Friday, July 29, 2011

Buku La Tahzan, ‘Jangan bersedih’


Baru kali itu aku sangat ‘excited’ melihat mbak B, temanku saat kursus di IALF Jakarta, memamerkan hartanya yang paling berharga. Ia termasuk orang yang sangat positif, jarang mengeluh atau menceritakan hal-hal buruk. Ternyata, ke manapun ia pergi, buku La Tahzan, menjadi panduannya dalam berperilaku. Begitu dahsyat buku ini, sehingga ada orang seperti mbak B, selalu merasa tenteram setelah membaca buku ulama tersebut.


Sebenarnya buku karangan Dr Aidh al-Qarni ini telah lama kumiliki, tetapi waktu untuk membacanya sangat sedikit, sehingga aku kurang dapat menghayatinya. Buku ulama tersebut harus dibaca perlahan-lahan, sesuai dengan keadaan kita saat itu. Ratusan isu mengenai hubungan dengan sesama manusia dan Allah dituliskan oleh beliau dalam buku tersebut. Ajakan untuk ‘jangan bersedih’ atas segala sesuatu yang menimpa kita diulas oleh Dr Aidh al-Qarni satu persatu, dengan menekankan makna atau hikmah dari tiap kejadian.


Berdasarkan pengantar dari penulis, buku tersebut ditujukan untuk mengajak orang agar bersikap lebih optimis agar lebih damai dan tenang dalam hidup. Penulis juga menekankan bahwa mengingat rahmat, nikmat dan ampunan dari Allah akan membuat hati kita lebih lapang. Buku setebal 571 halaman itu banyak memberikan tips untuk mengatasi rasa cemas, sedih, tertekan dan putus asa yang kerap melanda seseorang. Tips-tips tersebut sering diulang-ulang dengan gaya penulisan berbeda untuk lebih menguatkan pemahaman seseorang terhadap suatu hal.


Cara penulisan yang unik dengan menyajikan permasalahan dengan bab-bab singkat memang membantu pembaca untuk mencernanya. Isi tulisan bersifat universal, dapat diaplikasikan oleh seorang muslim atau non-muslim, menunjukkan bahwa menjadi bahagia di dunia-akhirat memang tujuan utama dalam hidup setiap orang. Kutipan pernyataan diambil Dr Aidh tidak hanya berasal dari penulis Timur, tetapi juga penulis Barat, yang telah menemukan hikmah kehidupan.


Begitu bermanfaatnya buku pegangan yang satu ini untuk membantu kita dalam menjalani hidup di dunia.


Alhamdulillah, Allah telah memberikan hidayah kepada Dr Aidh al-Qarni, ulama dari Arab Saudi, yang telah menuliskan buku ajakan untuk tidak bersedih saat menghadapi masalah dalam hidup yang singkat di dunia ini.


Wassalamu’alaikum Wr. Wb.


Pekanbaru,

Monday, July 25, 2011

Berhentilah melabeli orang dengan ‘LEBAY’


Sering kuamati dari media massa maupun saat berinteraksi dengan teman-teman sendiri, telah terjadi transformasi budaya rumit yang cenderung banyak bicara, suka mencela dan sulit menerima pendapat orang lain. Bahkan yang aneh, jika orang mengajak berbuat kebaikan atau memperingatkan dengan manis malah dicap ‘lebay’. Tuduhan ‘lebay’ ini menurutku, sering tidak rasional dan cenderung lebih emosional. Hanya dikeluarkan oleh orang-orang yang malas berpikir dan menggunakan intuisi mereka untuk menilai kelayakan sesuatu.


Aku pernah mengajak beberapa orang untuk melakukan sebuah kegiatan baik. Mulia, niatnya. Berbagi ilmu pengetahuan dan belajar bersama dalam sebuah wadah sederhana. Semua itu menjadi ladang pahala bagi yang melakukan dan sumber ilmu bagi yang mencarinya. Tetapi, belum lagi pekerjaan itu berjalan lancer, sikapku yang penuh semangat telah dicap ‘lebay’ oleh beberapa orang pengamat. Jujur saja, aku tidak mengerti di mana persisnya aku bersikap ‘lebay’. Sikap antusiasku itu kah yang mengganggu mereka? Jika dipikir, kalau begitu, bukankah mereka cenderung menilai secara emosional ketimbang rasional,? Seorang yang rasional, pastilah berpikir lebih jauh, misalnya, berbagai manfaat bergotong-royong dalam kebaikan untuk menyebar ilmu bagi orang lain.


Mengapa masyarakat kita cenderung cepat sekali memberi label ‘lebay’ bagi orang lain? Apakah kata menyebalkan itu, menjadi sebuah cap baru untuk hal-hal yang tidak disukai secara subjektif? Di mana letak batasannya untuk menggunakan kata ‘lebay’? Suka or tidak suka yang standarnya berbeda-beda bagi tiap orang? Di sinilah letak ketidak adilannya dan ketidakpahaman seseorang jika ia cepat melabeli seseorang ‘lebay’ tanpa mau tahu dulu duduk persoalannya.


