Saturday, August 21, 2010

Kecewa pun ada batasnya


Aku pernah mendengar kisah seorang teman yang sangat kecewa diperlakukan tidak adil oleh pembimbingnya. Teringat olehnya, si pembimbing punya anak-anak juga, sehingga ia menyumpahi agar anak-anak pembimbingnya akan merasakan derita yang sama suatu hari. Astaghfirullah... kenapa jadi 'main hakim sendiri'?

Pernah kan, dikecewakan oleh seseorang dalam hidup ini, kemudian kita mengambil aksi seperti menyumpahinya dalam hati? Apakah kita merasa dengan demikian kekecewaan kita harus juga dirasakan oleh orang yang mengecewakan kita? Kenapa jadi muncul kata-kata sebagai berikut:
”Awas ya, kudoakan supaya nanti kamu juga seperti ini”
“Coba kalau kamu punya anak/suami/cucu nanti, pasti kamu akan merasakannya!”
“Mudah-mudahan suatu hari nanti kamu kena batunya”
"Rasakan pembalasan dendamku sampe tujuh turunan" halah ini, sinetron jadul banget!
Sudah, sudah cukup lah contohnya. Kok jadi nyumpah-nyumpah sendiri, nih? Hiks!

Memberi maaf pada orang yang telah menzalimi kita tanpa ikut campur menghukumnya sendiri bisa jadi lebih baik bagi kita di kemudian hari. Hal ini terjadi pada kenalanku, mbak R. Beliau pernah kehilangan sepeda motornya yang diparkir di depan kantornya. Suatu hari teman yang membantu mencari menggunakan ‘indera penglihatan kasat matanya’ mengatakan kalau sepeda motor itu diambil mas X, seorang tukang ojek yang sering mangkal di dekat kantor mereka. Temannya itu tidak mau menyebutkan identitas si pencuri, tetapi ia ingin membantu temanku untuk membuat tukang ojek yang berperan ganda mencuri sepeda motor karyawan di sana kapok, misalnya dengan... (terlalu ekstrim kalau ditulis di sini, tapi ga sadis kok). Temannya itu memiliki keahlian tertentu yang bisa dikendalikan ‘dari jarak jauh’. Mbak R diberi waktu untuk berpikir. Setelah ditanya kembali, dia bilang kalau dia tidak mau membalas orang tersebut dengan cara demikian. Ia mau pasrah dan menyerahkan saja semuanya kepada Allah. Mbak R merasa jika kehilangan tersebut adalah teguran dari Allah kesalahan-kesalahannya sebelum itu. Biarpun bayarannya musibah itu sebuah motor, ia berterima kasih kepada Allah karena telah ditunjukkan jalan yang benar. Ia tidak ingin membalas sendiri dengan kata-kata atau perbuatan, karena orang yang bersangkutan jika terus melakukan kezaliman akan mengundang balasan buruk dan ketidak beruntungan untuk dirinya sendiri.

Jadi, jika memang hati kita sakit sekali atau kecewa terhadap sesuatu, bukan sebuah perbuatan baik jika malah menyumpah atau mendoakan agar orang yang menzalimi turut merasakan penderitaan kita juga. Lebih baik kita serahkan saja kepada Allah semuanya, karena Allah mendatangkan hal ini untuk kita bukan tanpa maksud.

Bisa jadi hal itu mengingatkan kita bahwa kita harus memperbaiki sikap kita, atau bermaksud melatih kita supaya bertindak lebih baik, mungkin juga meningkatkan derajat kita. Bahkan kalau ditinggal kekasih, misalnya bisa berarti ia bukan orang yang tepat bagi kita karena Allah telah menyediakan jodoh terbaik untuk kita. Pokoknya, jangan terlalu kecewa sampai berusaha menyabotase kemungkinan kita mendapatkan sebuah pahala atau kebaikan atau kemuliaan saat dikecewakan orang lain.

Perth,
Sebuah renungan untuk saudara tercintaku.