Thursday, October 27, 2011

Acknowledgement


26 October 2011
This could be the most awaited day for all PhD students.



A final thesis submission day!

Alhamdulillah, Allah is always very kind to me. I could come to Perth to do the revision and submit the final version of my thesis to Office R&D. 

Hopefully in the next few weeks there will be news about the graduation certificate, so I could be officially… such a ‘thing’ below (wink!).

(This photo was taken during an 'informal graduation' for International Student, organized by the International Office Curtin University, December 2010)


So, the journey of my PhD may have ended now… a bit sad, of course,
however, I’m definitely looking forward to experience another heroic journey in the future. Insha Allah.

During this journey, I’ve met and got some help from numerous people. I acknowledged them in the ‘Acknowledgement’ section in my thesis.


Acknowledgement

Alhamdulillah, ya Allah, finally I could accomplish my PhD study. Thank you very much for Your great hidayah and rahmah during this heroic journey.
I would like to acknowledge a number of people who supported me to produce this thesis.
Firstly, I would like to express my gratitude to Professor Hamid Reza Nikraz, the best supervisor that I have ever had, for his invaluable support, encouragement, assistance and guidance throughout this PhD study. I have learned a lot during this learning process mainly from the opportunities that were introduced by him.
I would like to acknowledge University of Riau my current employer in Indonesia. I also would like to thank the Australian Development Scholarship for the financial support and assistance. Thank you to Mr David Spiller, Mr Reza Reinanto, Ms Julie Craig, Ms Sarah Treagold, Ms Chris Kerin and Ms Kristen Soon for their support for me and my family during my study in Perth.
I received help and support from many wonderful technical staff in the department and laboratory of the Faculty of Science, Engineering and Computing, Curtin University of Technology. Thank you very much to Mr Ashley Hughes, Mr Robert Cutter, Mr John Murray, Mr Carl Lewis, Mr Bradley Frank, Mr Mike Appleton, Mr Michael Ellis, Ms Karen Haynes, Ms Ann Carol, Mr Mark Whittaker, Mr Russel Wilkinson, Mr Jo Justin, Mr Jim Sherlock, Mr Mark Fowler, Prof Vijay Rangan, Dr Ian Chandler, Dr Prabir Sarker, Ms Liz Field, Ms Dianne Garth, and Ms Sucy Leong.
I am grateful to Dr Reza Javaherdashti, Dr Navid Mohamaeni and Prof Michael Borowitzka from Algae R&D, Murdoch University, Western Australia, for their help in some parts of my thesis; Dr John Fielder (Teaching & Learning Development) and Prof Jeanne Dawson (The Learning Support). I acknowledge Dr Navid Nikraz and Julia Lightfoot for helping me in proofread the final manuscript.
It is also important to acknowledge friends who always help and give me spark of ideas throughout my experimental work and analysis. Thank you very much to Dr Hanisom Abdullah, Dr Djwantoro Hardjito, Dr Iwan Hwan Harsono, Dr Noor Hakim bin Rafai, Dr Ee Hui Chang, Dr Miftahul Fauziah, Ms Mareese McCloughin, Pei Wen Lau and all the wonderful friends that I could not mention one by one here. Thank you for helping me in different aspects of my research.
On my journey, I met some scientists and engineers from Concrete Institute of Australia who gave valuable input for my research. Thank you very much to Dr Shindunata and Andrew Peek (GHD Pty), Dr David Law (RMIT), Dr Kwesi Sagoe-Krentsil (CSIRO), Dr Tony Song (Boral), Ms Elaine Miller (Centre for Material Research, Curtin University) and Nhu Nguyen (SGS Laboratory).
I’d like to give the biggest appreciation to my husband, Gunawan Wibisono, who’s very patient and helpful, always there for me in the good and bad times or up and down situation during my study. Thank you so much for your constant love, dear.
I’d like to thank my dear parents & parents-in law, Papa Hailubis & Mama Lisma Erni, Bapak Wadijono & Ibu Supiyani for their constant support, prayers and love for us. Finally, I am grateful to my sister Ms Paulina Atry, my brother Mr Wahyudi, sister Cut Wulan and my little niece, Alila.
====================================================================


Please don't feel bad if you cannot find your name there. I didn't forget you when I wrote this page, besides, I've got so many friends to thank for their contribution. So, I just simply put everyone in this  sentences:

.... all the wonderful friends that I could not mention one by one here. Thank you for helping me in different aspects of my research...
(I think this is quite obvious)


Now, let’s get back to work… I mean, making plan for a weekend trip, as a reward for this big milestone.