Kalau diperhatikan lebih lanjut, ucapan ‘lebay’ bisa dijadikan cara untuk melampiaskan rasa ‘iri tanda tak mampu’. Bukankah orang sering berkata seperti itu untuk orang-orang yang sedang mengumumkan keberhasilan atau menyiarkan kesuksesannya? Daripada berperilaku positif seperti memberi semangat atau mengakui kelebihan, rasanya lebih pas mengatakan ‘lebay’ setulus hati. Jadi, bagaimana Allah mau memberikan rezeki yang sama, jika belum selesai mengambil pelajaran dan berdoa ‘agar diberikan hal yang sama’, sudah bersikap negatif duluan dengan memberi cap ‘lebay’. Masya Allah!


Sebaiknya kita mau berpikir sebelum berkata-kata, baik kepada orang lain maupun diri sendiri soal cap ‘lebay’ ini. Coba aplikasikan pada diri, sukakah diri kita saat mengajak pada kebaikan dan mencoba menginspirasi orang lain, tiba-tiba disebut ‘lebay’? Energi antusiasme yang tadinya menggunung, bisa-bisa runtuh begitu mendengar hal tersebut. Apalagi kalau diri adalah tipe sensitif, yang halus perasaannya. Cap ‘lebay’ itu seolah-olah memberikan kesan negatif pada diri orang itu. Tentu saja tidak ada orang yang ingin terlihat buruk di mata orang lain, kan?


Sebaliknya, daripada sering-sering mengucapkan ‘lebay’ dan mendemotivasi orang lain, belajarlah untuk lapang dada menerima kelebihan orang lain. Jangan merasa kecil hati kalau kita berbeda dari orang lain, karena seperti tulisanku sebelumnya (Karena kamu berbeda, maka kamu istimewa), tiap orang memiliki kelebihan unik yang tidak dapat disamai oleh orang lain. Melihat orang yang mendapat nikmat dari Allah, lihat baik-baik dan mulailah berpikir. Jika ingin seperti dia, berdoalah kepada Allah, lalu bekerja keraslah dengan baik. Jangan tampakkan kekerdilan jiwa kita dengan terlalu sering mengucapkan kata-kata seperti ‘lebay’ secara subjektif. Berbesar hatilah, Insya Allah, saat dada terasa lapang, maka pikiran akan lebih jernih dan langkah terasa lebih ringan dalam hidup.


Pekanbaru,

Stop ucapkan ‘lebay’ tanpa makna!

Thursday, July 21, 2011

Renungan untuk para aktivis Buku Wajah


Buku Wajah, menjadi andalan untuk bertemu muka di dunia maya

Mencoba menyambungkan jalinan persahabatan yang mulai pudar maupun yang baru bersinar

Foto terbaik dipasang, status harian dikabarkan, mencoba berbagi apa-apa yang terjadi pada diri

Semua orang tidak mau terlihat susah dan tidak bahagia
Semua orang mencoba terlihat mempesona dan sukses setelah bertahun-tahun tidak berjumpa teman lama

Harus terlihat mempesona dan sukses juga oleh teman-teman baru

Tiap kabar teman-teman di sekitar dilahap dengan seksama

Foto-foto dianalisis, diberi komentar, di acungi jempol dan dilekatkan pada orang-orang

Mencoba mendapatkan potongan-potongan penyemangat, pujian, tanggapan serta rasa bangga bahwa kita masih diperhatikan dan dipuja

Siapa yang dahulunya memang ternama, akan mencoba menyamai kejayaannya di jaman dahulu kala dengan berbagai cara

Mengirim berbagai status, kabar dan komentar tak putus-putus untuk memperlihatkan tiap detik perubahan isi hati dan kepalanya

Teman-teman yang pernah dekat berusaha menanggapi tiap kabar
Mencoba mengembalikan kenangan lama, masa-masa senda-gurau, tutur sapa terasa bermakna

Tapi tiap orang mengalami perubahan dalam perjalanan hidupnya
Punya nilai, harga dan pandangan yang jauh telah berbeda dengan teman-teman lama
Kabar tak putus-putus dalam hitungan jam menjadikan semuanya tak bermakna
Siapapun di sekitarnya lama-lama akan kecewa
Si lelaki atau wanita yang ingin populer masih berharap tetap tenar...
datang menjenguk laman para pengagum tanpa tulus dengan harapan masih ada perhatian dan pujian

Bak artis lama, selalu mencoba memikat kembali para penggemar dengan tarian atau nyanyian andalannya

Innalillahi, mengapa orang jadi takut tidak populer, walaupun hanya di situs maya?

Tidak ada yang baru, so para pemberi perhatian lama-lama berjalan mundur, pelan-pelan menjauh


Laman yang dahulunya penuh kunjungan berangsur kini mulai sepi perhatian

Akhirnya teman mulai kecewa pada Buku Wajah, bukan pada caranya sendiri menyikapi keberadaan Buku Wajah

Tinggallah daku berpikir keras “mengapa teman, kamu ingin sekali agar tetap eksis seperti dulu?”

