, nih, penerbangan ke China. Setelah itu tanpa kusadari, aku dan hubby udah ketiduran, karena perjalanannya sekitar 2.5 jam dari Hongkong ke Shanghai.

Begitu menjejakkan kaki di bandara Pudong, Shanghai, kita langsung heran. Bandaranya guedeee banget, dan kita jalan berkilo-kilo meter, upps, mungkin hampir sekilo meter untuk masuk ke custom. Sampai di custom, tempat antriannya puanjanggg banget, bukan yang ngantri, tempat antrinya doang. Aku ga kebayang kalo bandara lagi rame! Bisa berapa juta orang dilayani dalam sehari? Begitu sampe deket antrian itu, kami masih harus revisi form masuk dan kesehatan dari imigrasi, jadi yang terakhir masuk ke custom. And... no problem ma pasporku, soalnya paspor dinas bukan barang aneh di China. Yippie!

Perjalanan belum berakhir, masih harus ambil koper dan melewati scanner. Alamak, semua super jumbo di China! Conveyor beltnya, kalo di Perth, kecil banget (apalagi di Pekanbaru), wah, kalo di sini, gede-gede banget! Sampe koper kita yang cuman tinggal dua biji itu muter-muter lama satu putaran. Kita masih excited, ecstatic, terutama saat jalan ke stasiun Maglev.


Kita berencana naik Maglev dari airport ke Longyang Rd Station. Kapan lagi... yang jelas semua transportasi aneh-aneh dunia mesti dicobain satu-satu. Karena kami tinggal cuman 7 hari, aku dan hubby putuskan ambil return ticket yang expired minggu depan seharga 80 Yuan. Belinya pake bahasa Inggris aja, toh di depan loket ada microphone kecil, jadi mereka bisa dengar dengan jelas apa yang kita mau. Tempat nunggunya juga penuh, seru, rame dengan berbagai macam orang yang foto-foto di depan poster maglev. Kita tidak bisa nunggu di samping rel, seperti naik train di Perth. Mungkin untuk alasan keamanan, jadi begitu Maglevnya datang, kita baru dipersilakan masuk. Sayangnya ga ada akses untuk koper, mesti angkat sendiri lewat elevator. This is China, jadi pastikan, hati-hati saat berdesakan, sabar dengan antrian panjang, dan be careful, copet!

Wow, begitu melihat maglev, kita kembali excited. Kita cepat-cepat masuk dan cari tempat duduk. Ada tempat bagasi juga, jadi barang tinggalin aja di sana. Berdebar-debar juga naik Maglev ini. Mana ga ada seat belt lagi. Padahal katanya saat siang hari, kecepatan maksimumnya sampe 432 km/h. Aku masih had no idea seberapa cepat si Maglev ini berjalan, jadi masih berharap betul-betul impressive. Begitu jalan... alamak! Apalagi pas mulai berjalan miring dan menambah kecepatan sampe 430 km/h, dan pas lagi kenceng gitu papasan ma Maglev lain, lagi! Kupikir ada tabrakan! Kenceng banget suaranya! Jederrr!!!

Perjalanannya ga lama, cuman 10 menit gitu dengan jarak tempuh 30km dari airport-Longyang Station. Kita langsung keluar mo nyari taxi ke Magnolia Hotel di Siping Rd dekat Tongji University. Tetapi, masih sempet juga foto-foto berlatar belakang stasiun Maglev sebelum nyari taxi.

Di tempat antrian taxi, begitu melihat taxi yang katanya bagus seperti blue bird, berwarna toska, kita buru-buru nyamperin drivernya. Aku sudah siapkan tulisan bahasa China, yang isinya ”Mr Driver, please take me to... ke nama dan alamat hotel”. Semua itu dapatnya di website hotel. So, supir taxi kita langsung paham, walopun kita ga bisa omong Chinese language.

Saat di taxi, pemandangan yang dihamparkan begitu berbeda dengan tempat kita tinggal. Padat, penuh orang naik sepeda, tapi banyak mobil bagus, bis, di kiri-kanan penuh apartment, rumah, pemukiman, sayang semuanya kelabu berdebu. Memang di sini, tingkat polusi udaranya tinggi sekali. Pohon-pohon aja berwarna hijau kotor. Udaranyapun ga bersih seperti saat Pekanbaru penuh asap. May be it is not a nice day!

