Monday, March 28, 2011

Ketika kita ingin jadi si ‘serba bisa’


Akhir-akhir ini kegilaan ingin menjadi si serba bisa telah melanda kalangan wanita. Punya pekerjaan tetap, bisnis online, gerai di mall, selalu siap memasak untuk suami dan tidak pernah absen arisan dan pengajian, jadi terdengar biasa-biasa saja. Padahal semua itu membutuhkan energi dan pikiran tak sedikit. Apa sih motivasi wanita serba bisa tadi, sampai semua seperti diangkut sendiri?

Motivasi para si serba bisa memang macam-macam. Ada yang memang suka menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan, suka berkontribusi banyak kepada orang lain, ingin punya pendapatan sendiri, menyalurkan hobi, membuat bahagia, aktulisasi diri, merasa lebih percaya diri kalau ada yang membutuhkan, sampai tak ingin kalah dengan sesama teman wanita! Yang lebih hebat lagi adalah cara para wanita serba bisa ini menjaga irama motivasinya. Hadir di seminar motivasi, rajin membaca dan menjadi follower situs/twitter pakar motivator sudah menjadi kebiasaan. Tak jarang mereka malah menjadi motivator sendiri di lingkungan mereka karena terlalu sering menggunakan kata ‘motivasi’ dalam tiap langkahnya.

Kalau itu membuat bahagia, tidak mengapa kan? Sebenarnya ibu-ibu yang serba bisa tadi memang memiliki kemampuan manajerial yang luar biasa. Bagaimana tidak, belum selesai pekerjaan yang satu, tangan satunya sudah menenteng lima hal lain yang berbeda. Tidak jarang kita belum selesai membicarakan sesuatu, ia sudah menjawab isu yang belum kita ketahui. Fantastis, tidak hanya tangannya, otaknya pun bekerja dengan luar biasa.

Multi tasking tidak akan bertahan lama. Sayangnya keinginan serba bisa tadi sering tidak didukung oleh berbagai faktor yang tidak diduga. Kesehatan biasanya menjadi isu para wanita serba bisa. Stress berulangkali, telat makan, tidak bisa tidur, dan migrain adalah teman setia mereka. Kedua, mereka biasanya kurang tenang dan sering emosional. Hal ini dipicu oleh banyaknya interaksi dengan orang lain yang belum tentu selalu mulus serta rasa lelah karena kelebihan aktivitas. Ketiga, kualitas pekerjaan biasanya tidak terlalu luar biasa. Umumnya setelah mengalami kelelahan berulangkali, maka daya fokus menurun sehingga sulit berkonsentrasi untuk menghasilkan pekerjaan yang optimal. Keempat, rasa bangga berlebihan dan rasa syukur bisa berkurang. Memiliki banyak keahlian baru dan terlibat berbagai hal sering membuat si serba bisa menjadi tinggi hati. Kadang mereka suka mengasihani wanita-wanita lain yang dipandang kurang baik memanfaatkan waktu, cenderung menyepelekan bawahan dan menganggap dirinya lebih berharga dibanding orang lain sehingga sulit diberi nasehat. Rasa syukur di hati dapat berkurang sebab semua yang dilakukan mereka harus sempurna. Hal-hal kecil bisa jadi bukan pemicu rasa syukur, tapi kadang dianggap hal biasa-biasa saja.

Introspeksi diri. Pengalamanku menjadi seksi ‘sok sibuk’ setiap hari, mengajarkan bahwa menjadi serba bisa bukanlah jalan paling ideal. Tiap manusia tidak perlu selalu sempurna, karena kita tidak akan pernah menjadi orang seperti itu. Kelelahan kronis, hubungan buruk dengan atasan dan bawahan apalagi keluarga, kinerja menurun, tugas terbengkalai hingga menyesal di kemudian hari melanda diri saya yang sempat seperti itu selama bertahun-tahun. Tubuh tidak mau kurus, stress berkepanjangan, penyakit di hati dan badan bertubi-tubi menghampiri telah menyadarkan diriku, bahwa menjadi serba bisa mungkin bukan untukku. Pengakuan seperti ini penting, karena secara tidak langsung, aku menjadi egois dan ingin memenangkan semua awards yang pernah ada. Padahal setelah bertahun-tahun mencangkul di sawah penderitaan, bukannya saya memetik padi kualitas terbaik, tetapi padi yang kosong isi bulirnya, alias tidak bagus.