Biarkan orang punya dunia baru mereka sendiri dan hentikan sikap mencari perhatian dengan kabar-kabarmu

Apakah kamu merasa kurang nyaman dengan dirimu sehingga perlu selalu terus diperhatikan, dikomentari dan dipuja lewat Buku Wajah?

Bukannya sudah jelas jika orang lain juga ingin populer seperti dirimu

Jadi biarkan sesekali mereka yang populer sekarang dan kamu yang menggemari mereka

Lihat profil mereka, amati foto mereka, balas email mereka dan berikan juga komentar pada tiap status mereka

Barulah kamu mengerti, bahwa di Buku Wajah, siapa yang minta perhatian harus siap juga memberi perhatian ke orang lain!

Hiks!


Perth,

tak bosan-bosannya mengamati polah di Facebook:)

Wednesday, July 20, 2011

Ke New Zealand kami bertualang (bagian 6: Queenstown-Dunedin)

Kota Queenstown masih belum bangun sepenuhnya pagi itu. Lalu lintas masih sepi dan toko-toko masih tertutup. Sebelum meninggalkan Queenstown, hubby mengajakku singgah di Botanic Garden yang terletak di tepi danau Wakatipu. Subhanallah, tempat itu indah sekali. Bunga-bunga musim semi beraneka warna mekar di kebun yang tertata rapi. Pergola, bench dan jembatan batu dengan latar belakang air danau yang biru, menambah kesan dramatis kebun raya tersebut.

Kami mengitari danau Wakatipu dan menyusuri bagian tepinya. Mata kami dimanjakan oleh pemandangan danau biru terbentang dengan hamparan semak-semak berbunga pink dan kuning menyala di tepinya. Indah sekali pemandangan tersebut, sampai aku memohon pada hubby untuk berhenti sejenak menikmatinya.



Mobil kami lalu menyusuri sungai kehijauan yang bermuara di danau Dunstan. Lagi-lagi aku berhasil membujuk hubby untuk berhenti di tepi sungai itu. Kami menuruni tebing untuk mengambil foto-foto bunga berlatarkan sungai hijau. Beberapa pohon yang tengah berbuah lebat di dekat tempat parkir sempat memberikan kejutan menyenangkan bagiku. Pohon-pohon berbuah peach dan plum muda beraneka warna yang belum pernah kulihat sebelumnya! 



Terbayang olehku saat Laura dan Mary, dalam buku ‘Di Tepi Sungai Plum’ (karya Laura Ingalls), memetik dan mengumpulkan beraneka jenis plum masak dari pohon-pohon plum liar yang tumbuh di tepi sungai. Buah-buah itu dijemur, dijadikan selai dan pudding oleh Ma. Belum puas menerka dan mengamati berbagai jenis plum muda di pohon-pohon itu, aku harus menurut pada hubby yang sudah menarikku untuk masuk ke mobil. Ia merengut, karena hobiku melihat bunga dan pohon buah bisa memperlambat perjalanan kami ke Dunedin.

Perjalanan ke Dunedin dapat ditempuh melalui tiga rute. Hari itu, hubby malah memilih jalur tengah yang sebenarnya tidak biasa dilalui orang. Beliau ingin melewati rute yang melalui lokasi syuting Lords of The Rings~ di dekat Minas Tirith, tempat rombongan Aragon dan Gandalf menunggang kuda mereka di LOTR ‘Two Towers’. Awalnya perjalanan tersebut sangat menarik karena penuh pemandangan khas New Zealand, yaitu bukit penuh domba dan sapi-sapi merumput. Kemudian bukit-bukit hijau tersebut berganti bukit dengan semak-semak berwarna abu-abu dan merah jambu.




Setelah itu, dataran yang ditumbuhi pohon-pohon berbunga putih malah membuat anganku melayang-layang kembali, bagaimana rasanya tinggal di sana, bukan sebagai salah satu domba!



Setelah rasanya cukup jauh berjalan, kami tiba di padang rumput yang luas sekali. Jalannya tidak sebagus dan selebar jalan utama. Traktor dan kendaraan pertanian lebih banyak terlihat. Rupanya tempat itu lokasi pertanian juga. Domba-dombanya terlihat lucu diantara rumput-rumput fluffy ini.


Hubby terus memacu mobil ke arah yang diyakininya sebagai tempat lokasi syuting LOTR. Tiba-tiba, hubby menginjak rem mendadak. Ternyata, jalan aspal mulus itu telah berakhir, berganti dengan jalan tanah berbatu. Dengan manyun, kami berdua kembali ke arah datang tadi. Kami tertipu jalur yang diberikan peta dan GPS. Perjalanan ke Dunedin sekarang menjadi lebih lama dari rencana semula. Tapi aku tidak kecewa, karena pemandangan bukit berbunga kuning rimbun terus terlihat sepanjang perjalanan ke sana.


