Monday, November 28, 2011

Gaya Belanja Impulsif

Lionel says: Lionel Jonathan Louis was walking down the streets when he heard his name being called, he turned around and saw a pair of shoes on display waving and shouting his name louder. Let's just say this story has a happy ending :)

 Monita Olivia says: oh Lionel, what a happy ending between you and the shoes:)

 Aku hanya bisa terkikik geli membaca status temanku yang suka makan dan belanja itu. Hidup di Singapura yang identik dengan surga belanja sudah pasti tidak dapat mematikan nafsu konsumtifnya selama ini. Dari statusnya, bisa kutebak kalau Lionel sedang mencari pembenaran untuk sikapnya yang menyerah kalah pada ‘panggilan’ sepatu di etalase tersebut.

Bagi yang suka berjalan-jalan di mall, pastilah tahu rasanya. Apalagi kalau jalan-jalannya saat awal bulan. Rasanya semua baju-baju, sepatu-sepatu, tas-tas, aksesoris yang terpasang di manekin dengan lembut memanggil-manggil nama kita dari balik etalase, seperti dalam cerita Lionel. Kita berhenti di depan barang-barang itu, lalu diam-diam melirik ke dalam toko. Mata kita terpaut pada barang-barang lain yang ditata apik dan terlihat ‘catchy’ di meja pajangan. 

Pelan-pelan kita melangkah ke dalam toko, dan hahaha…

Kita keluar dari toko menenteng dua-tiga tas belanjaan dengan riang. 

Tetapi saat tiba di rumah, barulah kita sedikit menyesal. Rasanya kita belum terlalu butuh barang itu.

 Familiar, kan?

Penyesalan sering terjadi karena mayoritas barang-barang yang dibeli sebenarnya belum terlalu diperlukan. Gaya belanja impulsif yang dilakukan tanpa pikir panjang tadi hanya semacam terapi emosi sesaat. Awalnya kita merasa gembira saat menenteng tas belanjaan, tanpa menyadari kalau perasaan menyesal belakangan bakal jadi lebih besar dampaknya pada ketenangan batin.

Gaya belanja impulsif ini tidak hanya melanda miss and mas jinjing yang hobi ke mall. Kurasa ibu-ibu maupun aku sering mengalami sendiri gaya belanja impulsif saat ke pasar tradisional. Apalagi saat melihat sayur-mayur yang segar-segar, wuih, biasanya aku mulai main ambil sambil berpikir kalau kami memerlukannya. Buah-buahan beraneka warna untuk snack yang so pasti sehat. Mm, minggu ini barangkali sudah jadwalnya makan seafood (biar tidak sering-sering lalu kena asam urat). Tahu, tempe, sayur asem, wah, wah, seger juga! Hubby cuma bisa geleng-geleng sambil menunjuk keranjang belanjaan, “apa ini ga kebanyakan untuk seminggu?” Ahem, aku pura-pura tidak mendengar sambil bergerak menuju kasir.

Sikap impulsif dalam berbelanja ternyata dapat diperbaiki. Prita Ghozie dalam buku ‘Menjadi Cantik, Gaya, dan Tetap Kaya’ memberikan saran-saran sebagai berikut:

(a) Kurangi acara ngadem di mall atau browsing di online store. Jika rute berangkat kerja melalui kompleks perbelanjaan, usahakan untuk memusatkan perhatian pada hal-hal lain selain rasa ingin belanja.

(b) Buat daftar belanjaan saat sebelum berbelanja. Periksa isi lemari es dan tempat penyimpanan bahan makanan supaya tidak membeli bahan makanan yang sama berkali-kali. 

(c) Buat wish-list untuk barang-barang mahal dan makan di resto mahal. Prita menyarankan agar kita membuat a wish list, semacam catatan keinginan dan saat kita menginginkannya. Kita baru boleh berbelanja satu item di wish list setelah satu bulan. Hanya satu item per bulan. 

(d) Bawa uang tunai secukupnya. Jika kita memang sangat ringan tangan saat mengulurkan uang elektronik ke kasir, maka kita harus tega untuk meninggalkan kartu-kartu (debit, kredit, ATM) di rumah.

(e) Gunakan budget saat berbelanja. 

