Saturday, May 28, 2022

Hobi Mendaftar

Sering mengamati kan, dalam sebuah kegiatan akademik kadang-kadang yang mendaftar biasanya banyak sekali. Akan tetapi pada saat acara biasanya sekitar hanya 50-70% saja pada hari-H. Hal itu yang disebut hobi mendaftar dan banyak dilakukan orang-orang di sekitar kita. 

Atasan saya yang dulu sering mengeluh mengenai perilaku demikian karena kerap merugikan penyelenggara dalam hal konsumsi. Pendaftar kegiatan pembukaan English Club mencapai 66 orang pada saat itu. Pelaksana sudah bersuka-ria menyusun kursi dan memesan snack sebanyak pendaftar. Akan tetapi, peserta yang hadir tidak lebih dari 10 orang! Luar biasa penurunannya. Sejak saat itu kami mulai melakukan perhitungan saat membuat sebuah kegiatan baik offline maupun online. 

Pada saat membuat sebuah kegiatan saya biasanya memiliki perhitungan khusus. Apalagi di masa-masa webinar seperti sekarang. Apabila disampaikan bahwa pendaftar kegiatan webinar sudah mencapai 100 orang, maka saya selalu minta dipush sampai 150 orang. Artinya panitia harus sangat aktif mengumpulkan lebih banyak pendaftar dengan berbagai cara. Menurut pengalaman saya, biasanya sekitar 30-50% dari jumlah tersebut pasti tidak hadir pada saat kegiatan. Sehingga dengan menambah jumlah pendaftar lagi, kita mendapatkan jumlah peserta yang hadir lebih tinggi dari sebelumnya. 

Bagaimana cara menambah pendaftar? Saya sering memanfaatkan jejaring untuk minta bantuan sharing informasi. Selain itu saya jemput bola, mengundang teman-teman yang mungkin membutuhkan acara tersebut. Kadang-kadang broadcast di status wa atau ig. Sepertinya tergantung topik juga, apabila sangat umum dan diperlukan, biasanya orang-orang banyak yang ingin mengikuti. 

Kebiasaan suka mendaftar ini juga terjadi pada berbagai grup umur dan latar belakang. Beberapa waktu lalu saya dan teman-teman dalam suatu organisasi mendapat kesempatan untuk menulis buku autobiografi bersama-sama. Pada awalnya peserta yang ingin ikut sangat banyak, sehingga  direncanakan akan dibuat 5 buku. Apabila satu buku terdiri dari 11 orang penulis, maka terdapat 55 orang terlibat dalam penulisan kelima buah buku. Akan tetapi mentor kami sudah berpengalaman dengan tipikal semangat sesaat ini. Beliau  tetap apresiasi keinginan kami, tetapi ia menyampaikan hal yang realistis juga mengenai kemungkinan besar hanya satu buku saja yang terbit. Bukannya pesimis, beberapa orang dari kami semakin merasa dikompori untuk mengikuti kegiatan itu! Benar saja yang disebutkan oleh mentor kami, karena sekitar 6 bulan kemudian hanya 15 orang dari 55 orang pendaftar berhasil menyelesaikan tulisannya. Sisanya sudah menyerah pada tahap awal dan tidak pernah merespon kembali pesan-pesan untuk meneruskan. 

Tetapi setelah diingat-ingat, rupanya saya juga sering begitu. Kadang muncul tawaran kegiatan A yang menarik minat saya, tanpa pikir panjang saya langsung mendaftar. Kemudian ada kegiatan B yang menurut saya relevan dengan pekerjaan, saya pasti lekas mengisi form pendaftaran. Setelah itu saya tidak ingat lagi tanggal-tanggal kegiatan tersebut. Kadang kegiatannya sudah selesai, baru saya ingat bahwa sudah mendaftar. Nah, perilaku seperti ini awalnya karena FOMO = Fear Of Missing Out, atau suka takut ketinggalan kejadian atau event. Bisa jadi juga terjadi karena punya semangat tinggi tapi tidak dibarengi dengan waktu dan kapasitas diri atau masalah komitmen. Problem lain adalah karena tidak fokus dan kurang prioritas dalam bekerja, sehingga semua distraksi dan disrupsi terasa penting. 

