Tuesday, August 17, 2010

Derita punya baju selemari



"Duh, ga punya baju niy!" aku berdiri di depan lemari pakaian. Beberapa jaket, baju kondangan, syal, baju-baju lain bertumpukan di depan mataku. "Beli baju baru, boleh ga, yang?" tanyaku pada hubby yang keheranan. Apa yang numpuk ga terurus itu bukannya baju?

Wanita banget... punya baju selemari ngakunya ga punya baju. Aku ingat mamaku, sodara perempuanku, teman-temanku yang suka banget ma baju baru. Mau kondangan aja, jauh-jauh hari udah ke mall atau pasar nyari gamis baru. Belum lagi mo acara ultah, liburan, dan paling pasti untuk hari raya, pasti aja kita heboh membeli baju baru. Paling seru ni, temanku harus membeli baju baru kalau hari itu yakin ujiannya ga lulus. Minimal nyenengin diri, pake baju dari butik, walau ntar dapet E, gapapa, kilahnya. Euy...

Kegenitan kita ga berakhir di pakaian aja. Coba bagi yang pake jilbab, ada berapa lusin jilbab beraneka warna, motif, bordir, model yang menghiasi lemari pakaian kita. Tiap lihat jilbab sutra, aku pasti beli atu, buat ntar kalo conference atau seminar. Kan gaya, jilbabnya terlihat klasik dan anggun, pikirku sok tau. Begitu conference tiba, pasti juga balik ke jilbab lama yang udah nyaman dipake dan bikin diriku tambah pede. So, numpuk lagi jilbab sutra di lemari. Belum lagi trend khusus yang menandai launching jilbab tertentu. "Kalo pake bergo model ikat itu dah kuno, mbok pake jilbab ala Ayat-ayat Cinta-lah, Ketika Cinta Bertasbih-lah", kata mbak penjual jilbab di pasar. Aku cuma melongo mendengar istilah jilbab itu. Bukannya ini cuman jilbab sarung biasa, yang terus dimodifikasi dengan bahan kaos. Duh, memang kita ini dimanjakan sekali sama booming jilbab ya! Mau sepenuh apa lemari kita kalau jilbab tiap warna dan model harus kita miliki.

Tiap lihat sale pakaian, asik, mari embat aja! Kalo lagi beruntung, atasan cantik-cantik dan ga ada duanya bisa didapatkan di keranjang sale. Ni, si abang SPG pinter lagi, mau bantuin nyari-nyari di keranjang baju dengan label SALE. Mulai dari nyariin ukuran dan warna yang cocok, sampai ngasi pendapat soal bahan dan model yang pantes buat kita sendiri. Pinter bener SPG jaman sekarang membujuk untuk menambah terus tumpukan baju-baju di tangan dengan harapan lebih banyak diskon dan poin di kartu loyalitas. Sip, sip, terus jalan, yuk, cari-cari bawahan sekarang.

Saat baju dah menumpuk, kalo diperatiin baik-baik, kok yang muncul di foto-foto, kondangan, hari raya, bisa-bisanya baju itu-itu lagi. Yang menumpuk tadi pada kemana? Setelah dilihat, ternyata banyak baju yang terbeli bukan karena masalah teknis aja ga kepake. Seperti warna yang terlalu ngejreng, jahitan ketiaknya ga nyaman, ukuran pinggangnya kok makin sempit, sama luntur pula padahal baru sekali dicuci. Tetapi kadang karena waktu SALE, asik banget rebutan ma ibu-ibu lain, udah sampe tarik-tarikan baju, eh kok ga dibeli pula. Liat orang beli banyak, kitapun ikutan keburu nafsu membeli baju-baju itu, biar dikira banyak uang bisa beli setumpuk baju diskon. Padahal orang yang tarik-tarikan ma kita tadi, kenal aja tidak, gimana mo kagum!

Aku merasa bersalah banget, karena selalu menumpuk sesuatu yang tidak terlalu kuperlukan. Malah semua ini jadi seperti beban karena harus dipakai, karena sayang dah dibeli atau cocok pada musim tertentu yang ga cocok di musim panas Indo! Ahem! Mungkin sudah saatnya mulai melakukan 'clothing detox' atau 'wardrobe detox', pikirku musim gugur lalu. Intinya, aku mau mensortir pakaian yang (a) tidak bisa dipakai lagi, (b) yang mau disumbangkan ke orang, (c) yang mau kusimpan.

Sebelumnya aku pastiin hari itu tidak perlu ngampus, belanja, cuma di rumah aja sefokus mungkin memilah pakaian. Aku memasang musik atau film yang kusukai supaya tidak bosan mengerjakan sortiran ini. OK.

Untuk pakaian (a), baju-baju terkena epoxy/noda karat/oli, sudah robek atau kelewat pudar yang sudah pasti tidak bisa dipakai kalau tidak di lab. Tumpukan (b) berisi baju-baju yang kusuka tapi jarang kupakai karena memiliki masalah teknis seperti kependekan, ketat, bahannya mengerut, warnanya kelewat ngejreng, yang lucunya selalu hadir di lemari pakaian tetapi aku tidak kunjung memakainya. Sedang tumpukan (c) berisi baju yang nyaman dipakai, warnanya kusuka serta jadi andalan dalam berbagai kesempatan.

Walaupun dalam prosesnya selalu saja aku keberatan untuk menaruh suatu baju atau jilbab di (a) atau (b), tapi tiap ikatan emosional dengan si baju harus kuputuskan. Harus tega! Karena toh suatu hari nanti mereka pasti akan digantikan baju-baju baru lainnya dan mereka tetap tidak terpakai.

Setelah memasukkan baju-baju (a) dalam kantong sampah, karena mau dibuang atau digunting jadi lap di lab, aku menyimpan baju-baju (b) untuk didonasikan, serta menyimpan kembali pakaian dari tumpukan (c) di lemari.

Huahhh... aku bernafas sangat lega, karena lemariku lebih rapi, tumpukan baju yang mau dipakai lebih sedikit pilihannya. Pikiranku jadi lebih tenang karena bebanku berkurang, dan... so pasti, akupun bertekad untuk pikir-pikir ribuan kali kalau mau membeli baju-baju, terutama dari keranjang SALE! Tak apalah dikira tak ikutan mode, yang penting tidak boros, merasa bersalah dan derita 'baju selemari' menjauhiku, hiks!

Perth,
sesekali detox tak bikin kurus wardrobe kok:)

Alhamdulillah, terima kasih ya Allah, yang telah menjauhkanku dari perilaku boros dan membimbingku menata diriku secara bertahap. Masya Allah, La hawla wala quwwata illa billah.