Hope you enjoy your weekend!

Perth,

Sunday, October 23, 2011

Ke New Zealand kami bertualang (bagian 7: Dunedin-Twizel)

-->
13 November 2010
Whuaa, pagi yang indah di Dunedin. Tapi tidak ada waktu untuk bermalas-malasan. Kami membereskan tumpukan barang-barang di kamar dan memasukkannya ke dalam mobil. Hari ini kami bertekad sampai lebih awal di Twizel, Mackenzie District.

Tur pendek di pusat kota
Sebelum meninggalkan Dunedin, kami melakukan tur singkat keliling kota klasik ini. Chinese Garden menjadi tempat pertama kunjungan kami. Sayangnya kali ini aku tidak dapat bercerita mengenai isinya, karena kebun masih ditutup. Gerbang megah di depan kebun lantas jadi penanda bahwa aku pernah berkunjung ke sana. Serasa di Cina saja ya. Selanjutnya kami berputar-putar di tengah kota melihat museum Dunedin, pabrik coklat Cadbury dan bangunan-bangunan klasik di seputar kota dingin tersebut.


Pesisir Timur
Twizel, kota di Mackenzie District menjadi tempat persinggahan terakhir acara keliling pulau Selatan. Untuk mencapai tempat itu kami menyusuri jalan lintas pesisir Timur . Dari Dunedin, perjalanan dilanjutkan ke Waikouaiti dan Palmerston. Di Palmerston aku berbelanja buah-buahan dan sayuran segar untuk menambah perbekalan kami. Kebetulan kami sedang ngidam keripik kentang dan apel merah yang crunchy. Toko-toko di Palmerston umumnya bergaya vintage. Seperti kota-kota lama di South Island ini, kita bisa temukan berbagai peninggalan bersejarah yang berkaitan dengan aktivitas pertambangan emas awal abad 20 di pusat-pusat kota.

Salah satu tempat yang tak sengaja kami temukan di Oamaru bernama Victorian Precinct. Kompleks bangunan lama tersebut terdiri dari restoran, museum, toko wol (woolstore), galeri dan pertokoan bergaya Victorian. Di depan kompleks itu terdapat sejenis English cottage garden yagn lebih menarik hatiku. Sayangnya aku cuma punya waktu sebentar saja untuk menghirup nafas dalam-dalam, duduk di bench meresapi suasana dan memotret bunga-bunga yang tak pernah kulihat dalam hidupku. Hubby lebih menyukai public art di antara gedung-gedung besar tadi. Karya logamnya sungguh kuno, kurang menarik hatiku. Tempat ini sangat ramai dikunjungi oleh turis-turis asing. Sekejap saja mereka bergerak memenuhi kompleks bangunan maupun kebun yang tengah ku eksplorasi.



Perjalanan kami di provinsi Otago melewati kota-kota kecil seperti Kurow dan Otematata dan beberapa danau besar seperti Lake Waitaki, Aviewmore dan Benmore. Lake Benmore merupakan tempat yang paling padat dengan pengunjung. Di tepi  danau tersebut, beraneka bentuk karavan, tenda dan motor home terparkir rapi di sana. Danau itu terkenal dengan aktivitas memancing, mendayung, naik boat ataupun sekedar rileks menikmati pemandangan gunung di sekitarnya.Melihat keadaan di tepi Lake Benmore, aku teringat pengalaman anak-anak di Eropa dan Amerika yang selalu menikmati sekali kegiatan musim panas di tepi danau.