(f) Pikirkan baik-baik apakah kita hidup untuk saat ini saja atau masih ada hari esok? Sukakah kita jika setiap bulan uang kita hanya tersisa sedikit saja? Bagaimana dengan rencana-rencana keuangan lain, rumah, kendaraan dan liburan? Kurasa pikiran seperti ini akan cukup manjur untuk mengerem sikap impulsif kita dalam berbelanja.

Semoga bermanfaat ya.

Prita ada di www.zapfin.com

Pekanbaru,

Thursday, November 24, 2011

Dedikasi Sang Mantan PM


Ingat kisah mantan Perdana Menteri Kevin Rudd yang pernah kutuliskan di sini? Sebenarnya aku punya kelanjutan cerita mengenai beliau, tapi tak pernah sempat kubagi. Ini mengenai dedikasi beliau yang konsisten pada negaranya, meskipun sempat terdepak dari kursi Australia 1 beberapa bulan sebelum itu.

Wajah sedih Kevin Rudd masih sering membayangi. Publik tidak pernah menyangka peristiwa ‘penggeseran’ tersebut akan menghiasi sejarah negara mereka. Meskipun terjadi pro dan kontra, peristiwa pelengseran tersebut membuat masyarakat antipasti dengan cara yang digunakan dan berbalik simpati pada Kevin Rudd.

Di bawah bayang-bayang Perdana Menteri baru, beliau ternyata tidak duduk diam berduka cita kehilangan jabatan. Sesuai dengan janji beliau pada saat pengunduran, beliau tetap ingin mengusahakan kemenangan partai Labour (Buruh) di daerah konstituennya. Beliau tetap melakukan ‘road show’ berkeliling daerah, seperti memasuki pusat-pusat perbelanjaan, berpidato di depan publik lokal, dan melakukan kegiatan sosial, untuk memastikan kemenangan partai Buruh.

Beberapa bulan kemudian, perjuangan beliau memberikan hasil yang memuaskan. Saat PEMILU diadakan, partai Buruh tetap memang di daerah-daerah konstituennya. Untuk dedikasi beliau tersebut, maka PM Julia Gillard memberikan posisi Menteri Luar Negeri kepada Kevin Rudd. Posisi ini diyakini sangat cocok bagi Kevin Rudd yang terlihat lebih luwes di kalangan internasional dengan kemampuan inter-relasi dan kesukaan pada budaya asing.

Dedikasi beliau untuk berpartisipasi dalam politik memang tidak terbantahkan. Sebagai politisi terkaya ketiga di Australia, Kevin Rudd tentulah tidak mempunyai tendensi ekonomi. Beliau hanya ingin bekerja keras untuk memajukan negara dalam jabatan apapun yang harus disandangnya. Karena itulah, sebelum terpilih kembali menjadi pejabat negara, beliau tetap muncul di layar publik bekerja untuk kemenangan partai dan kemungkinan posisi sebagai wakil Australia di PBB.

Di balik pro kontra sepak terjang Kevin Rudd dalam dunia politik Australia, aku telah belajar beberapa hal:
a)     Kehilangan sebuah jabatan bukan berarti sebuah kemunduran dalam hidup. Kita masih tetap bisa berkontribusi pada sebuah instansi/institusi dengan peran-peran lain yang lebih sesuai.
b)     Beliau menunjukkan bahwa semangat dan dedikasi dapat dijaga jika tujuannya murni untuk rakyat dan negara. Untuk kasus kita, apatah lagi bagi Sang Pencipta.
c)     Beliau tidak malu atau merasa gengsi saat dipanggil kembali untuk membantu dalam pemerintahan dengan jabatan yang berbeda. Semangat dan dedikasi beliau tetap sama. Beliau juga tidak enggan bekerja sama dengan orang yang telah melengserkan beliau dari jabatannya.

Tidak lama terpilih menjadi Menteri Luar Negeri yang baru, Kevin Rudd sudah muncul lagi dengan berseri-seri di televisi dengan isu dan jabatan berbeda. Tetapi kali ini beliau tampak lebih santai dan dapat mengendalikan diri dalam menjalankan tugasnya, seperti seseorang yang ingin memperbaiki kesalahan-kesalahannya terdahulu.