Dunedin, distrik Otago, dapat ditempuh sekitar 5 jam menggunakan kendaraan dari Queenstown. Jika Queenstown dikenal sebagai tempat olahraga ekstrim seperti ski, bungee jumping dan arung jeram, maka Dunedin terkenal dengan pabrik coklat Cadbury-nya! Kota Dunedin terletak di bagian tenggara pulau Selatan. Kota ini terkenal dengan pabrik coklat Cadbury, istana kecil dan University of Otago! Biarpun letaknya terpencil, universitas ini menjadi tujuan utama para mahasiswa untuk mempelajari bidang sains dan sastera. Nama universitas ini begitu lekat di benakku. Ayahku pernah menyebut nama University of Otago beberapa tahun silam setelah kunjungan beliau ke Christchurch. Kota Dunedin sendiri tampak seperti kota-kota kecil khas pelabuhan di Inggris dengan pemandangan bangunan tua dan bersejarah.

Saat tiba di Dunedin, kami langsung mencari masjid satu-satunya yang terletak paling Selatan di negara itu. Mesjid Al Huda berada di Clyeo St, tidak jauh dari University of Otago. Karena mosque barangkali tempat yang paling banyak dicari, sebuah papan penunjuk telah disediakan di ujung jalan masuk lokasi masjid.



Setelah memindahkan barang-barang ke motel, kami mengunjungi Botanic Garden Dunedin. Seperti biasa, aku langsung histeris melihat ratusan jenis bunga berwarna-warni khas negeri empat musim berjejer di sana. Beraneka jenis, warna, bentuk dan bau bunga kunikmati sepuasnya. Untunglah hubby mau bertualang sendiri dengan kamera kecilku dan meminjamkan kameranya yang lebih canggih untuk memotret bunga-bunga. Kelak, aku akan menceritakan Botanic Garden ini di tulisan tersendiri, ya.

Kemudian kami berbalik ke arah pusat kota untuk mengunjungi University of Otago. Aku senang sekali mendapat kesempatan menarik tersebut. Saat mengambil foto-foto bangunan unik di kampus itu, kami bertemu dua orang Malaysian Postgrad Student yang sedang berjalan pulang ke asrama mereka. Aku sempat bertegur sapa dengan mereka, sambil menceritakan petualangan kami di Pulau Selatan dengan singkat. Menurut mereka, meskipun kehidupan di kota Dunedin cukup menarik, tetapi terlalu jauh dari Kuala Lumpur dan sangat dingin di musim dingin.


Kampus University of Otago itu termasuk besar dan penuh bangunan bergaya Victoria. Jika bisa kuliah di tempat ini, pastilah aku sudah mendaftar untuk studi lanjut di sini. Sayangnya Uni of Otago lebih terkenal dengan bidang sains seperti kedokteran, farmasi dan art. Tidak ada fakultas Engineering. Bangunan dengan ciri khas Victorian di Dunedin banyak ditemukan, seperti di Uni of Otago. Tidak heran, karena Dunedin salah satu kota penghasil emas pertama di Pulau Selatan dan sudah ada sejak masa Victorian, sehingga di tempat ini banyak bangunan dengan gaya tersebut, seperti Tower Clock, Railway Station dan Dunedin Castle.



Jika hari belum terlalu sore (pada saat itu sudah pukul 7.30 malam, sebenarnya), kecantikan kompleks kampus University of Otago pastilah terlihat lebih memukau. Sayup-sayup di gedung sebelah tempat kami memotret terdengar suara sopran wanita bernyanyi diiringi piano. Sungguh cocok dengan suasana kampus ini. Persis sewaktu di Shanghai, saat aku melewati bangunan kampus, terdengar lagu berbahasa Cina dengan denting gitar, seperti di sinetron-sinetron Korea. Wuah… seperti ada background musiknya saja!




Sebelum tidur malam itu di motel, aku teringat pemandangan yang membuatku berimajinasi. Saat mobil berhenti di city centre tadi, aku melihat seorang wanita berkerudung, yang sepertinya dari Malaysia, berjalan mendaki trotoar yang menanjak curam. Di bahunya tersandang tas laptop dan tangannya menjinjing sebuah tas plastik berisi makanan segar. Sepertinya ia sedang dalam perjalanan pulang setelah singgah sebentar di supermarket. Hmm, apa yang sedang dipikirkannya, ya? Senangkah ia tinggal di kota dingin ini? Bagaimana rutinitas yang dialaminya setiap hari? Sedihkah ia berada jauh dari keluarganya di tanah air? Ingin masak apa ia malam ini? Aku teringat saat pertama kali tinggal di negeri orang. Seru, sedih, excited, zzzzz….

Pekanbaru,
Rindu bertualang lagi…

Friday, July 15, 2011

Sun tan vs White


Di Perth, aku merasa lucu kalau ada orang yang mengatakan ‘You have a beautiful brown skin’. Beautiful? Kagak salah yaw? Apalagi kalau melihat mereka begitu tergila-gila berjemur supaya segosong diriku. Selain berjemur di pantai, sampai-sampai ada yang menyewa solarium, tempat tidur untuk ‘menggosongkan kulit’ di salon-salon agar mendapatkan ‘coklat yang cantik’ seperti kulitku itu. Hehe…


Menurut pengamatanku saat masih berada di UK, memiliki kulit coklat setelah berlibur seperti ukuran gengsi setelah liburan usai. Semakin coklat semakin jauh dan mahal lokasi liburan mereka. Pada saat itu, berlibur di negara-negara tropis masih sangat mahal, karena jumlah penerbangan dan harga tiket belum tentu terjangkau bagi semua orang. Kulit coklat rata tersebut mereka sukai karena identik dengan kondisi fisik yang sehat dan bugar. Oleh karena itu mereka berlomba-lomba berjemur atau melakukan tanning instant di salon untuk mendapatkan kulit coklat seperti kita, orang Asia.