Omarama, dalam bahasa Maori berarti ‘place of light’. Tempat ini terkenal dengan langitnya yang cerah dan terang untuk mengamati bintang-bintang. Lokasinya berada di persimpangan Omarama-Twizel Rd, Omarama-Linds Pass Rd, dan Omarama-Otemata Rd. Kota ini penghasil susu, wol dan pertanian dan beberapa tahun belakangan populer sebagai tempat peristirahatan, olahraga salju, terbang layang maupun tramping (trekking dan camping, OZ bilang: bushwalking).


Padang lupin di Ahuriri river, Twizel-Omarama Rd
Berangkat dari Omarama, kami menyusuri jalan Twizel-Omarama Rd menuju Twizel. Tempat ini memiliki padang-padang rumput luas dengan latar belakang pegunungan Selatan. Saat menyeberangi jembatan di atas Ahuriri river, aku terbelalak. Ribuan bunga berwarna pink hingga ungu memenuhi sisi tepi sungai penuh kerikil tersebut. Sepertinya padang lupin yang kucari-cari! Hanya ada di musim semi! Hubbypun membelokkan mobil dan turun dari tepi jalan untuk mendekati sungai yang nyaris penuh bunga tersebut. Beberapa kendaraan di belakang kami juga berbelok mendadak. Tampaknya, orang-orang tidak ingin melewatkan padang bunga indah itu!



Di sinilah keceriaan sebenarnya dimulai. Alas kaki harus dilepas agar tidak basah. Kaki-kaki seolah menjerit bersentuhan dengan air sungai Ahuriri yang dingin. Ternyata berjalan di sungai dangkal dengan arus tidak terlalu kuatpun cukup sulit karena kerikil-kerikil di dasar sungai tidak mudah untuk diinjak. Aku harus berjalan cepat dan berpegangan pada hubby. Di depan, hamparan ribuan bunga lupin tegak berdiri menyambut kami. Bunga lupin memiliki 280 spesies dengan aneka ukuran, warna dan tingkatan racunnya. Bunga ini berasal dari Amerika Utara, tetapi banyak juga ditemukan di daerah Mediterania, Afrika, Canada dan New Zealand. Di Texas, US, bunga ini dikenal sebagai blue bonnet. Kuntum berbentuk bunga kacang-kacangan tersusun rapi dalam sebuah tangkai besar dan berat. Lupin yang dapat dimakan tergolong kacang-kacangan sehingga dapat diolah menjadi makanan ringan, vegetarian sosis, tahu dan tepung. Di tengah padang bunga itu, aku lebih mirip seekor kupu-kupu yang sibuk hinggap di sana-sini mengamati, meraba dan mencium bau harum lupin di udara. Betapa indahnya tempat ini, Subhanallah… Padahal menurut sebuah laporan soal lingkungan, penyebaran lupin yang sangat cepat di Ahuriri river telah merusak ekosistem dan habitat burung-burung air di sana.

Aoraki/Mount Cook, puncak tertinggi di South Island (3754m)
Sudah menjelang ashar, tetapi hubby bersikeras ingin mendatangi Mount Cook, di Mt Cook National Park. Puncak gunung bersalju ini selalu populer untuk kemping. Dalam perjalanan menuju Aoraki, kita ditemani oleh Lake Pukaki yang misterius. Aku menyebutnya begitu, karena air danau berwarna toska berkat bebatuan di dasarnya yang berwarna putih. Danau berwarna toska itu jika digabung dengan pegunungan dengan puncak-puncak bersalju, maka pemandangan Lake Pukaki di kaki Mt Cook persis seperti pemandangan dalam iklan produk makanan atau minuman segar di media massa. 