Setelah muter sana-sini, lewatin jembatan gede, berbagai persimpangan, etc, akhirnya kami sampai di Magnotel, Sipping Road, dekat Wujiaochang Commercial Area. Aku sempet panik, kok Magnotel? Bukannya Magnolia Hotel? Eh, ternyata itu singkatannya. Lumayan, dari Longyang ongkos taxi sekitar 50Yuan, dan bisa minta receipt, walo tadinya drivernya ga ngerti aku minta apa. Tapi terus dia tunjukin mesin receiptnya dan print-print... eh, kita berdua sama-sama gembira, karena dia paham aku minta receipt. Ada-ada saja...

Hellow... kataku begitu masuk ke hotel. Seperti hotel-hotel lainnya…

Tapi, hey, we’re in China!

Perth,
Wanna see China again!

Friday, February 12, 2010

‘Dibunuh’ Gadget


Saat handphone sudah mulai banyak digunakan orang, sepuluh tahun yang lalu, aku pernah membaca bahwa jenis-jenis handphone tertentu dapat memicu penyakit kanker otak karena radiasi yang tinggi. Hingga kinipun berbagai riset mengenai hubungan pemakaian handphone dan kesehatanpun sudah banyak diterbitkan di media massa. Nah, bukannya pemakai handphone semakin berkurang, tetapi malah tiap orang punya lebih dari satu handphone. Bukan main...

Walaupun para ahli belum menerbitkan informasi sangat resmi mengenai hubungan antara kanker otak dan handphone, tetapi pengaruh jangka panjangnya sudah pasti akan terlihat dalam waktu dekat. Jika booming ha-pe diperkirakan mulai sepuluh tahun lalu (waktu itu aku pake ha-pe tebal dengan antenna gede, hehehe) maka kita perlu segera mewaspadai gejala meningkatnya penderita kanker otak beberapa tahun mendatang. Para ahli tengah menunggu meledaknya penyakit akibat penggunaan ha-pe beberapa tahun lagi. Tetapi, jangan menunggu penelitian tersebut, karena apa yang kita gunakan sekarangpun sudah termasuk berbahaya. Selagi dapat, jangan bertelepon terlalu lama hingga ha-pe mengeluarkan panas/radiasi energi. Kurangi paparan ke radiofrequency electromagnetic energy dengan memakai hands free, speaker phone atau mengurangi waktu bertelepon menggunakan ha-pe.

Gadget lain yang perlu diwaspadai adalah ipod atau mp3. Masalahnya, orang sering mengeraskan volume suara musik melalui mp3 mereka atau memakainya berjam-jam non stop. Akibatnya mereka akan mengalami kehilangan pendengaran bertahap. Dulu aku adalah pemakai walkman sejati waktu masih SMP-SMA. Rasanya aku sempat mengalami masalah sedikit dengan pendengaran telinga kiri hingga saat ini. Karena aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi, maka aku hanya bisa menjaga apa yang tersisa. Untuk menghindari masalah kehilangan pendengaran, coba kecilkan volume mp3 sampai kita bisa mendengar teman yang jaraknya hanya sepanjang tangan tanpa dia perlu berteriak. Jika kita tidak bisa mendengar, itu artinya ada problem dengan pendengaran kita. Saat ini, akupun sudah harus mematikan mp3 jika ada yang nanya, dalam bahasa Inggris, tentunya, hihihi.

Komputer lain lagi. Selain dituduh menyebabkan kebungkukan bagi yang duduk di depan komputer 6-8 jam sehari, juga bisa merusak mata kita. Kita bisa bungkuk, jika tidak duduk dengan punggung yang tegak di kursi, dan lama-lama paru-paru serta jantung bisa tertekan sehingga mengurangi aliran darah dan oksigen. Oh, itu sebabnya aku sering pusing lama-lama di depan monitor. Berhubungan dengan aliran darah, rupanya. Mata kita juga bisa rusak, jika kita kurang relaksasi setelah menatap komputer terlalu lama. Usahakan berhenti sesekali, jalan-jalan atau stretching di tempat duduk. Sedangkan untuk menjaga mata coba sering-sering berkedip, tapi jangan terlalu sering di depan dengan boss, bisa-bisa dikira naksir.