Seseorang yang dilahirkan menjadi serba bisa, memang telah diberi amanah seperti itu oleh Allah, sehingga ia bisa mengatur semua hal tanpa beban, tidak seperti kita si serba bisa amatiran. Nah, dengan introspeksi bahwa semua ada batasnya, mari turunkan standar kita dan lapangkan dada untuk menerima kekurangan, ayo mengucapkan selamat tinggal pada keinginan duniawi menjadi ‘si serba bisa’.

Pastilah kamu bisa...

Perth,

Thursday, March 24, 2011

Basa-basi umum ala orang Barat


Ternyata setelah cukup lama berinteraksi dengan orang Barat atau yang ada di Barat, aku sering tersipu kalau mendapat pujian mengenai diriku atau Indonesia. Busyet, norak banget yah? Kuakui hal itu membuatku dapat menghargai orang yang memiliki budaya berbeda denganku tapi masih bisa mengatakan sesuatu yang baik tentang budaya yang belum begitu dikenalnya. Mau belajar?

Boleh dibilang aku suka terkecoh dengan sikap ramah orang asing (yang ramah, dong) denganku. Kadang-kadang ada yang asli ramah, tapi tak jarang kita dapat melihat mereka cuman sekedar basa-basi. Biarpun katakanlah agak basi, aku pikir sikap mereka ini masih jauh lebih baik daripada sekedar mengkritik atau negatif tentang sesuatu.

Berdasarkan buku Culture Shock Indonesia, beberapa hal yang diharapkan orang Indonesia dari orang Barat adalah:

* Mereka sudah memiliki sedikit keahlian dalam 'bahasa Indonesia'
Seringkali kalau berbicara dengan orang yang menggunakan bahasa Inggris, kita sebagai orang Indonesia suka minta maaf soal kemampuan bahasa kita yang seringkali mengejutkan mereka karena cukup bagus. Ternyata, orang asing tadi disarankan untuk setidaknya menguasai beberapa kata-kata umum untuk menunjukkan kalau mereka mengetahui bahasa Indonesia. Hal itu menambah rasa penghargaan orang Indonesia kepada orang asing tadi, karena mereka mau mempelajari bahasa Indonesia.

* Mereka menyukai beberapa makanan Indonesia
Jujur sekali aku sempat shock saat teman OZ-ku kurang menikmati hasil masakan yang kupikir akan membuatnya kagum. Maklum, aku sok eksotik, menghidangkan tumis kepala cumi, yang susah payah ditelannya. Lain hari aku terkejut juga saat menawarkan keripik singkong bumbu yang dinilainya 'aneh'. Tampaknya, hal ini seperti ini yang perlu dihindari orang asing saat berinteraksi dengan kita, bangsa Indonesia. Mereka diharapkan setidaknya pernah mencoba sate, rendang, nasi goreng, mie goreng atau kalau perlu durian. Uniknya, katanya, kalau orang asing itu suka dengan makanan eksotik yang jarang ditemukan, itu sebuah cara untuk mendapatkan teman-teman baru!

* Mereka suka di Indonesia
Ini rahasia umum. Jika perlu, orang asing harus mengatakan kalau mereka suka dengan alam Indonesia, kebudayaannya, buah-buahan enak, bunga-bunga yang cantik, sebelum mengeluh soal lalu lintas, udara lembab atau nyamuk di mana-mana. Taktik ini perlu kita gunakan sewaktu berkunjung ke negara orang lain. Tentulah kita akan memuji setinggi langit hal-hal yang pantas dipuji dan tidak berkata buruk soal hal-hal lumrah dalam kehidupan masyarakat lokal. Soalnya, jika kita negatif terhadap situasi di lingkungan mereka, pastilah mereka akan bilang, "ya, ngapain kamu di sini?". Bener juga, kan?