 
Di sebuah lapangan luas di kaki gunung itu, puluhan kendaraan dan tenda berjejer rapi menyambut malam. Tidak perlu khawatir dengan fasilitas kemping, toilet yang bersih, dapur dan fasilitas umum tersedia semuanya. Aku dan hubby hanya melirik sebentar ke ‘perkampungan dadakan’ itu, lalu berjalan ke kaki Mt Cook. Oh, lucunya, sebentar-sebentar kami melihat kelinci berwarna abu-abu cukup besar berlari di depan dan menyelinap ke dalam semak-semak. Karena terlalu  lelah dengan perjalanan padat hari itu, aku dan hubby tidak pergi terlalu jauh. Akupun merasa cemas karena sudah hampir pukul 8 malam. Tidak ingin kan, keesokan harinya kalian membaca headline news semacam~ ‘Dua postgrad Curtin tersesat di Mt Cook’.


Farm house di Twizel
Keindahan Mt Cook tidak hanya bisa dinikmati di kaki gunung saja. Saat memasuki rumah pertanian yang kami sewa, pemandangan gunung bersalju itu hadir di jendela besar dapur. Menarik sekali kalau bisa setiap hari memasak atau mencuci piring dengan pemandangan spektakular seperti itu. Apa ada pengaruhnya untuk rasa masakan?

Ssst, sebentar, rumah pertanian? Iya, kami sendiri kaget karena ternyata rumah pertanian itu meskipun terlihat kecil, ternyata terlalu besar untuk dua orang.

Tempat itu sendiri terlalu mewah sebenarnya untuk kami. Farm itu terdiri dari beberapa rumah beraneka tipe. Tipe yang paling besar dan mewah disewa oleh pasangan berkendaraan Mercy. Rumah besar di samping tempat kami dihuni oleh dua pasangan orang tua-tua yang berwajah ramah. Rumah ketiga di ujung jalan sepertinya tidak disewakan.


Tinggal di farm yang sepi seperti ini adalah bagian paling menyenangkan dari perjalanan kami. Meskipun otak terasa segar melihat yang indah-indah dalam liburan, aku dan hubby secara fisik sudah super kelelahan. Jadi, bisa tidur sangat nyenyak ditemani bunyi desir angin di antara pepohonan dan suara binatang-binatang di pertanian, rasanya luar biasa. Hmmh, pokoknya tempat ini memang sangat pas untuk stay out of the crowd...for a deliberately honeymoon couple...



Well, sleep tight…

Perth,

Tuesday, October 18, 2011

A super dedicated Dr IC

The Big Blue Shed, tempat penuh kenangan Dr IC.

Lelaki separuh baya bertubuh besar, tinggi, berambut putih, dan bersuara menggelegar itu selalu terdengar memberi perintah di sana-sini. Walaupun tengah berbicara dengan teknisi di suatu pojok, ia masih sempat memberi petunjuk pada kerumunan mahasiswa yang mengerjakan sampel-sampel mereka di sudut lain. 

Beberapa bulan setelah studi literatur selesai, Dr IC mendapat kesempatan untuk membaca proposalku. 

Menurutnya, banyak hal yang harus diperbaiki walaupun proposal itu sendiri sudah 'readable' (ini poin terpenting, readable!). 

Ia bukan pembimbing utama tesisku, tapi sebagai Associate Supervisor ia berhak memberikan masukan-masukan untuk proposal yang sudah kugarap selama 3 bulan itu. 

Aku hanya bisa menerima komentarnya tanpa banyak protes, karena riset memang hal baru bagiku dan masih banyak yang harus kupelajari agar riset ini bisa dikerjakan dan sukses. 

Disamping itu Dr IC adalah salah satu sesepuh dosen Struktur di Jurusan dengan banyak pengalaman bekerja di proyek sipil, so, kupikir pengetahuanku kemungkinan hanya 0.01% dari pengetahuannya. Tentu saja ia menginginkan riset yang aplikatif, orisinal dan sesuai dengan tujuan akhir kualifikasi level mahasiswa doktoral. 

Rasanya setelah keluar dari meeting tersebut aku seperti melihat puncak sebuah menara padahal rasanya aku masih berada jauh di luar pagar menara itu sendiri. Hm.