Barangkali cara tepat untuk menghilangkan kebiasaan hobi mendaftar bisa dengan memilih topik-topik yang sesuai dengan prioritas kerja saat itu. Kemudian sebelum mendaftar dicek dulu apakah waktu kegiatan bertepatan dengan pekerjaan lain atau kegiatan lain. Selanjutnya saat sudah mendaftar dan ada waktu luang, sebaiknya mengusahakan tetap ikut karena penyelenggara pasti sudah berharap. Barangkali ada topik baru, jejaring baru atau inspirasi baru yang bisa didapatkan dari kegiatan tersebut. Selain itu kita belajar untuk tidak php penyelenggara dengan hobi mendaftar yang kita lakukan. 

Pekanbaru,

Thursday, October 14, 2021

Mengalami Fatigue atau Burn Out

Setelah 'marathon' mengerjakan sebuah project penting selama berminggu-minggu atau berhadapan dengan 'tsunami' gelombang besar dalam pekerjaan, tak heran kita bisa mengalami fatigue atau burn out. Tanda-tandanya adalah kelelahan, stamina menurun, sulit berpikir dan berkonsentrasi, serta tidak berminat menyelesaikan pekerjaan seperti biasanya. 

Untuk menghindari fatigue terkadang sulit juga karena beban kerja bertumpuk pada waktu tertentu tidak bisa dihindari. Apakah fatigue bisa diatur supaya tidak terjadi atau diminimalisir dampaknya sehingga tidak perlu istirahat sementara dari pekerjaan. Tentu hal seperti ini bisa dihindari selama kita melakukan beberapa hal berikut. 

1) Buat perencanaan waktu dalam bekerja dan perhatikan tenggat waktunya. Misalnya menulis memerlukan waktu 3 minggu dari mengolah data sampai mengumpulkan artikel. Maka kita harus membagi-bagi waktu supaya bisa fokus dalam tiga minggu menyelesaikan target. Jika tulisan dikerjakan maksimum 3 jam sehari, maka dalam 3 minggu x 5 hari kerja x 3 jam = 45 jam, maka kita punya 45 jam mengerjakan satu tulisan sampai terkumpul ke sistem jurnal online. 

2) Bekerja dalam chunck atau waktu-waktu kecil. Gunakan teknik Podomoro atau teknik apa saja, yang penting dalam 25-30 menit yang kita set menggunakan timer/stopwatch tersebut, kita tidak bisa multitasking. Misalnya waktu menulis 3 jam sehari, dibagi menjadi 6 sesi 30 menit, yang bisa dikerjakan tidak berturutan. Pada saat bekerja dan timer berjalan, kita tidak diizinkan lihat media sosial, atau bolak-balik mencari lagu yang pas di youtube untuk mengiringi pekerjaan, atau merespon email, dan hal-hal lain yang mengganggu flow pekerjaan. 

3) Buat persiapan lebih awal. Terkadang bekerja di pelayanan masyarakat dengan sistem online, kita bisa mempersiapkan materi lebih awal, mempersiapkan email lebih awal, menyusun file di awal waktu, dan berbagai hal lain yang tidak perlu dikerjakan multitasking. Masukkan kuota Podomoro tadi ke pekerjaan kita dan siapkan di waktu lain kemudian kirim email atau file menggunakan teknik schedule send. Dengan hal ini, jika kita mendapat respon, kita tidak perlu repot-repot merespon sambil menulis pesan lain karena melakukan hal tersebut bisa melelahkan batin. Pre-schedule semua email dan kegiatan, akan membantu kita mengurangi fatigue. 

4) Ambil break secara berkala. Setelah membagi-bagi waktu menjadi chunks kecil, kita bisa mengambil break selama 10-15 menit untuk menyegarkan pikiran. Highly intensed work jika tidak dibarengi relaksasi akan menyulitkan kita kembali relax pada saat diperlukan. Cari kegiatan yang tidak berhubungan dengan pekerjaan, seperti berjalan di luar rumah, menyusun buku, membuat kopi maupun mengurus tanaman meski hanya beberapa menit. Hal ini dapat menghindari mental breakdown karena terlalu fokus dan menyegarkan fisik setelah duduk beberapa lama menyelesaikan chuncks secara marathon. 

5) Istirahat beberapa hari jika kondisi lelah mulai terasa. Biasanya kepala pusing, sulit tidur, badan pegal, mulai flu ringan atau batuk. Kelelahan demikian memang tidak membawa kita maju dalam penyelesaian pekerjaan, tetapi karena badan dan pikiran sudah tidak sinkron lagi maka kita akan sulit mempertahankan semangat kerja serta menghasilkan pekerjaan berkualitas. Tidak mengapa break 1-2 hari khusus tidur, makan makanan sehat, minum air dan mengalihkan pikiran ke hal-hal yang lebih relax. Fatigue akan lebih mudah dihindari karena kelelahan fisik dan batin dalam jangka panjang berpotensi telah diatasi dengan istirahat secara total dari hal-hal berat terkait pekerjaan. 