* Mereka bilang orang Indonesia ramah dan sangat penolong
Orang Indonesia memang suka tersenyum, menolong orang lain, sopan dan suka menyenangkan orang asing. Jujur saja, bangsa asing tersebut memang mengakui hal ini.

* Mereka bilang kalau busana nasional dan kerajinan tangan rakyat sangat menarik.
Sejauh ini, aku selalu mendengar komentar positif dari orang asing yang kuberi hadiah unik dari Indonesia. Mereka juga suka dengan batik sutra yang kupakai. Pernah pula aku dikejutkan oleh pujian untuk bros seharga lima ribu rupiah terpasang di jilbabku. Pendeknya, jika benda itu otentik dari Indonesia, mereka tidak pelit pujian. Hal ini sebenarnya umum karena orang asing yang datang berkunjung ke suatu negara memang sebaiknya menghargai busana nasional dan kerajinan tradisional cerminan kepribadian suatu bangsa.

Mungkin beberapa hal basa-basi di atas dapat digunakan saat kita berkunjung ke suatu negara. Supaya lebih luwes, tentunya.

Perth,
Sumber: Culture Shock Indonesia, Cathie Draine & Barbara Hall

Sunday, March 20, 2011

Autumn at Curtin

Tulisan ini aku buat setahun lalu saat musim gugur datang di Curtin, Perth. Tahun ini, awal musim gugur, belum seindah dan sedramatis tulisanku di bawah ini. Just enjoy the incoming autumn view...


Saat ini malam semakin panjang, hari-hari lebih sering mendung, hujan sesekali mengguyur bumi Perth yang biasanya kering. Di sana-sini pohon-pohon mulai bertukar warna, yang biasanya hijau berangsur menjadi kuning dan merah. Indah dan romantis!


Seperti pohon mapple ini di depan building 314 ini, saat musim gugur tiba, mereka bersiap-siap mati suri di musim dingin karena mereka tidak dapat melakukan foto sintesis. Saat musim dingin, cahaya matahari tidak begitu banyak dan hujan lebih sering turun. Maka sisa-sisa glukosa (makanan) dalam sistem pohon-pohon mapple dikeluarkan lewat dedaunan, sehingga daun-daun tersebut berubah warna menjadi kuning, merah dan kering. Tak lama, mereka mulai jatuh berguguran. Subhanallah, betapa menakjubkan ciptaan Allah.



Lihatlah Virginia creeper yang merambat di dinding-dinding bangunan kampus (building 001, Engineering Research Student 2) yang selalu menarik perhatianku tiap aku berjalan kembali dari lab setelah bekerja dengan beton-betonku (gonna miss this view a lot!).



Atau saat aku berjalan ke kantor di suatu pagi yang dingin, mataku terbelalak melihat pemandangan spektakular ini. Virginia creeper membalut pohon pinus dengan luwesnya. Betapa menarik pemandangan langka ini! (lokasi, dekat building 500, SMEC).



Akupun suka tak sabar memetik daun Virginia Creeper yang memiliki lima helai daun ini. Sangat creepy, gampang copot!


Dari hari ke hari, aku melihat berbagai perubahan selama musim gugur di Curtin ini, selain angin bertiup lebih kencang, burung-burung sudah transmigrasi ke tempat yang lebih hangat, juga orang-orang mulai membalutkan syal ke leher mereka pertanda udara semakin dingin.

Akupun bergegas masuk kantor menatap layar komputerku, berusaha berkonsentrasi pada pekerjaanku. Alangkah indahnya musim gugur, tapi ah, mesti balik nulis nih!


