Thursday, August 5, 2010

Sebuah zona renungan baru: "Ketika aku..."


Sebenarnya aku udah kemas-kemas mau cabut dari blog. Tapi, kok ya, jadi berat... soalnya blog satu-satunya hiburanku saat ini. Macet dikit nulis, tinggal cuap-cuap di blog.

Anyway, baru-baru ini aku dapat inspirasi membuat zona renungan dan muhasabah. Label ‘ketika aku...’ ini terilhami oleh sebuah blog yang menggunakan frase tertentu, seperti ‘gitu loh...’ etc, yang aku tidak ingat lagi. Kupikir frase ini membantuku untuk mengingat, muhasabah dan bersyukur dimulai dengan ‘ketika aku..’ Mari kita ambil manfaat dari curhatan diriku di label ini:D


-------------------------------------------------------------------------------------
Ketika aku... merasa bahwa pasrah itu mendekatkan kita pada rahmat Allah

Pernah tidak merasa sangaaaaaat tertekan, down, tak tau harus bagaimana, berbuat apa, bergantung pada sesiapa. Pendeknya, sangat buntu atau stuck. Seingatku, jika aku sudah mulai ketar-ketir merasa sudah tak berdaya lagi, kuambil bantal untuk menutupi wajahku, dan mulailah aku...

menangis tersedu-sedu,

(saat masih single, menangis di mana saja beres. Mo mewek di tempat tidur, kamar mandi, meja belajar, sambil nyetir, hayoh aja. Sekarang, sudah ada yang disamping dan aku sudah jadi pendamping, acara menangis sembarangan itu bisa menimbulkan tanda tanya, rasa bersalah sampai rasa tak ingin disalahkan pada pasangan. Jadi, aku harus pinter-pinter, kalo mo nangis mesti ke dalam kamar mandi atau di balik selimut biar ga malu-maluin. Hiks!)

Kembali ke ritual menangis tersedu-sedu sambil bertanya pada Allah, ‘mengapa’, ‘bagaimana’, ‘apa sebabnya’, etc, berulang-ulang menumpahkan segala macam emosi yang memenuhi rongga dadaku. Setelah fase tersedu-sedu menjadi terisak-isak, barulah diriku merasa lebih tenang dan mau mencuci muka menghilangkan air mata asin plus ingus yang menempel di tangan, mata dan pipi.

Rasanya begitu lega telah menyerahkan semua pada Allah lewat tangisan heboh tadi. Aku memang sudah tak berdaya lagi menyelesaikan semua, jadi bantuan Allah-lah yang sangat aku harapkan. "Laa haula walaa quwwata illaa billaahil'aliyyil'adzhim", Tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung.

Jika kuingat-ingat seorang muslim yang baik itu ‘bersyukur saat diberi rahmat, bersabar saat diberi musibah’, maka apapun yang diberikan Allah pasti baik untuk kita.

Aku camkan juga dalam hati, jika ‘apapun keputusan Allah itu selalu baik untuk hambaNya’, karena ‘kita tak pernah tau bahwa hal yang kita sangka buruk, ternyata baik untuk kita, sedang hal yang kita sangka baik, malah berbahaya bagi diri kita’.

Disamping itu, Allah selalu mengikuti ‘prasangka hambaNya’, oleh karena itu, keputusan untuk pasrah, berserah kepada Allah, lalu tetap berusaha seperti biasa, mungkin adalah cara terbaik untuk lepas dari kebuntuan ini.

Beberapa waktu kemudian (dalam hitungan hari, minggu, bulan), tak disangka... insya Allah, ada rahmat Allah mendekati diriku. Biasanya dalam bentuk penyelesaian soal-soal pelik yang sempat kuhebohkan itu. Kadang-kadang berupa ‘kata-kata mutiara’, ‘ralat’, ‘jalan keluar’, bahkan ‘uang saku’, pernah juga ‘calon suami’, wahh... atau ‘surprise tertentu’ yang pokoknya tidak disangka-sangka asal, bentuk dan rupanya, tetapi merupakan jalan keluar kesulitanku saat itu.

Maka, benarlah, Insya Allah, jika sudah sangat ‘stuck’, mari kita pasrahkan semuanya pada Allah, mengakui kebesaranNya, mengakui ketidakberdayaan kita. Lalu biarkanlah Allah menurunkan rahmatNya dalam bentuk apa saja yang kita butuhkan...

Betulkan, pasrah ternyata mendekatkan kita pada rahmat Allah?
biblio: http://www.eramuslim.com/suara-langit/ringan-berbobot/tiga-ucapan-untuk-tiga-kondisi.htm