Pekanbaru,

Wednesday, November 16, 2011

Memanfaatkan Waktu 'Menunggu'


Kalau mendengar orang-orang mengeluh soal ‘menunggu’, biasanya aku suka senyum sendiri. Sudah lama aku merasa kegiatan ‘tunggu-menunggu’ bukanlah sebuah gangguan, melainkan segmen waktu paling produktif dalam hidup. Kenapa ya?

Belajar menunggu karena kondisi
Untuk mencapai lokasi tempat SMA kami berada di Rumbai, maka aku dan teman-teman harus naik bis selama satu jam dari perumahan di Minas. Paling-paling kegiatan kami hanya sebatas mengobrol, main game, mendengarkan musik atau tidur-tiduran. Setelah beberapa lama kami bisa membaca tanpa pusing di atas kendaraan, barulah waktu perjalanan di atas bis menjadi lebih produktif. Beberapa orang memilih membaca atau menghafal pelajaran dari buku catatan. Persiapan ulangan dua atau tiga hari kemudian praktis lebih banyak dilakukan dalam perjalanan tersebut. Teman-teman yang suka belajar di atas bis biasanya mendapatkan ranking tinggi di kelas. Inilah yang kunamakan ‘produktif’ saat menunggu.

Aku juga belajar untuk produktif saat menunggu keberangkatan kereta api dari stasiun Gambir, Jakarta, ke stasiun Tugu di Yogyakarta. Setiap kembali dari liburan Idul Fitri, biasanya pesawat yang kutumpangi akan tiba sekitar pukul 11 pagi di Jakarta. Setelah Idul Fitri, antrian pembelian tiket di stasiun tersebut tetap panjang. Aku pernah antri pada pukul 11 pagi untuk membeli tiket kereta yang berangkat pukul 7.30 malam. Walhasil aku menunggu lebih dari 8 jam di stasiun hingga waktu keberangkatan. Bagi orang-orang, membuang-buang waktu di stasiun pastilah membosankan dan melelahkan. Tetapi bagi orang seperti itu, kesempatan menunggu dapat menjadi ajang mencari kenalan baru, belajar bersosialisasi dengan sesama penunggu, saat untuk menyusun rencana perkuliahan di semester baru, hingga mengamati orang-orang yang menjadi sumber inspirasi dalam tulisan-tulisanku di diary.

Saat menunggu antrian di bank, di dokter, restoran, bengkel atau kuliah dari dosen juga bukan waktu paling membosankan bagi diriku. Seperti yang kukatakan di atas tadi, saat menunggu adalah waktu paling produktif. Biasanya untuk mengantisipasi saat menunggu, aku menyediakan sebuah majalah untuk dibaca dalam tas. Apalagi pada masa kuliah di Yogya, aku sedang getol-getolnya membiasakan diri membaca Reader’s Digest untuk latihan bahasa Inggris. Biarpun Reader’s Digest membuat kantuk semakin menjadi-jadi, aku selalu berusaha menamatkan sebuah artikel untuk melatih ‘Reading Comprehension’ dan menambah my ‘English sense’. Suatu ketika, aku bahkan mendapat pinjaman buku menarik dari seseorang di pesawat, karena ia melihatku begitu khusyuk membaca sebuah majalah Islami di ruang tunggu keberangkatan.


Produktif saat menunggu dan ditawari pekerjaan
Pekerjaan yang paling kusukai adalah membuat rencana saat menunggu. Berbekal sebuah buku planner, aku menuliskan semua hal-hal yang ingin kulakukan, termasuk mengevaluasi hal-hal yang tidak sempat kukerjakan. Membuat kerangka paper atau outline sebuah tulisan juga lebih banyak dihasilkan pada saat menunggui mahasiswa yang sedang ujian/mengerjakan lab. Dengan begitu, ketika acara menunggu berakhir, aku sudah punya draft atau semacam langkah-langkah yang perlu dilaksanakan untuk pekerjaanku saat ini.

Hebatnya, kebiasaan produktif menunggu sambil membaca, belajar atau membuat rencana ini pernah membuahkan hasil tawaran pekerjaan. Saat itu aku dan hubby sedang menunggu di sebuah bengkel di Perth. Paper yang ada di tanganku sebetulnya sebuah petunjuk cara pengujian korosi untuk tesis. Tulisannya kecil-kecil dan sangat membosankan untuk dilihat. Tetapi aku bertekad untuk menghabiskan beberapa lembar petunjuk tersebut saat mobil selesai diservis.