Perth,
musim gugur yang mild di Curtin:)

Wednesday, March 16, 2011

Ke New Zealand kami bertualang (bagian 4: Christchurch-Haast, West Coast)


10 November 2010

Pagi hari, pukul 7 aku dan hubby meluncur di atas mobil mungil yang kami sewa dari Omega Rental, Christchurch CBD. Mobil itu penuh dengan koper bawaan dari Australia, perbekalan makanan dan 6 liter air dalam galon. Aku membawa makanan kering, kalengan, buah-buahan, roti lengkap dengan semirannya, bumbu pecel, sayuran segar serta satu kontainer nasi. Kami tidak ingin kuatir mencari makanan halal dalam perjalanan liburan tersebut.

Matahari sudah makin tinggi sehingga pemandangan menarik seperti padang rumput hijau, ternak domba dan sapi, serta pegunungan di Arthur’s Pass National Park dapat diamati baik-baik. Rencananya kami akan melintasi Arthur’s Pass, bagian central Canterbury, ke pesisir Barat (West Coast) hingga mencapai tujuan akhir Haast. Puncak pegunungan tinggi tersebut masih tertutup salju tipis putih. Kamipun berseru-seru, Subhanallah, Alhamdulillah, indah ya Allah, serta berbagai pujian lain, karena mendapat sajian pemandangan yang begitu luar biasa.


Saat mendekati taman nasional Arthur’s Pass, kami disuguhi pemandangan lain lagi, yang penuh dengan bukit berbunga, sungai kecil dengan air berwarna biru, gunung-gunung beraneka warna, ada yang coklat, hijau, tergantung tanaman yang tumbuh di atasnya. Sesekali terlihat danau dangkal kebiruan karena pantulan warna langit. Padang rumput berwarna coklat, dihiasi rumput-rumput fluffy (seperti ekor kucing lembut berbulu) yang banyak tumbuh di dataran tinggi. Puncak-puncak tertutup salju tersebut semakin dekat rasanya. Mereka bak lelehan es krim vanilla, kontras menyelubungi puncak-puncak gunung yang coklat. Kadang-kadang gunung berwarna hijau yang diselimuti rumput serta pecahan batu-batu besar ada di depan mata. Pendeknya, si pak supir dan bu turis, tak henti-hentinya berdecak kagum melihat pemandangan yang berubah-ubah dalam sekejap mata.


Huah, ngantuknya! Besok-besok disambung lagi ya...

Ternyata setelah melewati jalan berkelok, ada tempat mampir di tengah jalan Arthur’s Pass. Bagi yang sering melewati bukit Barisan (kelok 9) dan seterusnya, tempat ini seperti di Lubuk Bangku. Tempat berhenti ideal untuk meluruskan kaki, makan makanan ringan, setelah sopir dan penumpang dihajar banyak tikungan yang membuat mual dan lelah. Tetapi di Arthur’s Pass, kami tidak dapat berhenti lama, walaupun banyak juga yang dapat dilihat di sana, seperti museum, air terjun dan berbagai jenis burung. Hubby terus mengingatkan kalau kami harus mencapai pesisir Barat sebelum malam hari (sekitar pukul 8pm) saat itu.

Perjalanan kami teruskan hingga menuju Hokitika, West Coast. Begitu melewati Arthur’s Pass, vegetasi yang terlihat mulai berubah. Pegunungan mulai sedikit, hutan-hutan tropis yang lebat lebih sering terlihat. Karena West Coast terletak di bagian Barat yang lebih dekat ke Australia, maka cuacanya cenderung sedikit tropis. Hutan yang ada di daerah tersebut termasuk hutan prehistoris dengan tumbuhan dan hewan langka, khas Pulau Selatan. Sejak emas ditemukan di pulau ini, maka industri penambangan yang pesat berhasil memajukan New Zealand. Sayangnya, karena industri tersebut sering mengeksploitasi kawasan hutan, maka usaha itu dihentikan. Kini New Zealand lebih suka menjual ‘alam’nya lewat wisata dengan slogan clean and green New Zealand.

Franz Josef Glacier adalah tempat perhentian kami yang pertama di West Coast. Tempat ini sangat terkenal, karena kita bisa mendaki bukit es, masuk gua es, atau sekedar potret glacier yang berasal dari salju di puncak Mt Cook. Glacier yang meleleh tersebut membentuk sungai es beku raksasa. Foto berikut menunjukkan perubahan bentuk glacier dari tahun ke tahun. Pada tahun 2010 ini, luas glacier yang terbentuk lebih kecil dari tahun 1950. Coba bandingkan dengan glacier pada tahun 1885. Tidak heran glacier tersebut diberi nama sesuai dengan penemunya, Franz Josef. 