Dr IC sangat terkenal akan campur-tangannya dalam berbagai pekerjaan dan isu penting di lab Beton. Meskipun sibuk mengajar kelas-kelasnya dan terlibat dengan berbagai proyek, tetapi Dr IC selalu berusaha hadir meskipun hanya beberapa menit di lab yang sangat luas itu. 

Peralatan yang dimilikinya untuk riset 'membentang' dari bagian dalam lab Beton hingga di bawah struktur 'Big Blue Shed'. Big Blue, demikian kami memanggilnya, adalah tempat menguji sampel besar seperti balok dan pelat berukuran lebih dari 5 meter dengan alat-alat rumit.  

Beliau adalah tipe orang yang super dedicate pada eksperimen dan alat-alatnya, tak sungkan duduk diam di lab berhari-hari tanpa lelah untuk mengutak-utik program dan mengkalibrasi beberapa data logger sekaligus. 

Ia seperti sebuah otak dan bagian dari kelengkapan lab, karena pengetahuannya yang sangat luas di bidang teori dan aplikasi telah menjadi rujukan kepada dosen, mahasiswa, teknisi, praktisi dan konsultan-konsultan di lapangan.

Salah satu hal yang kuamati, beliau selalu ingin turun tangan membantu (baca: mengurusi) semua riset mahasiswa dan dosen yang menginginkan bantuannya tanpa pilih-pilih atau pikir-pikir panjang. 

Bisa jadi hanya dari sekedar saran keilmuan hingga bantuan tenaga, beliau selalu ada. 

Kadang aku heran juga melihat Dr IC mau berkotor-kotor meratakan permukaan beton segar yang baru dicor milik seorang temanku saat ia melewati sampel-sampel tersebut tanpa diminta. 

Aku juga sering terkaget-kaget mendengarnya berbicara denganku saat aku sedang fokus mengerjakan sesuatu yang dianggapnya belum tepat, seperti saat pemasangan sulfur cap untuk benda uji tes tekan. Tanganku sampai pegal mengulangi pencetakan sulfur cap pada sampel agar mendapatkan permukaan yang rata sesuai alat kalibrasi. 

"Jika tidak, hasilnya kurang akurat karena beban tidak terdistribusi merata di permukaan benda uji. Don't worry, there's always a room for improvement", kata Dr IC, membesarkan hati.

Sayangnya, meski super dedicate, dosen seperti Dr IC sepertinya tidak akan pernah menjadi idola para teknisi di lab. 

He always pushy, wants things on the spot, crazy' dan segudang kata-kata berbunga (baca: mengerikan) selalu royal dilimpahkan mereka untuknya. 

Dirikupun selalu bimbang karena kadang mengidolakan beliau, tetapi kadang setuju dengan para teknisi yang ingin beliau pensiun saja dari lab. Jika sedang dibantu oleh beliau, aku merasa 'friends', sedangkan saat ia memotong jadwalku bekerja di lab dan memakai alat-alat yang kuinginkan, aku langsung mencak-mencak sendiri berharap ia tidak pernah punya rencana tak terduga demikian

Tetapi biar suka tak jelas demikian, ternyata di saat-saat paling tak terduga, Dr IC bisa ada untuk membantuku tanpa perlu diminta secara khusus, padahal beberapa waktu kemudian ia tidak lagi menjadi Associate Supervisorku karena berbagai alasan. 

Saat itu teknisi senior sudah pensiun dan ia bersedia membantuku mengambil data terakhir risetku yang telah tertunda selama berbulan-bulan. Dr IC bersedia membantu mengkalibrasi dan mengatur alat-alat tes Modulus of Elasticity tersebut. Lalu kami berdua bekerja sama dengan tenang dan baik menguji semua sampel-sampel dipandu dengan catatan-catatan serta ingatanku yang telah mendapat training khusus dari teknisi senior tersebut. 

Mungkin semangatnya yang meledak-ledak, keinginannya agar semua orang bisa 'as professional as they can be', dan berbagai harapan agar semua tantangan yang diterimanya dalam bekerja dapat terakomodasi selalu membuatnya terlihat sangat produktif dan super dedicated. 

