Sudah beberapa bulan ini aku dan hubby pulang sangat telat dari kampus. Sok lembur, kataku. Sebenarnya iya, memang lembur ngerjain tesis, tapi juga diselingi baca-baca yang lain, nulis blog, jengkel ma tetangga yang suka telpon dalam bahasa Chinese dua-tiga jam, atau sekedar menyusun-nyusun paper yang mau direview. Pendeknya, sikap 'sok lembur' ini perlu dipertahankan hingga tesis selesai!
Awalnya kupikir sebenarnya kalau pintar membagi waktu, kita tak perlu lembur sampai malam. Tapi setelah obrol sana-sini dengan yang betul-betul tinggi dedikasinya pada riset, ternyata mereka lebih banyak menghabiskan waktu di kantor. Menurut seorang temanku, kantor postgradnya selain buka 24 jam, lebih meriah setelah tengah malam. Memang di sini, mau datang jam 12 malam, atau pulang jam 5 pagi, hayo aja, tidak ada yang larang. Akhirnya temanku malah jadi ikut-ikutan suka ngetem di kantornya sampai subuh. Nggak enak hati kalau nggak ikut lembur, katanya ngikik.
Menurut salah seorang professor, mantan dosenku dulu, riset itu harus dipikirkan 24 jam. Kalau bisa bernafas, makan, minum tetap memikirkan riset. Aku kuatir kalau jadi gila karena memikirkan beton-ku itu tiap saat. So aku keep it into minimum, misalnya kalau sedang makan-minum, beribadah dan sedang masak, aku tidak mau memikirkan riset. Walaupun sebenarnya dengan terus memikirkan riset, pikiran kita akan selalu terhubung dengan riset, sehingga otak akan terus-menerus memikirkan rencana, memecahkan masalah atau mengeluarkan ide jitu.
Sayangnya, kalau overdoing, otak itu sulit pula dihentikan proses bekerjanya. Kadang-kadang aku dan temanku suka share kalau kita jadi sulit tidur jika sedang ada kerjaan yang belum beres berbulan-bulan. Terutama hal yang tidak kita ketahui duduk pangkalnya tapi harus diselesaikan. Kadang otak berproses, tapi tubuh minta istirahat. Alhasil, tiap dua jam pasti terbangun sulit tidur. Obatnya cuman satu, back to work, kerjakan persoalan itu, baca paper atau tanya supervisor jika masih bingung, sampai ketemu ujungnya, barulah otak yang tadi sibuk running bisa ditenangkan.
Ada juga postgrad yang menertawakan pengalamanku tadi. Katanya, bagi dia Phd study itu nyantai kok, ga usah dipikirin sampe segitunya, rileks aja, baca-baca buku, sosialisasi, barbeque di tepi sungai, berbisnis, silaturrahmi, kerja part-time atau ngasi penataran.
Hah? Santai amat?
Usut punya usut, semua itu tergantung nature of research-nya dong. Masa riset pake eksperimen bisa dipikirin sambil barbie? Yang jelas, kerjaan eksperimen itu banyak amat bits and piecesnya, nitty-grittynya, jadi apa yang beliau sampaikan untuk rileks, mungkin bukan nature of research kami. Coba tanya, berapa banyak orang yang risetnya di lab, sering memohon kerja after hours di lab, mengorbankan weekend demi menguji sampel, tertidur di meja kerja karena lelah membuat sampel atau panik berminggu-minggu karena data hilang atau mesin rusak, etc. Kualitas data harus terjaga, kalau salah atau tidak sama saja mesti diulang-ulang sampai puas dengan hasilnya.
Akhirnya ya begini, kalo sudah terikat dengan riset, rasanya duduk manis nonton berita atau film di tivi malam hari kok mubazir. Sudah dapat hasil dan ide, ya mbok berkorban dulu mengumpulkan semuanya di dalam tesis. Butuh waktu lama lo, menulis satu halaman per hari, apalagi kalau belum tau mau dianalisis seperti apa data-data yang menumpuk itu. Berhubung sudah tidak dapat tidur kembali memikirkan segepok paper dan data dalam excel yang memanggil-manggil untuk dianalisa, aku dan hubby putuskan untuk 'sok lembur' secara marathon sampai semua selesai.
Semua paper, laptop, pernik-pernik untuk menulis kuletakkan di kantor. Apapun yang berhubungan dengan riset harus diselesaikan di kantor. Prinsipnya, pulang ke rumah, cukuplah untuk tidur saja. Tidak ada intip-intip paper di tempat tidur. Kalau mau kerja, mari kembali ke kampus dan nge-lembur sekalian.
Setelah beberapa lama, ternyata lembur itu menarik. Apalagi kalau bisa menulis berjam-jam menuangkan ide dan meringkas isi paper dalam suasana yang sangat mendukung. Dua cangkir madu dan teh hangat, sebiji apel, setangkup roti, bisa habis tak berbekas. Tidak seperti di rumah, yang sarat dengan gangguan non-teknis, seperti 'mengantuk kalau lihat bantal 'atau 'bisa memanjakan diri sebentar dengan tivi sampai tertidur di depannya'. Kantor ini begitu sepi, lampu meja menyala terang, udara dingin sesekali ditepis heater, benar-benar menyenangkan untuk nge-lembur. Dengan sesama teman yang sedang lembur di kantor-pun kami sangat rukun, jarang mau bertegur-sapa, soalnya sama-sama berjuang menyelesaikan kerjaan sih.
Mudah-mudahan semua rencana bisa segera diselesaikan. Tapi, bukan tak mungkin setelah semua ini berakhir aku akan sangat merindukan acara nge-lembur di office ini, hiks!
Perth,
Di tengah stuck ngelembur! Mudah-mudahan ya, semua lekas berakhir. Mohon doanya, teman-teman dan saudara.