Glacier tersebut dilihat oleh ribuan turis setiap tahun yang sekedar ingin melihat es beku. Terus terang aku kurang tertarik mendekat, karena sebelum masuk lokasi kami diingatkan oleh bahaya avalanche mendadak. Apalagi cuaca saat itu cukup panas, padahal baru pertengahan musim semi. Sungguh tidak patutlah mencoba sesuatu yang berbahaya seperti itu. Apalagi thesis belum kelar, iskh, iskh... Jika ingin memasuki glacier tersebut, sebaiknya datanglah di musim dingin. Biaya tur sekitar $150-200 NZD, dan kita diajak masuk ke dalam glacier dan total waktu yang diperlukan kurang lebih 3 jam.


Perjalanan dilanjutkan ke Haast, destinasi pertama hari itu, yang jaraknya sekitar 130km dari Franz Josef Glacier village. Kuatir tidak dapat mencapai Haast dan check in di lodge sebelum pukul 8 malam, dengan susah payah kami berusaha menelpon lodge tersebut. Sepertinya mereka sudah terbiasa menerima tamu yang terlambat datang, karena si resepsionis mengatakan akan meninggalkan kunci kamar jika kami tidak datang sebelum pukul 8. 

Pada saat itu matahari tenggelam sekitar pukul 8 malam, saat itulah mayoritas resepsionis/kantor admin penginapan di New Zealand ditutup. Kamipun ngebut menuju Haast, tanpa sempat mampir di Fox Glacier, salah satu tempat lain untuk mengamati glacier. Perbaikan di sepanjang jalan yang hanya mengizinkan kendaraan dipacu 30km/jam membuat perjalanan sedikit terganggu. Walau begitu, kami sempat-sempatnya berhenti di Lake Matheson dan anjungan untuk mengamati West Coast atau Selat Tasman. Selat ini membatasi New Zealand dengan pulau Tasmania, Australia.


Pada pukul 7 malam, akhirnya kami sampai di Haast Lodge. Aku sempat terkejut melihat Haast yang tak taunya semacam desa kecil di tengah hutan. Aku merasa begitu jauh dari peradaban dan hiruk-pikuk dunia, hiks! Melihat lodge yang bersih dan banyak pengunjung, serta keamanan ketat di luar penginapan, aku tidak begitu kuatir lagi. Maklum, inilah malam pertama kami dalam perjalanan keliling ini.


Perth,

Saturday, March 12, 2011

Nulung malah kepenthung

Nolong malah dicopet atau nolong malah digigit, kira-kira seperti itulah artinya barangkali. Istilah ini, aku pelajari dari buku NH Dhini, yang pernah menolong orang tapi malah dia kena interogasi polisi, dicurigai mencuri. Sering sekali kita perhatikan atau bahkan mengalami hal yang sama. Kira-kira, mau dijadikan apa pengalaman ‘nulung malah kepenthung’ seperti ini?

Baru-baru ini aku diberitahu teman kalau seseorang yang pernah kutolong telah mencoba memblack-mail diriku di depan bos. Aha! Tampaknya orang tersebut kecewa berat dengan keputusan bos yang dinilainya kurang adil. Secara sengaja ia menulis email kepada bos memberitahukan bahwa ia layak dan telah pernah mendapat ‘pelatihan khusus’ dariku (tapi tidak eksplisit) dalam bekerja.

Saat menerima berita tersebut, sebenarnya aku tidak memiliki perasaan apapun. Aku cukup terkejut dengan keberaniannya bertanya langsung pada bos, tanpa berkonsultasi padaku lebih dulu. Sebelumnya tanpa sepengetahuanku, bos ternyata pernah mewanti-wanti karyawan lain kalau kami tidak boleh memperlakukan orang lain secara khusus. Tetapi rasa solidaritasku sebagai sesama pelajar dari Indonesia, membuatku kasihan dan bertekad membantunya. Itulah yang membuat diriku merasa cukup santai menerima berita tersebut, karena aku yakin bos akan bersikap adil.