Akan halnya di Australia, kami malah diwanti-wanti untuk tidak selalu terpapar sinar matahari, karena intensitas sinar Ultra Violet (UV) di Australia sudah melebihi batas aman. Beberapa kenalan dosen di kampusku sempat mengingatkan kami akan bahaya UV tersebut. Konon, waktu muda dahulu, para kakek-nenek yang sangat suka berjemur di musim panas, ketika tua mendapati diri mereka didiagnosa mengidap kanker kulit (melanoma). Sedikitnya dua diantara tiga orang Australia telah didiagnosa melanoma sebelum berusia 70 tahun. Penyakit ini disebabkan oleh gelombang UVA dan UVB saat matahari bersinar pada pukul 10 pagi sampai 4 sore.


Beberapa sumber menyebutkan telah didapati beberapa lubang ozone di benua Australia yang cukup besar dan akan terus membesar hingga kini. Hal ini disebabkan oleh tingginya pemakaian aerosol oleh penduduk bumi yang mengeluarkan senyawa CFC di udara. Senyawa dengan caranya sendiri terbang dan berkumpul di belahan bumi Selatan, lalu menipiskan lapisan ozon di daerah tersebut secara lambat-laun. Oleh karena itu, tidak heran, paparan UVA dan UVB di Australia dan belahan bumi Selatan benar-benar tinggi karena tidak tertahan oleh lapisan ozon secara sempurna.


Cara instan untuk mendapatkan kulit coklat adalah menggunakan solarium, atau tempat tidur pembuat tan (tan: kulit kecoklatan. Biasanya solarium digunakan untuk mendapatkan kulit coklat rata dan dioperasikan di gym atau salon tanpa izin khusus dari departemen kesehatan. Solarium termasuk barang berbahaya, karena energi yang dikeluarkan oleh solarium sebenarnya lima kali lipat dari sinar matahari biasa. Jika digunakan secara berlebihan, maka kulit akan cenderung terbakar dengan cepat dan resiko melanoma bisa lebih besar. Dalam kondisi normal, kulit mungkin hanya mengalami iritasi biasa seperti kering, gatal dan memerah. Disamping itu, sinar UVA dan UVB dalam solarium akan merusak kornea mata yang dapat mengarah pada kataraks dan kebutaan. Karena solarium begitu berbahaya, saat ini telah dikeluarkan peraturan yang membatasi penggunaan solarium secara komersial tanpa pengawasan. Seingatku, di UK dulu, solarium seperti ini dipakai dalam terapi sinar matahari bagi penderita depresi ‘gloomy weather’. Penderita depresi ini adalah orang-orang yang tidak memiliki uang untuk berlibur ke daerah tropis tetapi mengalami stress berada di udara dingin dan mendung terus-menerus.


Sedangkan di Asia, konsep ‘cantik itu kalau berkulit putih’ telah merusak konsep pemikiran mereka. Para wanita berlomba-lomba memutihkan kulit wajah dan tubuh mereka dengan berbagai cara. Dari cara tradisional seperti memakai bengkoang, suntik vitamin hingga menggunakan krim khusus untuk pemutih. Wajah putih bersih tak bernoda dianggap moda kecantikan baru bagi mereka. Padahal, penggunaan krim-krim pemutih dalam jangka panjang, bisa menyebabkan kerusakan ginjal maupun kanker akibat logam-logam berbahaya yang terdapat dalam krim tersebut. Belum lagi krim pemutih tak berizin produk suatu negara, dapat mengakibatkan lapisan kulit luar terkelupas habis sehingga malah tidak dapat menahan sinar matahari. Pada akhirnya, paparan UVA dan UVB secara langsung ke kulit akan menyebabkan kanker kulit seperti yang dialami para penggemar kulit coklat tadi.


Hal ini mengingatkanku bahwa manusia memang tidak pernah merasa sempurna dan mudah cemburu pada orang lain. Wanita Australia yang berkulit putih kemerah-merahan ingin memiliki kulit coklat seperti wanita Asia. Sedangkan wanita Asia malah tidak bersyukur dengan kondisi kulit gelapnya, berpikir bahwa kulit putih lebih cantik. Pada akhirnya, kedua belah pihak perlu merubah cara pandang mereka terhadap konsep warna kulit. Jika wanita Australia menyadari bahwa terlihat bugar bukan dari warna kulit coklat, maka wanita Indonesia juga perlu ingat bahwa cantik tidak identik dengan kulit putih. Wanita Australia tidak perlu berjemur seharian, mereka dapat menggunakan produk kecantikan dengan efek ‘tan’ yang berkilau. Sedang wanita Indonesia tidak perlu menggunakan produk pemutih, cukup menggunakan bedak dengan warna setingkat lebih terang agar kulit mereka terlihat cerah.