Padahal jika dilihat dari kondisi fisiknya sekarang, beliau tampak lebih tua, lebih fragile dan lebih lambat dari tahun-tahun awal aku berada di lab. Tampaknya beliau masih tidak mau menyerah dengan keadaan, meskipun umur terus menggerus kecepatan aktivitasnya. Suaranya masih menggelegar di berbagai sudut lab. 

Ia pernah mengatakan bahwa kesukaannya pada 'tantangan' dan keasyikan mengajar mahasiswa Teknik Sipil dengan cara berbeda dari semestinya, seperti 'beam competition', demonstrasi pengujian, dan aneka praktek baik di lapangan, bagai ramuan jamu penambah kekuatan serta semangat hidupnya. Semangat itulah yang ingin ditularkannya pada orang-orang di sekelilingnya, pada mahasiswa, dosen dan teknisi. Pada dosen muda seperti aku, ia berpesan agar rajin berinovasi dalam pengajaran dan penelitian, memberikan tantangan-tantangan intelektual pada mahasiswa, sekaligus memperbaiki kompetensi diri agar dapat menjadi pengajar sekaligus insinyur yang profesional di bidangku.

Saat aku berpamitan dari lab untuk selamanya, Dr IC menyalamiku dengan hangat. 

Kulihat matanya penuh kata-kata meski ia sendiri hanya diam saja sambil tersenyum. 

Oh, Dr IC, I think I've got you!

Aku hanya bisa membalas dengan senyum sungkan sambil melirik lantai beton di bawahku karena mengerti artinya. 

Sudah bertahun-tahun aku melihatnya di lab sejak ia menjadi Associate Supervisor hingga aku selesai studi sekarang.  Pada saat bersamaan, bertahun-tahun pula ia melihat kegigihanku bekerja dan berjuang di lab maskulin itu tanpa banyak mengeluh. Aku terus berjalan meski pelan dan banyak sekali tantangan yang harus aku lalui termasuk dari jadwal-jadwalnya yang kadang menghalangi kelancaran pembuatan sampel-sampelku. Bahkan terakhir kali aku harus mengulang eksperimen karena ia menyebabkan listrik satu lab mati saat forklift yang dikendarainya menyenggol instalasi listrik di lab. Oh wow. 

Meskipun pekerjaanku memerlukan waktu lebih lama dari orang lain, kuharap dia melihat usaha-usahaku yang tidak sempurna itu sebagai sebuah usaha terbaikku untuk menaklukkan kesangaran perjalanan mendaki menara PhD.

Detik berikutnya, aku bisa melihat penghargaan dari dirinya. 

Karena ia sekarang mulai berceramah tanpa ragu soal proyek terbarunya di Kalbarri, daerah pertambangan, padaku, seolah-olah aku seseorang profesional yang sudah lama dikenalnya dengan baik.

Thank's Dr IC, "There's always a room for improvement"

Perth,

Friday, October 14, 2011

Ketika aku... bukan berhenti nge-blog, tapi sibuk hal lainnya



Sejak pulang ke tanah air, aku masih sering nge-blog. Belakangan ini, waktu untuk nge-blog agak berkurang, karena aku sibuk memperbaiki sebuah paper yang telah ditagih publisher dan mempersiapkan keberangkatanku ke Perth.


Kembali ke Perth?

Betul, tetapi hanya beberapa minggu saja. Perjalananku kali ini berkaitan dengan konferensi Concrete11 di Burswood, Perth, 12-14 Oktober 2011; bertemu dengan supervisor mengenai thesis dan tentu saja, menemui hubby tercinta.


So pastilah, ini bukan soal rasa hati yang excited untuk menikmati musim semi di Perth. Tetapi, sepertinya kesempatan baik pula untuk recharge ilmu praktisi di lapangan, sekalian mendapatkan umpan-balik mengenai risetku dari para praktisi beton di Australia. Sudah bukan rahasia umum kalau riset beton geopolimer kerap mendatangkan aura skeptis di mata para praktisi lapangan tadi. Sekarang, who knows, sejak carbon tax akan diterapkan dalam industri di Australia, beton geopolimer bisa jadi alternatif binder yang paling laku di pasaran.