Tiba-tiba, seorang tuan di sampingku yang dari tadi sibuk memainkan hapenya menyapa dan menanyakan tentang paper di tanganku. Dengan sopan aku mengatakan kalau paper itu adalah standar pengujian korosi dari ASTM untuk tesisku. Iapun bertanya-tanya tentang kuliahku, hasil yang kuperoleh selama ini dan apa punya rencana untuk berkarir di Australia. Ia adalah seorang Manager di sebuah perusahaan besar di Australia. Menurutnya, mereka sangat membutuhkan seorang Civil Engineer. Jika lulus nanti, kenapa aku tidak mencoba saja melamar ke perusahaan mereka? Ia bersedia menjadi mentor kalau aku berminat.

Setelah mengucapkan terima kasih untuk perhatiannya, aku cuma bisa terbelalak dan berusaha menenangkan diri. Hubby yang berada di pinggir tempat duduk sana hanya dapat melihatku dengan pandangan penuh tanda tanya. Setelah tuan itu pergi mengambil mobilnya, barulah aku menceritakan apa yang terjadi tadi kepada hubby.


Menunggu itu sebenarnya sebuah rahmat
Sejak itu, aku yakin acara menunggu bukanlah waktu yang tersia-sia diberikan Allah untuk tiap manusia.

Pertama, masa menunggu sebenarnya waktu kosong yang tersedia untuk mengejar ketertinggalan kita dalam berbagai hal. Biasanya kita punya banyak rencana, tetapi karena tangan kita hanya dua (bukan Cinderella, ya), maka sisa-sisa rencana tersebut bisa dikerjakan di waktu menunggu itu. Misalnya menghafal pelajaran, menambah vocabulary, atau menyelesaikan sebuah artikel yang belum sempat dibaca kemarin.

Kedua, waktu menunggu juga dapat digunakan untuk berzikir dan membaca/menghafal surat-surat pendek. Nasihat ini sering kuamalkan saat berada dalam perjalanan, misalnya naik pesawat. Saat mengantri di bank yang super panjang dan lama juga bisa dipakai untuk berzikir. Bulan Ramadhan lalu, aku melihat seorang bapak tua di depanku sedang komat-kamit seperti berzikir. Tanpa sadar, mulutku ikut-ikutan komat-kamit, lalu berzikir seperti beliau.

Ketiga, menurut pengalamanku, waktu menunggu juga bisa digunakan untuk kontemplasi atau merenung, menulis diary, menyusun rencana dan membuat evaluasi hal-hal yang telah kita kerjakan selama ini. Seringkali ide-ide terbaik untuk paper dan artikelku berasal dari saat penantian yang tidak pernah kurasa membosankan.

Sebenarnya banyak sekali hal-hal bisa kita laksanakan pada saat-saat ‘menunggu’ tersebut.  Jadi, be productive saat menunggu, jangan biarkan waktu yang sangat berharga itu hilang begitu saja.


Pekanbaru
Saat mengingat seorang teman yang menyia-nyiakan waktu 'menunggu'

Saturday, November 12, 2011

Ke New Zealand kami bertualang (bagian 8: Twizel-Christchurch- Tamat)



14 November 2010

Bunyi kukuruyuk ayam membangunkan aku di pagi ini. Kupandangi langit-langit bercat putih bersih tanpa noda di atas sana. Hari terakhir dalam rangkaian petualangan kami di South Island, pikirku. Aku segera bangkit ke kamar mandi untuk berwudhu sebagai persiapan shalat shubuh di penginapan honimun kami di Twizel.

Gus, si Labrador usil
Selembar kertas yang ditempel di dinding dapur berbunyi, “Please don’t fee our dog, we promise to feed him very well” berhasil menerbitkan tawaku. Seekor anjing Labrador hitam kelam berkeliaran di luar sana berlari kian-kemari mengamati segala sesuatunya. Kadang-kadang ia duduk santai di teras ‘rumah kami’. Aku bergidik ngeri, karena sangat takut pada anjing. Untuk soal binatang-binatang, aku selalu merasa nyaman bila hubby di sampingku. Ia dikenal sebagai seorang penyayang binatang. Buktinya, begitu ia keluar rumah, Gus langsung menyongsongnya~ mungkin minta makan~ dan hubby tentu saja tidak takut dihampirinya. Gus memang tidak boleh diberi makan. Pemilik rumah tentulah kuatir anjingnya diberi makanan yang mengandung coklat dan bawang putih. 



