Tuesday, January 10, 2017

Akhirnya aku menangis juga...

Senin pagi, 2 Januari 2017, di salah satu pojok Al Haramain, Masjidil Haram

Tempat itu sangat diminati oleh jamaah ibu-ibu yang ingin berdoa, membaca Quran atau sekedar melayangkan pandangan mengamati Kaabah dari tempat mereka bersujud. Aku termasuk salah satu pencinta tempat searah tegak lurus dengan Hijr Ismail tersebut.  Sebenarnya aku tak pernah ingin berebut dengan siapapun untuk sebuah tempat sebesar sajadah ini. Tetapi kadang-kadang, mendapatkan tempat yang bisa menghadirkan hati di depan Kaabah langsung termasuk perjuangan berat karena harus datang lebih awal dari siapapun. Jika terlambat mendekati waktu shalat, maka tidak dapat tempat di mana-mana, kecuali di balik dinding saf belakang. 

Sudah dua hari aku melihatnya, wanita Emirati tersebut. Dia sujud lama sekali dalam tiap shalat. Di sebelah sajadahnya ada sebuah kursi dengan mushaf Quran di atasnya. Tiap rakaat ia membaca Quran tersebut dan meletakkannya kembali sebelum rukuk dan sujud. Suatu hari aku berhasil melihat wajah ayu tersebut karena ia menyentuh tanganku meminta tissue. Wajah tersebut berurai air mata. Aku mengutuk hatiku ini, karena sudah beberapa hari di Al Haramain belum juga menangis sepenuh hati. Apakah tidak ada penyesalan, Monita? Begitu banyak dosa dan kesalahan... Aku melihatnya lagi dengan iri, mestinya aku bisa menangis seperti dia, tetapi barangkali akan datang masanya nanti, tekadku dalam hati.

Senin menjelang subuh aku duduk dengan gelisah menunggu mama yang belum datang. Wanita Emirati itu telah kembali ke negaranya dan tidak ada di tempat biasa. Aku gelisah karena tempat favorit itu sudah penuh dengan ibu-ibu separuh baya dari berbagai bangsa yang pasti akan mengambil tempat mama. Aku lapangkan sajalah untuk orang lain, atau tetap menunggu mama, pikirku ragu-ragu sambil memegang kursi untuk bunda erat-erat. Tak lama setelah itu, seseorang bertanya padaku lalu memindahkan kursi tersebut tanpa mencerna jawabanku. Padahal aku sudah mengatakan 'for mommy', tetapi wanita tua tersebut dengan bahasanya memarahiku dan menunjuk-nunjuk wajahku dengan suara keras seperti jengkel luar biasa. Aku sadar membantah atau bertahan tidak akan menyelesaikan masalah. Mama memang terlambat sekali hari itu ke masjid. Sambil berharap mama mendapatkan tempat shalat nanti, kulihat wanita yang mengamuk tadi membanting sajadahnya di tempat mama kemudian mulai shalat sunat. Tak berapa lama, mama mendekat tempat kami perlahan-lahan karena kaki beliau masih sakit. Aku menunjuk wanita tadi, mama mengangguk tanda tidak apa-apa dan menunjuk ke saf belakang. 

Sementara drama itu berakhir, shalat subuh akan dimulai sebentar lagi. 

Kami semua mulai berdiri. Meski demikian, perasaanku masih campur-aduk setelah dibentak-bentak wanita di sebelah ini. Tetapi aku harus khusyuk mendengarkan imam atau shalat ini akan sia-sia. 

Astaghfirullah. 
Aku maafkan saja ibu yang baru saja memarahiku, barangkali ia lebih memerlukan spot ini daripada mama, aku terus menenangkan hati.

Pada rakaat pertama setelah Al Fatihah, sang imam (Sheikh Bander Baleelah) mulai membaca surat dalam Quran dengan intonasi yang membuat semua merinding. Relay shalat Fajr dapat dilihat di sini.

Masya Allah. Allahu Akbar. 

Luar biasa shalat di Al Haramain, terasa dekat menembus syurga suara lafaz Quran dari imam. Tidak ada yang lebih indah dari bacaan imam ini. Tanpa terasa aku pelan-pelan menitikkan air mata. Air mata jatuh menetes-netes ke kerudung, lalu tanpa malu-malu aku mulai terisak. 

Barangkali aku sudah mulai letih, merasa tak berdaya, dan teringat semua dosa-dosa. 

Barangkali juga hati mulai lunak dan memahami cinta Allah padaku. 

Barangkali juga teringat semua nikmat Allah yang sering tidak kusyukuri karena tidak kupahami... 

barangkali juga sedih karena mama harus shalat di belakang (apakah dapat kursi atau tidak), dan 

barangkali atau paling jelas, karena sedih pagi-pagi mau shalat dimarahi ibu-ibu di sebelahku ini...

Semua perasaan dan pikiran bercampur aduk saat shalat, tetapi menghasilkan kelegaan yang besar saat aku selesai shalat, meski wajahku sembab dan jilbab penuh air mata. 

Ibu yang memarahiku tadi hanya mendelik sebentar lalu packing sajadahnya dan ngacir cepat-cepat. Biarpun caranya tadi menyebalkan, sebenarnya aku ingin berterima kasih padanya karena sudah trigger emosi diriku di pagi hari.

Aku tidak tahu lagi mau menganalisa apa, tetapi suatu subuh di awal tahun 2017, di depan Hijr Ismail, dan di tempat yang indah ini, aku mulai menangis dan menyesali diriku ini...

Pekanbaru,
Catatan Umroh 2016-2017