Ada masalah baru bagi penggemar Blackberry atau iphone/ipod dan segala touch screen phones. Ternyata jempol kita bisa bengkak atau nyeri karena sering digunakan untuk ngetik-ngetik banyak hal dengan gadget sekecil dompet itu. Idealnya pakai keyboard kalau messagenya panjang. Selain itu leher dan punggung bisa nyeri karena kita rajin membungkuk waktu mengetik message dengan screen yang kecil. Coba sering-sering stretching untuk tangan dan punggung, apalagi setelah ngetik email panjang lebar atau artikel untuk Facebook mu. Ampun deh, hari gini, masih sempet juga ngetik pake keyboard sekecil kuku gitu!

Perth,
Take care of yourself...

Tuesday, February 9, 2010

Gengsi



Hari ini aku pengen banget ngobrol tentang GENGSI. Soalnya sudah berhari-hari sedang memikirkan sesuatu yang menurutku terjadi karena gengsi. Sebenarnya apa yang mau digengsikan, toh rezeki sudah di tangan Allah. Tapi ya begitu, manusia, malu kalau tidak pasang gengsi.



Beberapa hari lalu aku ketemu mbak-mbak dari Indonesia di pusat perbelanjaan. Karena sudah beberapa kali tiap berjalan ke sebuah toko lalu ketemu, aku jadi tidak enak tidak menyapa.


Setelah basa-basi dikit, aku diberitau jika beliau dan keluarganya masih akan tinggal di Perth sekitar setengah tahun lagi. Soalnya masih harus membantu dosennya mengajar kelas. Biasanya memang banyak Postgrad yang kebagian ngajar kelas atau lab, jadi aku maklum alasan itu. Kemudian beralih ke omong-omong soal tesis dan kapan ngumpulinnya. Menurut mbak tersebut, tesis akan dikumpulkan setelah jadi buku. Disuruh nulis buku sama pembimbing, dan berhubung banyak bab sampe 11 bab, jadi agak lama nyeleseinnya. Akupun sibuk ber-oh, eh, wow, dstnya.


Terus, saat aku tanya untuk kedua kalinya si mbak ambil jurusan apa, si mbaknya bilang, “Oh, yang sekolah itu suamiku, kalo aku sih ga sekolah,”


Bengong ga, tuh? Jadi dari tadi kita ngebicarain suaminya?


Aku pikir, ya aneh juga yang ditanya dari tadi mbaknya kok, tapi kok dijawab mengenai suaminya. Yang paling lucu, semuanya tentang kerjaan suami tapi seolah-olah mbaknya yang sedang sekolah.


Yo wis, lah, mungkin mbak itu agak gengsi kalo ngaku ‘ikut suami’ di sini. Setahuku mbak tersebut sudah bergelar Master juga.


Persis sama yang pernah kurasakan. Sebenarnya aku juga sekolah di sini, tetapi seringkali kalau ketemu teman lama di Facebook, biasanya pada nanya, kok aku tinggal di Australia, lagi ikut suami sekolah ya? Sekali dua kali sih, aku masih bilang, enggak, aku juga sekolah…


Tapi lama-lama, ya ngapain gengsi kalo dikira ikut suami? Toh, kita sebagai istri memang harus selalu ikutan suami kok.


Jadi, kalau ada yang nanya begitu lagi, aku akan jawab, “Iya, mas/mbak, lagi ngikut suami, ni”


Tak perlu ikutan nerangin masalah teknis sekolahnya seperti apa dan tesisnya udah sampai di mana.


Udah pusing ma tesis sendiri, kok.


Kalau kata suamiku tercinta, untuk apa gengsi-gengsian. Enakan adem-ayem, tentrem, ga perlu berantem demi gengsi. Dipikir-pikir, iya juga sih.


