Friday, August 21, 2009

Di tangan Allah



Aku meringis saat mendengar bibiku berkata, ”Alhamdulillah... dapat rezeki...” jika beliau sedang mendapat uang banyak atau bonus.

Kalau beliau sedang dalam kesulitan, beliau akan berkata, ”wah, rezeki kita lagi seret, ni...”

Aku kembali meringis mendengar keluhan itu, karena aku merasa seolah-olah rezeki itu hanyalah harta, uang, dan makanan berlimpah di kulkas. Itu membuatku merasa kecut, karena rezeki itu hanya diartikan sebagai harta benda, padahal ia juga akan turun dalam berbagai bentuk seperti kesehatan, rahmat, kebahagiaan, kesyukuran hati.

Kita sering merasa khawatir kekurangan uang, makanan, perhiasan dan kemewahan dalam hidup ini. Aku pernah mengamati seorang rekan kerjaku yang sepertinya punya kehidupan yang sulit sekali. Apapun yang terjadi, asap dapur harus ngebul, sehingga tanggung jawab utama dalam pekerjaan bisa beliau tinggalkan demi berperiuk-periuk nasi tadi.

Uang, uang, uang, di manakah engkau berada? Begitu nyanyian hati temanku, jika diminta bantuan mengerjakan proyek ’thank you’ dari kantor yang minim uangnya. Semua berebut, berlomba mencari uang dengan kendaraan jabatan, semua kualifikasi ijazah, menggunakan identitas orang, SK, piagam seminar dan bahkan tak segan mengkopi ide orang demi mendapatkan sebuah proyek. Astaghfirullah...

Saat aku ingin mengabdi kembali ke institusi asalku, Sekretaris Jurusan universitas swasta tempatku bekerja berkata, ”Kalau sudah keluar nanti, sulit lho, mau kembali ke sini.”

Maksudnya?

Aku langsung beristighfar. Rezeki itu di tangan Allah, bu, bukan ibu Sekretaris Jurusan, gumamku dalam hati.

Saat aku mengundurkan diri dari unit kerja lamaku, pak boss berkata, ”Kalau berhenti nanti, kamu tidak boleh kembali lagi ke sini ya. Terus, darimana kamu bisa dapat uang sampingan sebanyak ini? Lumayan kan, kerja di sini?”

Aku istighfar lagi.

Ya Allah, bukankah rezeki itu di tangan Allah, bukan pak boss?

Apalagi yang aku lakukan, saudara-saudara? Istighfar, minta ampun Allah.

Ya Allah, aku percaya Allah yang punya rezeki, bukan ibu Sekretaris Jurusan atau pak boss.

Itu yang sering membuat kita lupa bahwa rezeki di tangan Allah, sehingga kita suka kuatir jika tidak menuruti nafsu atau orang lain, kita tidak dapat apa-apa. Padahal, jika itu memang milik kita, maka ia tidak akan ke mana. Tetapi jika ia bukan milik kita, sampai kehabisan nafaspun bekerja, hal yang satu itupun tidak akan pernah kita miliki.

Seperti yang telah kita ketahui dari Al Quran, rezeki tiap orang telah dijamin Allah sejak ia berada dalam kandungan. Jadi, apakah lagi yang kita ragukan? Pasti ada bagiannya untuk kita, seadil-adilnya dari Allah. Maka, kita tidak perlu berebut dan merebut punya orang lain, serta tidak perlu marah jika milik kita (sempat) direbut orang. Cepat atau lambat, kita hanya memiliki apa yang benar-benar menjadi hak kita.

Alhamdulillah, Allah, sejak tidak di Jurusan itu, aku mendapat kesempatan lebih banyak membimbing mahasiswa sehingga aku bisa lebih banyak belajar.

Juga, Alhamdulillah, karena sejak berhenti dari unit pak boss, aku dapat berkiprah juga di bidang yang sama milik Fakultasku dan bisa mengabdi untuk unit itu, tanpa minta imbalan apapun, yang penting bisa membantu semuanya.

Finally,
Aku tidak takut, Allah... karena rezeki di tangan Allah.

Aku tidak mau berdesak-desakan di sana, kasak-kusuk, manipulasi, demi segenggam uang yang kukira rezeki itu... Lindungilah aku ya Allah...

Perth,
no comment:) lihat postingan sebelumnya "Menggapai Rezeki Allah"