Strategi menghindari fatigue sangat bermanfaat di masa working from home seperti ini karena pekerjaan seperti tak berbatas ruang dan waktu, terus berdatangan dan mengalir dengan semua tenggat pendek. Selama ada kemajuan pekerjaan, maka hal tersebut cukup membantu kita untuk terus bergerak menyelesaikan. Akan tetapi jika kemajuan dilakukan di akhir tenggat, maka potensi fatigue akan terjadi dan kelelahan menyebabkan kita tidak menghasilkan pekerjaan berkualitas sesuai tenggat waktu. 

Pekanbaru,

Thursday, October 7, 2021

Kualitas atau Kuantitas


Paradoks apakah kualitas atau kuantitas yang lebih penting sudah lama menjadi isu dalam bekerja.

Ada beberapa poin untuk menilai apakah melakukan pekerjaan kualitas dahulu atau kuantitas yang paling signifikan dalam menghasilkan pekerjaan.

Pertama, pekerjaan berkualitas membutuhkan rencana, strategi, kecermatan, disiplin, manajemen resiko dan fokus penuh dalam penyelesaiannya. Persiapan menentukan hasil, sehingga pekerjaan berkualitas memerlukan waktu lebih lama dalam tahap persiapan, pelaksanaan dan evaluasi akhir. 

Kedua, pekerjaan berkualitas memberikan hasil lebih baik dengan dampak besar dalam jangka panjang. Biasanya setelah beberapa lama, pekerjaan tersebut masih terus menjadi acuan/pedoman bagi pekerjaan-pekerjaan lain terkait. Long lasting impact. 

Ketiga, pekerjaan berkualitas harus dilakukan untuk proyek yang terkait dengan banyak stakeholder atau pengguna agar semua pihak dapat merasakan manfaatnya dalam jangka panjang. Pekerjaan seperti ini akan meningkatkan efektivitas dan efisiensi semua pengguna dan jejaring mereka sehingga dapat menghemat waktu dan biaya. 


Sedangkan pekerjaan dengan kuantitas tinggi juga perlu dilakukan dengan beberapa pertimbangan.

Pertama, pekerjaan tersebut dapat meningkatkan kinerja dalam jangka pendek dan tidak terlalu banyak pengguna terlibat di dalamnya.

Kedua, pekerjaan tersebut memberikan dampak yang dapat dirasakan langsung dan tidak mencari efek jangka panjang.

Ketiga, pekerjaan tersebut dapat dilakukan dengan memaksimalkan 50-60% sumber daya sehingga jumlah pekerjaan dapat ditingkatkan. 


Barangkali berdasarkan pertimbangan di atas, sekarang kita bisa memikirkan apakah kita akan mengejar kualitas atau kuantitas. 


Akan tetapi, dalam surat Al-Insyirah ayat 7 dinyatakan:

فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ

Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.

Mudah-mudahan sekarang semua sudah jelas ya.




Saturday, September 18, 2021

Buat Batasan (Boundary) dalam Bekerja

Efektivitas dan efisiensi dalam bekerja tergantung dalam pengelolaan waktu, pikiran dan emosi. Terkadang kita tidak bisa hanya bisa menyelesaikan pekerjaan dengan pikiran saja, karena kalau hati sedang galau pasti hasil kerja kurang bagus. Sedangkan saat ingin efisien dalam pekerjaan tapi tidak bisa mengatur emosi, maka akan berpengaruh pada hasil yang ingin dicapai. Oleh karena itu kita perlu belajar untuk mengatur boundary (batasan) dalam bekerja agar hasilnya maksimal dan kita tetap bahagia. 


Sedang enak-enak mengatur jadwal mingguan pekerjaan, tiba-tiba ada pesan masuk di wa menanyakan kepastian sebuah kegiatan yang akan dikelola bulan ini. Rasanya masih weekend, dan tidak ada urgensinya bertanya pekerjaan dengan gaya sangat demanding. Meski dari atasan sekalipun, biasanya aku tidak mau merespon langsung kecuali hal-hal yang benar-benar urgent/serius. Tapi aku jadi kesal juga karena satu message demanding yang terbaca, berarti mengganggu pikiran. Mau merespon, takut berlarut-larut, tapi tidak direspon kepikiran dan bisa jadi macam-macam luapan emosinya. 