Sayangnya, seseorang menghembuskan kalimat ‘nulung malah kepenthung’ saat mendengar pengalamanku tadi. Akupun mulai berpikir, kali-kali saja aku terlalu baik hati atau nrimo saja, diperlakukan seperti ini. Pengalamanku selama 4 tahun berkutat dengan ego dan kekerasan dunia riset di sini membuatku lebih cuek menghadapi kegusaran baru dari lingkungan. Istilah itu sebenarnya kurang tepat, karena si kawan yang menulis email pada bos tidak menyebutkan nama, tetapi, kalau bos melihat latar belakangnya, sudah dapat dipastikan, kami yang berasal dari Indonesia ini pastilah si biang keladinya. Akupun ikut kesal karena teman lain dari Indo sempat bertanya padaku, karena khawatir disalahkan. Karena itu aku malah berubah jadi jengkel pada si teman yang mengirim email pada bosku tadi.

Apa kira-kira yang harus aku lakukan? Menanyakan langsung ke si teman, tentu saja akan membuat dia akan defensif. Jika aku pura-pura tidak mengetahui apa yang terjadi, ia pasti girang, karena merasa aku tidak akan marah atau tidak punya sikap.

Anyway, aku tidak ingin didesak teman yang memberikan kabar ini padaku, tetapi aku juga kecewa diperlakukan seperti itu lagi oleh teman yang mementhung diriku. Aku ingat baik-baik, bahwa ‘orang-orang zalim tidak akan beruntung’. Yang penting, aku telah ikhlas tadinya menolong, jadi pahala itu harus aku pertahankan baik-baik dengan tidak menggosipkannya kembali atau menyerangnya untuk memberi kepastian. Untuk dia, aku akan lebih berhati-hati dan seadanya saja, karena aku telah kehilangan kepercayaan pada dirinya.

Allah itu Maha Adil. Dia mengetahui yang terbaik untuk kita.

Biarpun aku dipenthung oleh si dia, temanku tadi, aku memutuskan untuk tetap bersikap baik dan membantu siapa saja yang membutuhkan pertolonganku jika aku mampu. Biarlah Allah saja yang menilai dan aku tidak perlu mengambil sikap kelewat curiga atau hati-hati atau merasa diperdaya lagi oleh orang lain. Janganlah hal ini menghentikan keinginan berbuat baik yang mengalir dalam diri kita. Hanya Allah akan memberi ganjaran tiap perbuatan dengan adil, Insya Allah.

Itu sajalah yang kuingat.

Perth,

Tuesday, March 8, 2011

Tempat bertanya


Kadang, kita merasa sendirian, tak ada tempat bertanya

tidak bisa bertanya pada papa, tidak mama, tidak suami, tidak kakak/adik, tidak juga ponakan

tidak juga pada teman, pada supervisor maupun pada orang di sebelah kita

apalagi rumput yang bergoyang...

diri kita bertanya, "mau diapakan ini? harus bagaimana kita? bagaimana mengambil keputusan yang bijaksana? apakah ini barokah untuk kita?"

ternyata mendengarkan kata hati saja tidak cukup, tergantung kondisi hati saat itu yang mungkin tidak jernih,

maka, tanyalah Allah, mintalah Allah memberikan petunjuk, apakah hal ini baik atau tidak untuk diri kita.

Kemudian, diamlah sejenak, tunggulah beberapa saat...

jika hati cenderung berkata tidak, maka kuatkan diri, jauhi, jangan lakukan hal itu.

Jika kita melakukannya, padahal sudah jelas Allah melarang dan hati terasa berat, maka saat dan setelah dillakukan, kita akan mencoba mencari-cari alasan dan berbagai pembenaran untuk tindakan kita.

Saat itulah hati mulai goncang dan tidak tenang...