Jadi, apa hasilnya menghadiri conference itu?

Beberapa sesi kuikuti karena berkaitan dengan minat risetku, seperti durability, concrete technology dan geopolymer. Seperti biasa, aku seperti mendapatkan energi baru, apalagi jika ada poin-poin penting yang sangat berhubungan dengan risetku. Trend untuk hitung-hitungan emisi karbon yang dihasilkan industri beton sepertinya sedang naik daun.


Setelah mendapatkan kesempatan presentasi dan dihadiahi berbagai pertanyaan, komentar dan kritikan, aku semakin percaya diri kalau beton geopolimer masih mendapat perhatian besar dari praktisi di lapangan. Semua ini ditandai dengan komentar dan pujian yang masuk mengenai presentasiku, termasuk dorongan untuk tetap menemukan cara untuk memperbaiki sifat-sifat beton tersebut. Beberapa praktisi lapangan yang kukenal memberikan gesture positif mengenai masa depan geopolimer. Dengan sedikit menyesal karena tidak bisa melanjutkan riset beton geopolimer di Australia, aku bertekad akan terus mengembangkan pengetahuanku di bidang potensial ini.


So,

cukuplah laporan pandangan mata dan hati soal konferensi yang membuat diriku tak punya waktu untuk ngeblog dua minggu belakangan ini. Sampai jumpa di tulisan mendatang.


Perth,

Saturday, October 1, 2011

Stop mubazir makanan


“Monggo mbak, dimakan, kalo perlu dihabiskan, ya” ajak temanku itu sambil menunjuk makanan di meja yang telah ditata rapi. Dengan hati berbunga-bunga, aku memandang dua jenis masakan yang sepertinya membuat perutku semakin keroncongan. Maklum, saat itu aku memang belum makan apa-apa. Sebuah kebetulan yang sangat manis, kan? Saat aku berusaha mengisi piringku, tiba-tiba aku nyaris kehilangan selera makan mendengar lanjutan perkataan temanku, “Soalnya mbak, kalo ga dihabiskan, mau dibuang ajah, abis si abang ga suka makanan yang dianget-angetin.”


Begitulah manusia. Saat banyak pilihan, kalau bisa memilih yang lebih enak lagi, tanpa pikir panjang ia akan menyingkirkan yang lama. Sama dalam kasus temanku ini. Begitu dapat kesempatan untuk memasak berbagai makanan enak dari bahan-bahan segar setiap hari, saat makanan bersisa, eh, malah masuk ke keranjang sampah tanpa pikir panjang. Allah sudah pasti marah pada orang yang suka berlebih-lebihan dan mubazir makanan. Pada kasus temanku tadi, aku jengkel mendengar ketidakdewasaan para suami/istri rewel yang ingin makan masakan baru setiap hari padahal makanan sebelumnya masih ada. Lalu hendak dikemanakan makanan lama itu? Disedekahkan pada ulat-ulat dan binatang pengerat di tempat sampah? Tidakkah mereka berpikir kalau Allah mungkin saja menahan rezekinya, karena mereka sering memubazirkan makanan yang ada? Di mana letak barokah dari makanan itu, kalau sebagian dari mereka akan menghuni tempat sampah?


Membuang makanan di bulan suci

Kebiasaan suka membuang makanan seperti ini ternyata lebih sering terjadi di bulan saat kita diperintah menahan lapar dan hawa nafsu. Dengan alasan menghormati orang yang berpuasa, maka beraneka jenis hidangan pembuka hingga penutup disediakan secara berlebihan. Padahal, kita sendiri mengetahui dengan baik kalau seteguk air dan beberapa suap nasi pada saat berbuka sudah cukup menghilangkan rasa lapar tadi. Akhirnya, bahan makanan yang mahal dan makanan yang dimasak dengan susah-payah lebih sering menghuni isi lemari es, lalu pada akhirnya dibuang saja karena takut kadaluarsa. Di negara kaya seperti Dubai UEA, dikabarkan berton-ton makanan dibuang ke tempat sampah setiap malam karena tidak habis dimakan oleh orang-orang yang berbuka puasa. Bukankah lebih baik, jika uang pembeli makanan tadi disumbangkan pada negara-negara Islam yang miskin dan sedang terkena bencana kelaparan. Toh, niat kita mengagungkan orang berpuasa dan berharap mendapat pahala puasa mereka juga akan didapatkan dengan cara demikian.