Gengsi itu mungkin terjadi karena kita selalu merasa ingin dianggap hebat, paling dulu tau, paling dulu punya, atau jadi sumber rujukan. So, ga asik dong, kalo dianggap kuper, sederhana, tidak trendy atau gaul. Mungkin perlu diingat juga, gengsi itu sebagian dari sombong, menganggap diri sendiri lebih baik dari orang lain. Mungkin juga gengsi keluar karena sikap defensif kita yang tidak ingin diremehkan orang, sehingga perlu untuk menyombongkan diri terlebih dahulu.


Apapun itu, mungkin terima dengan lapang dada sajalah kalau kita memang belum mampu atau belum layak. Rezeki itu kan di tangan Allah, jadi Allah yang menentukan apakah sudah saatnya kita mendapatkannya atau tidak. Jangan gengsian kalau belum sampai di sana, tetaplah berdoa dan berusaha:)



Perth,

Sedang belajar mengurangi gengsi, karena aku toh tak sempurna…

Saturday, February 6, 2010

Tips menabung (1): untuk Karyawan


Ingin menabung, kok tidak bisa-bisa juga, pengalamanku suatu waktu yang lalu. Kemana saja semua pendapatan, padahal pengeluaran tidak terlihat. Pada ngalami hal yang sama ga, teman-teman?

Saat baru mulai kerja dulu, maklumlah, yang namanya dosen ce-pe-en-es itu, gaji kita ampiun, kecil banget. Untunglah masih single, numpang ma ortu pula, sehingga tidak terlalu berat. Setelah beberapa saat mengalami siklus gali lubang tutup lubang melulu, akhirnya aku mengambil langkah-langkah pengamanan pada sumber pendapatanku. Nah, kayaknya tips ini tidak pandang bulu buat yang bergaji kecil atau besar lo. Yang penting, ada sumber pendapatan, terus keinginan untuk menabung.

a) Buat anggaran dan catat tiap pengeluaran
Sebaiknya tiap bulan, kita membuat anggaran belanja. Gampang aja, misalnya sewa rumah, transportasi (bensin/karcis bis), toilettries (sabun, tissue), stationery (kalau pelajar: buku, kertas, pena), food (makanan), komunikasi (pulsa, kartu telepon), zakat profesi (2.5% pendapatan bruto) dan sedekah. Biasanya food dapat anggaran terbesar, dengan catatan, biaya makan-makan di resto tidak terlalu besar. Kalau sudah dapat anggarannya, tinggal mengatur yang lain. Buku catatan juga diperlukan untuk mencatat total berapa pengeluaran dan pemasukan. Minimal bikin kaget ternyata kalau ga sering-sering keliling mal, ternyata bisa menghemat beberapa ratus ribu sebulan. Ya gag?

b) Buat dua rekening bank
Aku punya rekening bank biasa untuk transaksi gaji dan satu lagi rekening di bank yang tidak pakai fasilitas apa-apa termasuk ATM. Kuncinya di situ, semakin sulit akses kita ke sana, maka semakin tidak kepengen kita ngambil uangnya. Jadi untuk menabung, aku gunakan rekening di bank yang tidak ber-ATM tadi.

c) Bayar diri sendiri terlebih dahulu
Begitu anggaran di atas jadi, biasanya anggaran memakan 1/2-2/3 pendapatan. Berarti sisanya bisa dipatok sekitar X untuk masuk ke tabungan begitu gaji diterima. Jika perlu, datang sendiri ke bank untuk menyetor pada tanggal 5 tiap bulan. Setelah rutin sekitar 6 bulan, kita akan lebih termotivasi untuk menabung karena melihat tabungan kita mulai bertambah.

d) Bonus
Kalau dapat bonus di luar gaji, biasanya aku sisihkan jumlahnya untuk diberi pada ortu (dikit juga tak mengapa), tabungan (10-30% dari jumlah bonus), dan belanja keperluan tertentu seperti pakaian baru, tas atau sepatu. Jika bonus tidak ada, maka bisa dipastikan aku tidak akan mengeluarkan anggaran khusus untuk membeli pakaian. Tabungan dari bonus ini, bisa dipakai untuk anggaran jalan-jalan. Tiket pesawat dan hotel kan tidak membutuhkan biaya sedikit.