Maka, sebelum berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan petunjuk Allah maupun Sunnah Rasul, pikirkan dahulu baik-baik dan masak-masak.

Gunakan hati untuk mengukur persoalan, lalu minta petunjuk Allah lewat doa, karena hanya Ia satu-satunya tempat bertanya.

Insya Allah, keputusan yang kita ambil, mudah-mudahan tidak bertentangan denganNya dan menimbulkan dosa.


Melbourne,
renungan untuk diri sendiri di penghujung hari ini:)

Friday, March 4, 2011

Werribee Open Range Zoo, Victoria

Selasa, 7 Desember 2010

Werribee Open Range Zoo, salah satu zoo di Melbourne, rasanya memanggil-manggil aku dan hubby untuk berkunjung. Setelah puas melihat gunung, padang rumput, sungai, kebun bunga, hingga wisata kota sebelumnya, kali ini kami lebih tertarik bertemu singa, cheetah, zebra dan krunya dari Afrika.


Ternyata zoo yang satu ini, lokasinya di Weribee, Victoria, yang letaknya cukup jauh dari Melbourne CBD. Jika naik kereta dari Flinders Street, Melbourne CBD, carilah kereta ke arah Werribee di platform yang telah ditentukan, kalau tidak salah, Platform 10. Dari city hingga Laverton, gunakan tiket Zone 1. Tetapi dari Laverton hingga Werribee, gunakan tiket Zone 2, karena sudah berbeda Zone dari daerah city. Begitu sampai di Werribee Train Station, bis no 349 akan dapat membawa pengunjung langsung langsung ke depan pintu masuk Werribee Zoo.

Tiket masuk untuk concession (students dan senior) sekitar $19.20AUD. Untuk mendapatkan harga concession, jangan lupa menunjukkan Student ID yang masih berlaku. Jika ingin langsung mendekati hewan-hewan tertentu melalui open vehicle adventure, kita harus membayar tiket lebih mahal sekitar $80AUD untuk orang dewasa dan $65AUD untuk anak-anak.


Acara pertama tour adalah safari menggunakan bis khusus. Baru melihat bis dan tour guidenya saja kami sudah excited. Tour guide berseragam coklat dan memakai topi seperti seragam khas para petualang safari di Afrika. Tour guide kami adalah seorang nona muda yang tampak ceria, suka tertawa dan tentu saja banyak bercerita dengan detail tentang hewan-hewan yang ada di Werribee Zoo. Untuk bis sebesar itu, kebetulan hanya ada 14 orang saja yang akan naik. Kamipun bisa bebas memilih tempat duduk, dan tentunya spot untuk memotret hewan-hewan yang akan dilihat.




Volcanic Plain, adalah daerah pertama yang kami lewati. Emu, Pelikan, Wallaby dan Kangguru khas Australia banyak terdapat di sana. Emu yang terlihat sangat anggun dan genit itu memang menawan.


Bis pun meneruskan perjalanan ke arah padang rumput, mengunjungi bison. Bison-bison besar dengan kulit terkelupas itu didatangkan langsung dari US. Beginilah contoh bulu bison yang terkelupas. Berserat, tebal dan fluffly di tangan, seperti bulu wolie.



Pemandu wisatapun mengedarkan dua macam tanduk, milik rusa dan antilop. Kira-kira mana milik rusa, mana milik antilop? Hayo, siapa yang tau?


Saat berangkat ke bagian lain, ada unta, Rhino (badak), zebra, jerapah yang fotogenik, serta berbagai burung besar. Semuanya bisa dilihat dari jendela terbuka bis besar tersebut. Kami berganti-ganti posisi, menunjuk, memotret, mendengarkan cerita dari tour guide, sambil tentu saja berkhayal tengah bertualang di Afrika. Tentu saja ada perbedaan yang sangat menyolok. Jika di Afrika dalam safari seperti itu kita bertemu ratusan zebra, antilop, jerapah dan badak, kalau di Werribee tentulah jumlahnya sangat terbatas. Meskipun tidak bisa dibilang dekat, tetapi kita masih bisa melihat dengan jelas hewan-hewan yang dibiarkan menghuni padang rumput itu.