Pekanbaru.

Monday, July 11, 2011

Karena kamu berbeda, maka kamu istimewa



Suatu dini hari di Jogja, aku yang kelelahan mempelajari mata kuliah matematika sambil terkantuk-kantuk berharap menjadi miss R, temanku si jago integral-diferensial. Kali lain lagi, aku berharap punya wajah menarik dan semampai seperti mbak J, aktivis kampus UGM. Belum sempat jadi mereka berdua, aku sudah kepengen seperti mas B yang jago sekali menulis esai dalam bahasa Inggris. Saking jagonya, dalam satu jam ia dapat menulis tiga esai bermutu tinggi. Hwa, tolonglah aku, ingin seperti mereka!

Kelihatannya rasa ingin menjadi orang lain bukan penyakit diriku saja. 

Kalau diperhatikan baik-baik orang-orang disekelilingku, banyak juga yang berharap bisa jadi orang lain. 

Contoh kecilnya saja, dalam berkarir, kita ingin sekali seperti pak A atau prof B. Padahal kita sendiri tidak terlalu suka kerja di lapangan, menulis artikel ilmiah atau memimpin suatu tim. Tetapi kerangka berpikir kita di bidang tersebut, sudah mengarahkan bahwa contoh kesuksesan seorang akademisi ya, harus seperti pak A atau prof B tadi. 

So, dengan susah payah kita mencontoh mereka baik-baik, dengan suka rela menghabiskan waktu berhari-hari mengerjakan sesuatu yang tidak kita nikmati karena kuatir tidak bisa jadi sama dengan mereka. Kadang-kadang pengorbanan berbuah manis, tapi tak jarang malah berujung pemberontakan dari hati kecil sendiri.

Marilah kita pikirkan baik-baik, tentang mengapa kita harus selalu sama dengan orang lain dalam hal keduniawian? 

Bukankah kita diciptakan Allah berbeda-beda, memiliki kekhususan, keistimewaan dan rezeki yang tidak seragam. 

Maka, kita pastilah tidak dapat menyamai orang lain dan merekapun sudah pasti tidak dapat menyamai kita pula. So, dengan berpikir bahwa kita harus seperti orang-orang tersebut, sebenarnya sudah tercipta sebuah jerat maut untuk diri sendiri. Kita tidak akan pernah puas menjadi diri sendiri dan selalu bermimpi ingin menjadi orang lain. Sifat dengki atau taklid buta akan menjerumuskan kita menjadi manusia yang bodoh dan tidak dapat menerima nasib sendiri. Tidak heran banyak sekali wanita muda yang mengalami krisis kepercayaan diri dan depresi jangka panjang karena tidak dapat menerima keadaan dirinya.

Allah telah berfirman dalam QS Al-Lail:4, “Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda”.

Allah telah menciptakan kita tidak menyerupai siapapun, sehingga memilik watak, potensi dan kepribadian tersendiri. 

Perbedaan ini menjadikan tiap orang sebagai insan istimewa, karena mereka memiliki berbagai bakat sehingga dapat melakukan tugas-tugas berbeda. Lalu, karena tiap orang memiliki perbedaan, maka mereka harus dapat menerima nasib sendiri dengan penuh keridhaan. Ketimbang terlalu fokus dengan perbedaan, lebih baik pikirkan cara untuk berkontribusi pada hidup yang singkat ini dengan mulia.

Pahamilah keistimewaan diri. 

Jika tidak bisa, minta orang tua, pasangan atau teman baik membantu kita mengevaluasi diri. Lalu, maksimalkan usaha. Kerjakan apa yang kita bisa, jangan terpaku dengan hal-hal besar tanpa pernah melakukan hal-hal kecil terlebih dahulu. Pada akhirnya, saat keberhasilan telah ada di tangan, kita akan dapat melihat bahwa tiap diri sebenarnya mampu berkontribusi sama banyaknya dengan orang-orang yang dianggap hebat dalam hidup ini.

Tentang diriku, sudah lama aku berhenti ingin menjadi orang lain. 

Aku telah melakukan perenungan cukup terstruktur untuk mengenali diriku dan bakat yang kumiliki. Karena ada beberapa hal yang kukira dapat kulakukan dengan baik, maka aku berusaha tetap berada di koridor yang telah kuatur agar lebih optimal dalam berusaha. Aku akan mencoba mengikuti rencana-rencanaku ketimbang mengikuti rencana atau jalan hidup orang lain. 

Aku ingin nyaman dan bahagia, karena saat aku bahagia, diriku lebih mudah bersyukur.

Alhamdulillah.

Sekali lagi, kata kuncinya, “karena kamu berbeda, maka kamu istimewa”.