e) Investasi
Setelah tabungan rutin bulanan mencapai jumlah tertentu, bergeraklah membuat deposito, tabungan haji, tabungan pendidikan atau tabungan pensiun. Uang yang akan ditabung bisa dibagi dalam persentase, misalnya tabungan haji 25%, pendidikan anak 20%, pensiun 30%, tabungan biasa 25%. Investasi jenis lain misalnya membeli rumah kedua, tanah ataupun emas batangan bersertifikat.

f) Disiplin dan jangan gengsian
Berdisiplin dalam membelanjakan uang itu sulit sekali. Makanya jangan sering-sering nongkrong di mal atau kalau pusing ke mal. Kita akan cenderung mengeluarkan uang lebih banyak kalau lebih sering ke pusat perbelanjaan. Sebab itulah aku berusaha belanja tiap Sabtu saja. Kalau pakai hari-hari lain, bisa dipastikan jadi numpuk, soalnya udah sayang waktu dan biaya ke sana.

Rasa gengsi juga jangan dipelihara. Kalau belum sama, kok gengsi ya. Kalau belum punya, kok kurang ok rasanya. Memang itu butuh kerja keras untuk menghilangkan rasa gengsi. Biarlah dikira ga punya, padahal misalnya punya tabungan banyak di bank, hehe, kan ga kalah gengsi. Ini cuman masalah mind-set aja, jadi silakan diperbaiki.

g) Rajin mengeluarkan zakat dan bersedekah
Jangan lupa kalau sebagian harta yang kita miliki juga ada hak orang lain padanya. Keluarkan zakat profesi (bruto, belum dikurangi penggunaan, kata ulama untuk menutupi hal-hal yang mungkin pernah kurang kita keluarkan), sedekah kecil tapi rutin, serta zakat mal dari hasil investasi kita. Tidak perlu merasa kurang, karena beribadah bukan berdasarkan kalkulasi otak, tetapi karena keyakinan dan ketakwaan kita pada Allah SWT dan pahala dariNya.

h) Besar pasak daripada tiang
Sederhana saja, jika besar pengeluaran daripada pemasukan, maka bisa dipastikan kita akan nombok. Supaya tidak nombok, cari pekerjaan tambahan atau mengurangi pengeluaran.

Buat teman-teman yang merasa perlu sekali untuk memperbaiki pengelolaan keuangannya, silakan baca-baca buku mas Safir Senduk.
Link judul-judulnya ada di http://www.bukabuku.com/search/index?searchtype=author&searchtext=Safir%20Senduk

Selamat mencoba,

Perth,
hemat pangkal kaya:)

Wednesday, February 3, 2010

Curhat para koki


Dulu kalau baca Femina kolom Gado-gado, banyak sekali cerita-cerita tentang pengalaman orang yang sedang kuliah di luar negeri berusaha memasak makanan Indonesia. Penuh perjuangan, karena kepengen makan sesuatu tetapi harus bikin sendiri. Ternyata pulangnya jadi pada pinter masak dan ada yang selebriti chef di majalah wanita Femina seperti mas Ferdi Hasan.

Pekerjaan rumah yang kurang kugemari sebenarnya memasak. Berhubung aku tidak punya keahlian memasak, jadi pekerjaan ini bisa gampang-gampang susah. Hasilnya kadang enak, kadang tidak. Padahal di kalau tinggal di negeri orang, kita tidak bisa sering-sering makan di luar atau cari tukang masak. Lha wong, bahan makanan dan tenaga kerja mahal, so pasti harga masakan jadi juga mahal. Mau tidak mau, ya harus tetap memasak, dong.