Kota Twizel
Twizel merupakan sebuah kota di daerah pegunungan yang terkenal dengan keindahan alamnya. Sebuah airport kecil menghubungkan tempat ini dengan dunia luar, yang sepertinya lebih sering mendatangkan turis-turis kaya. Olahraga terbang layang, kunjungan turis dengan pesawat terbang ke puncak-puncak salju, peternakan wol dan ikan salmon di danau merupakan hasil utama daerah ini. Penduduknya tidak terlalu banyak dan pemukiman terletak cukup jauh dalam radius 40km dari pusat kota. Siang itu saat kami tengah mengisi bensin, kami dikejutkan oleh suara sirene yang cukup kencang. Mungkin telah terjadi kecelakaan, karena si pemilik pom bensin dengan cepat masuk ke toko mengambil topi dan jaket safety lalu berlari-lari menuji mobil pemadam kebakaran di sebelah pom bensin. Rupanya ia juga seorang relawan fire brigade, selain pemilik pom bensin yang cukup besar ini.



Twizel-Mt John
Giliranku menyetir hari ini. Hubby sudah cukup kelelahan dan berharap bisa santai sejenak di bangku penumpang.  Pemandangan indah terhampar di depanku. Pegunungan dengan puncak bersalju, danau-danau biru muda, semak-semak lupin beraneka warna terang, hutan-hutan cemara dan gerombolan domba-domba menjadi teman baruku di jalan. Aku bersyukur sekali, ya Allah, indah sekali tempatnya.

Setelah satu jam menyetir, kami berbelok menuju Mt John Observatory, tempat planetarium paling Selatan di belahan bumi ini. Dari brosur yang kubaca, planetarium Mt John menjanjikan atraksi tersendiri di malam hari, karena kita bisa mengamati bintang-bintang secara langsung.

Tadinya kupikir tempat ini tidak terlalu fantastis. Tetapi begitu mobil mendaki jalan kecil berliku dan memutar gunung, barulah aku menarik nafas dalam-dalam. This is my first time driving with ‘matic’ car, mendaki gunung lagi. Pokoknya aku harus bisa! Tekadku dalam hati. Hubby membantu memberi aba-aba. Di tengah kengerianku, sambil menyetir aku takjub melihat pemandangan dari ketinggian, yang terdiri dari pengunungan Selatan, danau-danau di sebelahnya dan kota-kota kecil di tepinya. 



Akhirnya kami tiba di puncak Mt John, pfiuh, dengan selamat! Kukatakan begitu, karena jalannya sangat kecil, curam, dan kecepatan angin dari samping sangat luar biasa sehingga dapat membahayakan mobil kecil yang kukendarai. Untuk membuka pintu mobil saja diperlukan kekuatan besar, karena anginnya betul-betul kencang. Kami tertatih-tatih menuju sebuah bangunan kafe dengan tempat duduk besar-besar di tepinya. Aku berseru, ya Allah… luarbiasanya!

Pemandangan di tempat itu memang luar biasa. Sulit mengatakan bagaimana indahnya, tetapi silakan lihat foto berikut ini.



Hubby dan aku mengambil kesempatan untuk menikmati puncak dingin itu. Gedung-gedung planetarium berkubah tersebut ditutup untuk umum, sehingga kami hanya bisa berkeliling kafe ini. Sulit sekali berpose dengan baik, anginnya terlalu kencang! Beberapa orang meminta tolong kepada hubby untuk memotret grup mereka. Setelah puas dan kedinginan di luar, kami jajan sandwich vegetarian dan teh jahe di kafe. Sepiring berdua dan segelas berdua… oh, romantisnya (baca: oh, hematnya!)



Lake Tekapo
Tempat terakhir yang ingin kami kunjungi ini sangat terkenal dengan resort-resortnya. Pemandangan di Lake ini sama fantastisnya dengan danau-danau lain. Aku dan hubby berhenti di tepi lake bersama-sama rombongan lain. Sudah tiba waktu lunch rupanya. Sepertinya kami akan makan dan shalat zuhur di sana. Dua orang anak muda mengeluarkan meja lipat mereka dan menyiapkan makan siang mereka. Di sebelah sana, tiga orang, yang sepertinya ayah-ibu-anak, duduk menghadap danau sambil memegang sandwich masing-masing. 