Konsep zoo yang gersang, tak terawat, berdebu serta penuh hewan tidak bahagia yang meraung-raung, setidaknya tidak terlihat di Werribee. Suasana jalan setapak menuju tempat hewan-hewan begitu menyenangkan, karena berbagai tanaman unik khas Australia ditata sedemikian rupa sehingga membuat tempat itu lebih tenteram. Jangan dibayangkan hewan-hewan tersebut berada di tempat yang sempit, kumuh dan penuh lumut. Mereka beruntung, bisa berada di tempat yang sangat luas, ditata dengan berbagai tanaman unik khas Afrika-Australia. Kesan akhir, mereka terlihat lebih fotogenik jika dipotret maupun diamati dengan latar belakang seperti itu. Sungguh suatu kelebihan cara Werribee Zoo memberikan kesan indah di sana, walaupun kita hanya melihat hewan yang terbatas jumlahnya, tidak seperti di Afrika.


Pada jam tertentu, pengunjung dapat melihat zoo keeper memberi makan hewan-hewan, seperti meerkat pada pukul 1.30pm, singa pada pukul 2.00pm, kanguru dan emu pada pukul 3.15pm dan hippo pada pukul 4.00pm. Sayangnya kami terlambat melihat keeper memberi makan singa pada pukul 2.00! Kebetulan pada saat itu hujan sedang turun dengan lebat, sehingga aku dan hubby terpaksa berteduh dahulu sambil berpiknik dan sempat lupa dengan atraksi paling menarik itu! Walau begitu, kami tidak ketinggalan singa betina yang masih pamer auman pada pengunjung di depannya. Anak-anak sekolah yang mencoba menarik perhatian si singa sempat kaget dan menjerit melihat betapa besarnya gigi si singa!


Meerkat, si hewan unik dari Madagascar yang selalu berdiri dengan kedua kaki di depan jika sedang mengamati obyek juga sempat kami lihat. Lucu sekali ketiga ekor meerkat ini. Tetapi tampaknya aku tak berani kalau ada ratusan meerkat melihatku dengan wajah heran mereka seperti di dokumentari David Attenborough. Hi!

African-wild dog, sejenis anjing bercorak dari Afrika yang suka memakan binatang-binatang kecil seperti bayi antilop, flamingo, dapat dilihat dari anjungan khusus. Sayangnya saat itu mereka tengah diberi makan, sehingga tidak mau mendekat.

Kuda nil atau hippo yang sedang berendam di dalam kolam besar membuatku kaget dengan suara erangannya. Keras, ya! Tiga hippo lucu (lucu?) sibuk berendam dan tidak mau keluar dari kolam, walau pengunjung-pengunjung kecil di dekat kami telah memanggil-manggil nama mereka.

Hewan terakhir yang kami kunjungi di kediamannya adalah cheetah. Hewan besar itu berjalan mondar-mandir di depan kami di balik kaca tebal. Sungguh gagah cheetah itu. Sayangnya ia tak dapat berlari kencang mengejar kami, walaupun aku benar-benar tak ingin dikejar cheetah!

Kuakui, jauh di lubuk hati aku kasihan melihat hewan-hewan seperti itu yang biasanya liar dikumpulkan di kebun binatang untuk dipamerkan ke manusia. Mereka tak dapat berburu, tak perlu mengasah naluri kebuasan mereka, malah harus bergantung pada manusia. Yang terburuk, kadang tak dapat bertemu pasangan hidupnya serta tidak dapat menjadi hewan normal yang hidup bebas di alam sana. Tetapi, dengan tingginya kerusakan lingkungan, maka hewan-hewan langka tadi semakin berkurang jumlahnya di alam, tempat seperti ini malah menjadi semacam tempat perlindung yang lebih baik bagi mereka. Disinilah hewan-hewan yang hampir punah dijaga agar tetap lestari dan tidak tinggal kenangan di masa depan.

Melbourne,