Pekanbaru,

Thursday, July 7, 2011

Ketika aku... belajar mendengar


Sebenarnya aku tidak terbiasa mendengarkan orang lain berbagi isi hati. Aku memang menghindari hal-hal seperti itu agar tidak terjebak pada ‘prejudice’ atau bias terhadap seseorang. Tetapi, akhir-akhir ini, setelah aku belajar ‘mendengar’, ternyata sikap bias tadi cenderung berkurang. Aku merasa lebih bahagia dan bersyukur.


Tadinya aku bukan orang baik hati yang selalu punya waktu untuk mendengarkan orang lain. Aku selalu sibuk sendiri, tak punya waktu untuk bersosialisasi lebih karena selalu merasa harus fokus pada pekerjaan dan studi. Bagiku, mendengarkan keluhan, uneg-uneg bahkan gosipan tentang orang lain akan menyebabkan aku tidak bisa objektif menilai seseorang. Apa yang dikatakan orang biasanya membuat aku berpikir keras untuk menentukan sikap, bayangkan, begitu kakunya diriku! Hitam atau putih, itu saja yang ada di pikiranku.


Hingga suatu hari aku bertemu dengan seorang teman OZ yang sedang mengambil Master of Psychology di Curtin University. Tadinya aku ingin curhat kepadanya, karena aku merasa nyaman dengan statusnya sebagai seorang psikolog. Tetapi belum sempat mengeluarkan uneg-uneg, aku telah disalipnya. Ia mulai cas-cis-cus tentang hubungannya dengan sang pacar. Kebetulan saat itu aku punya saran untuknya. Saat aku ingin gantian menceritakan masalahku, ia kembali memotong dan curhat soal hal lain. Walhasil, pada hari itu aku sukses mendengarkannya, tapi tidak punya kesempatan berbagi masalahku.


Kejadian itu berulang lagi dengan dua atau tiga teman yang sama tahun lalu. Mereka sepertinya lebih berminat menceritakan kondisi mereka, ketimbang mendengarkan curhatku. Setelah berburuk sangka, berpikir apa cara berceritaku membosankan atau hidupku kurang menantang bagi mereka, akhirnya aku memutuskan untuk belajar mendengar sajalah. Daripada sakit hati dan tenggorokan mengulang-ulang kisahku yang tak juga dianggap serius oleh teman-teman, mungkin lebih baik mendengarkan kisah mereka saja.


Sebenarnya mendengar itu sangat mudah. Tinggal tutup mulut, buka panca indera dan menghayati tiap perkataan dari mereka. Sesekali untuk menunjukkan kalau kita mengerti, beri tanggapan singkat. Barulah jika mereka bertanya, aku memberikan beberapa solusi atau analisa berdasarkan pengetahuan, lengkap dengan referensinya. Hehe, itu kalau aku mengerti persoalannya. Jika tidak, aku memilih mendengar saja, lalu mencoba menenangkan atau membuat si pencerita merasa nyaman.


Bukan main, setelah banyak mendengarkan curhat dan keluhan teman, bukannya aku tetap bias, tapi aku malah belajar memahami orang lain. Jika seseorang yang dulunya kukira tangguh, ternyata bisa rapuh juga. Orang yang kukira hidupnya biasa-biasa saja, ternyata sungguh luar biasa. Ada juga teman yang merasa hidupnya sungguh luar biasa, tetapi tidak bisa mempesona diriku. Dengan diam saja, ternyata aku malah jadi bisa belajar banyak hikmah, punya waktu merenung dan mensyukuri tiap kekurangan-kelebihan yang kumiliki. Nilai plusnya, kemampuan mendengar membuatku dapat memahami berbagai konflik yang dialami manusia tanpa harus menghakimi mereka sedemikian rupa. Yang kuperlukan hanya mau ‘mendengar’, lalu berdasarkan pemahamanku tentang masalah mereka membantuku bersikap lebih fleksibel dalam menghadapi sesuatu. Dan so pasti, aku merasa jauh lebih bahagia, karena sekarang aku lebih mengerti duduk suatu masalah dengan diam mendengarkan. Rasa syukurku juga bertambah, karena dengan mendengarkan masalah pelik yang mereka hadapi, aku mengerti kalau yang kualami dalam hidup tidak selalu buruk untukku.


Jadi kawan, tunda keinginan untuk selalu menjadi pembicara tunggal dalam tiap acara pertemuan dengan teman-teman. Duduklah diam-diam, perhatikan, dengarkan, apakah di sekitar kita ada orang yang memerlukan ‘telinga kita’, lalu motivasi atau kesejukan kata-kata. Mudah-mudahan lewat sikap perhatian kita lewat mendengar tadi dapat membantu meringankan hati mereka yang berat, meningkatkan empati dan menguatkan persahabatan kita dengan mereka. Bukankah muslim yang baik itu, adalah yang bermanfaat bagi orang lain?


Insya Allah.


Pekanbaru,

Saturday, July 2, 2011

Perjalanan pulang ke kotaku, Pekanbaru


Setelah mengalami kesibukan luar biasa untuk mengepak, membuang dan menghibahkan barang-barang ‘koleksi’ di unit apartment kami, aku dan hubby dengan penerbangan berbeda pada akhirnya meninggalkan Perth, pada tanggal 17 Juni 2011.