Tempat ini sangat menyenangkan. Aku berlari kian kemari memotret bunga, danau, semak-semak lupin, jalan kecil dipagari oleh lupin, lalu kembali lagi mendekati hubby yang sibuk spotting seekor lebah gemuk di semak lupin. Bermain di tepi danau seindah ini mengingatkan aku pada sebuah kejadian dalam buku cerita Laura, saat mereka sekeluarga berhenti untuk berpiknik di tepi danau Pepin. Pinggiran danau yang berbatu-batu, berair biru dan banyak semak-semak bunga musim semi, rasanya persis seperti dalam cerita itu.  



Goodbye, South Mountain
Akhirnya kami harus ngebut lagi menuju Christchurch. Langit terlihat mendung dan hujan turun sesekali. Kami berhenti di sebuah spot, melihat ke belakang, deretan gunung-gunung South Mountain dengan puncak bersalju seolah melambaikan tangan kepada kami. Aku berharap, suatu hari akan dapat kembali ke sini bersama hubby atau keluarga besarku. Insya Allah.



Perjalanan melelahkan
Tibalah pemandangan membosankan, yang dulu membuatku sangat excited. Padang rumput hijau dihiasi bola-bola putih (atau domba), bahkan padang rumput kuning yang dipenuhi sapi-sapi hitam merumput. Kepala kami terasa berat, tetapi perjalanan harus terus dilaksanakan. 



Kami berhenti sejenak di sebuah kota kecil tetapi penuh turis yang sedang beristirahat. Di tempat itu ada bangunan toilet yang dipenuhi pengunjung. Aku berjalan pelan-pelan menikmati suasana, terutama bunga-bunga di depan rumah penduduk. Mirip suasana countryside di Inggris. English cottage, hmmmh.

Kami bergantian menyetir hingga tiba di Christchurch sebelum pukul 5 sore. Huahh, mengantuknya… zzzz

Pekanbaru,
Til we meet again in another 'grand honeymoon journey'

Monday, November 7, 2011

Back home for the second time this year

Setelah melewatkan satu bulan pada musim semi di Perth, akhirnya aku harus bertolak juga ke Indonesia. Pulang ke kotaku, Pekanbaru... (bukan Jogjakarta)...

Kepulanganku yang kedua kali pada tahun ini sebenarnya tidak membuatku terlalu sedih. Bisa datang kembali dalam selisih empat bulan, bertemu hubby dan melaksanakan berbagai pekerjaan produktif di sana saja sudah membuatku bersyukur bukan main. Alhamdulillah, ya Allah. 

Berlama-lama di sana juga tidak membuatku nyaman. Berulangkali aku harus menjadwal ulang pertemuan dengan sahabat-sahabat baikku. Mereka terlalu sibuk dan jadwal mereka sendiri terlalu ketat bahkan hingga di akhir pekan. Aku mulai menyadari kalau semua sudah berbeda saat ini. Dahulu aku masih berstatus sama dengan mereka, "student", tetapi sekarang, aku tidak aktif lagi di kampus, sehingga sulit juga untuk mencari waktu luang agar aku bisa datang menemui mereka. Hmm, biar cukup merasa kehilangan, bagian yang satu ini dapat aku terima dengan ikhlas.

Akupun tidak mau jauh-jauh dari hubby karena kunjunganku yang singkat ini. Kami berdua mencoba hal-hal yang tidak sempat kami lakukan dulu waktu aku masih belajar di Perth. Botanic Garden, Maritime Museum, Cheering Queen Elizabeth II yang kebetulan datang untuk CHOGM di Perth, mencoba makanan yang belum pernah kami coba, dan a short escape ke Down South yang bener-bener "our grand honeymoon" tahun ini.

So, kepulanganku yang kedua kali ke Pekanbaru hari Minggu lalu, hanya menyesakkan dada karena meninggalkan hubby sendirian di Perth. Others, aku sudah mulai tidak sabar untuk bekerja di kampus, menjalankan rencana-rencanaku, menulis artikel-artikel ilmiah dan macam-macam lagi. I'm so ready, now .

Bye, Perth... see you again sometime. That place is like my second home and will always come back for a short visit or even longer in the future.

Pekanbaru.