Aku ingat, dalam bekerja kita juga bisa mengelola emosi dengan menetapkan boundary. Misalnya hal-hal seperti ini:

1) Tidak membalas message terkait pekerjaan di luar jam kerja dan hari kerja. Misalnya jam 18 ke atas dan hari Minggu. 

2) Melakukan pekerjaan yang diberikan surat atau email disposisi/surat penugasan resmi/SK dari atasan/pejabat terkait. 

3) Tidak memasukkan jadwal baru apabila pekerjaan sebelumnya belum selesai. 

4) Berani berkata tidak bisa apabila memang tidak dapat mengalokasikan waktu sesuai dengan keinginan orang lain baik atasan maupun orang berpengaruh. 

5) Tidak perlu merespon berbagai pertanyaan yang sudah jelas jawabannya. 

6) Tidak perlu merespon kemarahan orang yang salah alamat dan tidak pengertian.

7) Tidak perlu merespon office politics, bullying, fitnah, ketidakadilan dan body-shaming. 

8) Boleh hanya memberikan tanggapan apabila dipersilakan. 

9) Boleh menolak menjadi anggota tim kegiatan yang tidak menjadi prioritas pekerjaan saat ini.

10) Tidak perlu khawatir memberikan masukan apabila ada yang membuat kesalahan/tidak valid dalam bekerja. 

dan sebagainya. 

Hal yang terpenting, kita harus bisa mengelola emosi dan memastikan pekerjaan kita baik hasilnya. Memastikan bahwa boundary dapat ditaati dalam pekerjaan, akan membantu sekali untuk kelangsungan pekerjaan dan ketenangan jiwa dalam mengerjakannya. 

Pekanbaru,




Saturday, September 4, 2021

Menghadapi Kolega yang tidak Percaya

Kadang-kadang dalam melakukan suatu pekerjaan sering terjadi ketidakpercayaan kepada kolega lain. Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut. Faktor terbesar biasanya merasa diri lebih baik dari orang lain. Akan tetapi beberapa faktor lain juga mempengaruhi sikap demikian seperti pernah mengalami kekecewaan, tidak memiliki kemampuan teknis, kurang berempati, kurang manajemen waktu, dan kurang memikirkan konsekwensi moral dengan perlakuan tersebut.

Bagi kita yang sering mendapatkan perlakuan dan pandangan tersebut oleh kolega kita, maka kita sedikit shock. Pada akhirnya karena merasa tidak dipercaya meski telah berusaha memberikan argumen yang didukung oleh data valid serta aturan jelas, maka kebanyakan orang memilih untuk berhenti meyakinkan kolega tadi secara verbal. Banyak orang jadi mengalihkan perhatian dengan tetap menyelesaikan pekerjaan secara serampangan. Ada juga yang memilih keluar dari situasi tersebut dan memperbaiki kompetensi mereka dibandingkan menghabiskan waktu debat hanya untuk membuktikan kita yang salah. Sering aku perhatikan, ego akan membawa kerugian besar karena pada suatu waktu kali kolega  membutuhkan bantuan kita, maka kita akan bersikap biasa dan kurang dedikasi. 

Sebenarnya dalam melakukan hal teknis, agar dipercayai kita bisa menggunakan dua cara. Kita mengetahui dahulu aturan dan persyaratan dengan lengkap. Kedua baru kita melakukan pendekatan dengan diskusi dan berpikiran terbuka agar mendapatkan pencerahan. Daripada langsung mendebat dan mengasumsikan orang tidak bisa melakukan pekerjaannya, maka kita introspeksi dulu apakah kita sebenarnya lebih baik di bidang tersebut atau tidak. Kita dengarkan dahulu masukan-masukan dari kolega. Apabila kita langsung bersikap tidak mau menerima, maka kita sendiri yang rugi karena telah dikalahkan oleh waktu akibat tidak mau  menerima kebenaran. Pekerjaan yang seharusnya selesai dalam waktu singkat, tetapi malah tak berhasil karena ego kita sendiri dengan sikap tak percaya tadi. Selain itu banyak orang juga menginterpretasikan sikap tidak percaya kolega tadi sebagai penerimaan konsekwensi seperti kehilangan waktu dan energi berkat ketidakpercayaan mereka tadi.

Poinnya, jika memang tidak percaya pada seseorang, berusaha berpikiran terbuka dan tidak tergesa-gesa mengambil kesimpulan semua orang tidak sehebat dan semampu kita. 

Pekanbaru,