Pagi itu, aku sempat cemas dan ragu karena mbak A yang bersedia mengantar belum juga datang. Kasihan, sudah menyusahkan beliau. Tetapi aku takut pula berangkat sendirian ke airport, karena di saat winter, matahari baru terbit pukul 7 pagi. Setelah ditelpon, tak lama mbak A muncul tergesa-gesa dan menurunkan aku di airport. Sedih terasa, apalagi saat mengucapkan selamat berpisah dengan mbak A, teman yang sudah banyak mengajariku berbagai hal untuk menjadi wanita dewasa.


Proses check-in tidak memerlukan waktu yang terlalu lama, tetapi proses di imigrasi membutuhkan kesabaran luar biasa. Antrian masuk terlalu panjang. Tampaknya banyak sekali orang yang memilih penerbangan pagi. Imigrasi yang berlapis-lapis ini menyebabkan ruangan penuh sesak. Setelah dapat keluar dari tempat tersebut, aku segera mencari tempat untuk shalat subuh. Beginilah, berada di negara non-muslim, setiap ada celah kosong harus dapat dimanfaatkan saat waktu beribadah tiba.


Tujuan awal penerbanganku adalah Denpasar, Bali. Di luar dari kru yang sudah pasti berkebangsaan Indonesia, barangkali aku termasuk satu diantara beberapa orang penumpang berwajah Indonesia. Pesawat itu dipenuhi OZ yang siap berlibur di Bali, tempat wisata yang konon murah serta tak jauh dari Perth untuk melarikan diri dari musim dingin. Aku belum pernah mengalami penerbangan yang sungguh meriah seperti ini. Penumpang ribut, menjerit, bercakap-cakap dengan keras serta belasan orang yang bolak-balik ke toilet cukup mengganggu kenyamanan tidur singkatku. Untunglah film ‘Sang Pencerah’ di layar tivi mungil dapat mengalihkan kekesalanku selama perjalanan 3.5 jam menuju Bali tersebut.


Tiba di Denpasar, bandara yang ramai sesak tersebut seperti memberi kejutan pada diriku. Udara panas, tempat keberangkatan domestik yang cukup jauh, kerumunan penjemput dan semuanya terasa berbeda sekali dengan tempat keberangkatanku pagi tadi. Aku cepat-cepat menuju gerbang keberangkatan dan menunggu dengan keringat bercucuran. Setelah sempat panik mencari alat berkomunikasi, aku menemukan internet gratis di samping lounge. Biarpun internetnya super lelet, aku berhasil mengirim pesan ke adik ipar lewat facebook. Entah dibaca atau tidak, yang penting, aku sudah mengirimkan pesan untuk tim penjemput di bandara Soekarno-Hatta, Jakarta.


Biarpun pulang ke Indonesia sangat menyenangkan, tetapi aku mengalami beberapa kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan cepat. Beberapa hari di Jakarta ternyata menjadi saat-saat paling memprihatinkan bagiku. Tubuhku yang belum terbiasa dengan udara panas Jakarta, gigitan nyamuknya, hingga udara berpolusinya, membuatku diriku jadi lemas tak berdaya. Belum pernah aku seletih dan selemas itu setelah sekian lama di Perth. Tubuhku seperti sebuah pegas tertekan yang kembali melar, semuanya terasa sakit dan pegal. Tetapi masakan enak dari ibu mertua dan sambutan hangat dari keluarga serta keponakan lucu-lucu dapat membantu diriku untuk pulih dengan segera. Memang dahsyat efeknya, ya, berkumpul dengan keluarga kembali.



Saat mencapai Pekanbaru, aku sudah tidak merasa letih lagi. Walaupun udaranya cukup panas, tetapi hembusan angin selalu dapat mengurangi rasa gerah. Berbeda dengan angin hangat di Perth yang berasal dari gurun, bukannya menambah kesejukan, tetapi menyebabkan udara bertambah panas. Satu hal lagi yang membuatku kaget, adalah lalu lintas super padat dan kemacetan akibat pembangunan jalan layang di tengah kota. Hingga saat ini aku belum berani menyetir sendiri di jalan. Mungkin aku harus pelan-pelan beradaptasi dengan kesibukan lalu lintas sampai berani lagi untuk mengendarai kendaraan.


Hal lain yang membuatku sangat gembira, adalah bermacam-macam makanan lezat bisa dimakan tanpa kuatir akan status kehalalannya di sini. Bolu, jajan pasar, nasi padang, atau makanan rumah, semuanya terasa berbeda dengan makanan yang kumakan di Perth. Tidak salah, kalau teman-teman di luar negeri sempat mengutarakan kerinduan mereka dengan makanan khas Indonesia,begitu mendengarku akan pulang. Mungkin karena rasanya yang sangat khas dan ‘tasty’ dari makanan Barat, selalu mengingatkan kita pada berbagai kejadian dalam hidup.


Wah, begitulah, semoga perjalanan pulang kali ini membawa banyak cerita baru untuk blogku. Aku akan berusaha tetap kreatif dan produktif, meskipun sudah kembali ke kotaku, Pekanbaru.


Pekanbaru,