Tugas memasak ini ternyata bukan cuma kerjaanku. Teman sekantorku Hakim, iya, H-A-K-I-M, lelaki, suami kak Mai, ayah dari tiga orang peri cilik yang manis-manis, menjadi koki di rumah tangganya. Si ibu peri, kak Mai sudah kerepotan mengurusi para peri-peri tersebut, jadi tugas memasak adalah tanggung jawab bang Hakim. Kelihatannya Hakim piawai betul memasak. Rendang, gulai, mie goreng, nasi ayam, laksa, semuanya bisa. Kalau ada acara makan-makan, Hakim akan masak banyak sekali, seperti akan baralek aja. Sehari-hari, tiap pagi dia udah sibuk di dapur menyiapkan sarapan sambil memasak makanan untuk siang dan malam. Setelah kelar, barulah ia datang ke kampus mengerjakan tesis. Iapun pergi berbelanja daging dan sayur sendiri lalu pulangnya memasak.Lucunya koki lelaki, jarang terdengar keluhan seperti, hmmh, hari ini masak apa ya? Kayaknya mereka terus saja memasak, yang penting ada hidangan tersedia di atas meja. Tidak ada rasa bosan, mungkin karena itu sudah jadi kewajiban. Yang tidak dapat diterima Hakim awal-awal sekolah di Perth ini, adalah, konon kak Mai mau semua makanan serba segar. Jadi kalau bisa, lauk pagi jangan dihidangkan lagi saat makan siang atau malam. Kudu dimasak yang baru lagi untuk makan berikutnya. Sambil meringis, Hakim menggerutu, "tak boleh, mana ada waktu".

Bener juga, ya?

Kalau teman sekantorku yang lain, ncik Hani memasak untuk suami dan anak-anak setiap saat. Awal-awal datang dulu, tiap hari buat roti, cemilan, kue, semuanya enak-enak dan so pasti aku kebagian. Sayangnya cik Hani suka kehabisan ide, karena terlalu rajin. Jadi aku suka liatin website resep untuk membantu Hani mendapatkan ilham dalam memasak. Kata cik Hani, suaminya suka masakan berlemak, jadi ia harus pintar-pintar menahan diri tidak selalu masak berlemak. Anak-anakpun malas makan sayuran sehingga Hani harus pintar mendekorasi makanan supaya sayurnya tidak terlihat. Suamipun minta makanan fresh setiap saat. Padahal Hani sudah sebegitu sibuknya di lab, masih juga sempat memanjakan suami dan anak-anak yang punya berbagai permintaan, misalnya mie goreng, roti, kari ikan dalam satu waktu.

Ck ck ck, hebat nian temanku ini.

Kembali ke aku. Well, aku cuman koki amatir. Kalau kepengen sesuatu dan setelah bisa membuatnya dengan rasa lumayan, aku akan terus-terusan masak makanan tersebut. Baru-baru ini aku bisa bikin sambel terasi. So, menu tiap hari ikan goreng, ayam goreng atau telur goreng plus sambel terasi. Selagi belum bosen, sih. Syukurlah suamiku tidak cerewet dan suka makan apa saja. Mau salad pahit, tahu goreng, asam pedas ikan atau cuman kari telur, semuanya dilahap. Sebenarnya dipikir, lumayan juga sebenarnya aku tidak terlalu lama di dapur untuk memasak macam-macam. Jika sedang baik hati, aku masak ekstra, misalnya sushi, bihun goreng atau sate padang. Jika sedang sibuk sekali, apa saja yang penting cepet dan enak, pasti dengan senang hati diterima suamiku.

Sekarang saat sibuk-sibuk begini, barulah kusadari bahwa kami bertiga walau sibuk setengah mati dengan riset, sudah tidak masalah dengan masak-memasak. Malah kadang kupikir kalau sedang stress aku akan memasak macam-macam makanan. Jarang sekali terdengar keluhan-keluhan seperti saat baru datang bersekolah di sini, soal masakan, permintaan keluarga atau giliran berbelanja. Bahkan kami bertiga sering bertukar resep dan hasil masakan sendiri.

Yah, kali aja kita bertiga memahami sesuatu... bahwa kegiatan memasak selain ibadah bagi keluarga, juga merupakan bukan pelipur lara di tengah kepusingan riset~

'untuk release tension' kata Hakim dan Hani!

Setuju:)

Yah, begitulah kehidupan.

Perth,
memasak bisa juga untuk refreshing:)