Sikap mubazir di negara-negara maju

Negara-negara maju juga terkenal sebagai pembuang makanan terbesar di dunia. Setiap hari penduduk diperkirakan membuang bahan makanan segar dan masakan yang masih layak tanpa merasa bersalah. Padahal kegiatan memproduksi makanan seperti pertanian, industri dan retail menggunakan 70% dari total produksi bahan bakar dunia. Jumlah makanan yang dibuang penduduk duniapun mencapai 8.3 juta ton makanan setiap hari. Kebiasaan membeli bahan makanan secara impulsif lalu disimpan di tempat penyimpanan tanpa pernah digunakan paling banyak berkontribusi pada kegiatan mubazir ini. Aturan dari restoran-restoran kelas atas yang tidak membolehkan pegawainya membawa pulang sisa makanan lezat ikut memperburuk keadaan. Dengan menyesal, setiap hari para pegawai dapur harus membuang dan menyaksikan berbagai jenis hidangan dibuang begitu saja ke dalam tempat sampah.


Jika mau melongok tempat sampah di belakang supermarket, setiap hari tumpukan buah-buahan kelewat matang, sayuran tidak segar dan makanan hampir kadaluarsa menghuni tempat itu. Tidak semua orang bisa mengambilnya dengan alasan keamanan. Kontras dengan keadaan tersebut, sering diberitakan bahwa orang-orang tua para pensiunan malah ada yang kelaparan karena tunjangan pemerintah terlalu kecil untuk memenuhi kebutuhan makanan mereka. Beberapa organisasi sosial di Australia pernah diberitakan mencoba mengatasi hal tersebut dengan mengambil dan mendistribusikan bahan makanan layak dimakan. Beberapa orang relawan berkeliling restoran menjemput makanan yang bersisa setiap hari, maupun memilih bahan makanan yang masih bisa diolah di tempat sampah. Kemudian mereka mengantarkan makanan tersebut ke rumah-rumah panti jompo, orang-orang terlantar maupun mengolahnya menjadi kompos dan pupuk organik. Informasi ini dapat dilihat di situs givenow.com.au (give food) or secondbite.org


Mencoba untuk tidak mubazir

Suatu ketika, nenekku melihat ibu tengah mencuci bekas tempat menanak nasi. Dengan telaten, ibu mengumpulkan bekas-bekas nasi yang jumlahnya hanya segumpal kecil di saringan. Gumpalan kecil nasi bersih itu dimasukkan kembali ke dalam beras yang telah dicuci dan siap ditanak. Nenek sampai terharu melihat sikap hemat ibu tersebut. Toh nasi itu tidak terlihat maupun terasa lagi di dalam tumpukan nasi matang. Sikap demikian dipuji nenek sebagai salah satu sebab seorang hamba akan disayang oleh Allah SWT.

Keahlian menyimpan dan mengolah makanan ini dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak meninggalkan jejak dan bekas lalu dibuang sia-sia. Persis prinsip di rumah makan Padang! Hemat seperti itu bukanlah pelit. Itu namanya ‘elegant economy’, yaitu berusaha menghemat melalui modifikasi yang masih punya nilai manfaat. Untuk tips menghemat bahan makanan dapat dilihat di situs-situs seperti lovefoodhatewaste.com.


Jadi, stop mubazir makanan. Mari kita memasak secukupnya atau secara kreatif mengolah makanan tersisa menjadi makanan baru. Jangan sia-siakan makanan yang begitu sulit ditumbuhkan, diperoleh dan dibeli itu, ya.


Pekanbaru,