Saturday, November 12, 2011

Ke New Zealand kami bertualang (bagian 8: Twizel-Christchurch- Tamat)



14 November 2010

Bunyi kukuruyuk ayam membangunkan aku di pagi ini. Kupandangi langit-langit bercat putih bersih tanpa noda di atas sana. Hari terakhir dalam rangkaian petualangan kami di South Island, pikirku. Aku segera bangkit ke kamar mandi untuk berwudhu sebagai persiapan shalat shubuh di penginapan honimun kami di Twizel.

Gus, si Labrador usil
Selembar kertas yang ditempel di dinding dapur berbunyi, “Please don’t fee our dog, we promise to feed him very well” berhasil menerbitkan tawaku. Seekor anjing Labrador hitam kelam berkeliaran di luar sana berlari kian-kemari mengamati segala sesuatunya. Kadang-kadang ia duduk santai di teras ‘rumah kami’. Aku bergidik ngeri, karena sangat takut pada anjing. Untuk soal binatang-binatang, aku selalu merasa nyaman bila hubby di sampingku. Ia dikenal sebagai seorang penyayang binatang. Buktinya, begitu ia keluar rumah, Gus langsung menyongsongnya~ mungkin minta makan~ dan hubby tentu saja tidak takut dihampirinya. Gus memang tidak boleh diberi makan. Pemilik rumah tentulah kuatir anjingnya diberi makanan yang mengandung coklat dan bawang putih. 



Kota Twizel
Twizel merupakan sebuah kota di daerah pegunungan yang terkenal dengan keindahan alamnya. Sebuah airport kecil menghubungkan tempat ini dengan dunia luar, yang sepertinya lebih sering mendatangkan turis-turis kaya. Olahraga terbang layang, kunjungan turis dengan pesawat terbang ke puncak-puncak salju, peternakan wol dan ikan salmon di danau merupakan hasil utama daerah ini. Penduduknya tidak terlalu banyak dan pemukiman terletak cukup jauh dalam radius 40km dari pusat kota. Siang itu saat kami tengah mengisi bensin, kami dikejutkan oleh suara sirene yang cukup kencang. Mungkin telah terjadi kecelakaan, karena si pemilik pom bensin dengan cepat masuk ke toko mengambil topi dan jaket safety lalu berlari-lari menuji mobil pemadam kebakaran di sebelah pom bensin. Rupanya ia juga seorang relawan fire brigade, selain pemilik pom bensin yang cukup besar ini.



Twizel-Mt John
Giliranku menyetir hari ini. Hubby sudah cukup kelelahan dan berharap bisa santai sejenak di bangku penumpang.  Pemandangan indah terhampar di depanku. Pegunungan dengan puncak bersalju, danau-danau biru muda, semak-semak lupin beraneka warna terang, hutan-hutan cemara dan gerombolan domba-domba menjadi teman baruku di jalan. Aku bersyukur sekali, ya Allah, indah sekali tempatnya.

Setelah satu jam menyetir, kami berbelok menuju Mt John Observatory, tempat planetarium paling Selatan di belahan bumi ini. Dari brosur yang kubaca, planetarium Mt John menjanjikan atraksi tersendiri di malam hari, karena kita bisa mengamati bintang-bintang secara langsung.

Tadinya kupikir tempat ini tidak terlalu fantastis. Tetapi begitu mobil mendaki jalan kecil berliku dan memutar gunung, barulah aku menarik nafas dalam-dalam. This is my first time driving with ‘matic’ car, mendaki gunung lagi. Pokoknya aku harus bisa! Tekadku dalam hati. Hubby membantu memberi aba-aba. Di tengah kengerianku, sambil menyetir aku takjub melihat pemandangan dari ketinggian, yang terdiri dari pengunungan Selatan, danau-danau di sebelahnya dan kota-kota kecil di tepinya. 



Akhirnya kami tiba di puncak Mt John, pfiuh, dengan selamat! Kukatakan begitu, karena jalannya sangat kecil, curam, dan kecepatan angin dari samping sangat luar biasa sehingga dapat membahayakan mobil kecil yang kukendarai. Untuk membuka pintu mobil saja diperlukan kekuatan besar, karena anginnya betul-betul kencang. Kami tertatih-tatih menuju sebuah bangunan kafe dengan tempat duduk besar-besar di tepinya. Aku berseru, ya Allah… luarbiasanya!

Pemandangan di tempat itu memang luar biasa. Sulit mengatakan bagaimana indahnya, tetapi silakan lihat foto berikut ini.



Hubby dan aku mengambil kesempatan untuk menikmati puncak dingin itu. Gedung-gedung planetarium berkubah tersebut ditutup untuk umum, sehingga kami hanya bisa berkeliling kafe ini. Sulit sekali berpose dengan baik, anginnya terlalu kencang! Beberapa orang meminta tolong kepada hubby untuk memotret grup mereka. Setelah puas dan kedinginan di luar, kami jajan sandwich vegetarian dan teh jahe di kafe. Sepiring berdua dan segelas berdua… oh, romantisnya (baca: oh, hematnya!)



Lake Tekapo
Tempat terakhir yang ingin kami kunjungi ini sangat terkenal dengan resort-resortnya. Pemandangan di Lake ini sama fantastisnya dengan danau-danau lain. Aku dan hubby berhenti di tepi lake bersama-sama rombongan lain. Sudah tiba waktu lunch rupanya. Sepertinya kami akan makan dan shalat zuhur di sana. Dua orang anak muda mengeluarkan meja lipat mereka dan menyiapkan makan siang mereka. Di sebelah sana, tiga orang, yang sepertinya ayah-ibu-anak, duduk menghadap danau sambil memegang sandwich masing-masing. 



Tempat ini sangat menyenangkan. Aku berlari kian kemari memotret bunga, danau, semak-semak lupin, jalan kecil dipagari oleh lupin, lalu kembali lagi mendekati hubby yang sibuk spotting seekor lebah gemuk di semak lupin. Bermain di tepi danau seindah ini mengingatkan aku pada sebuah kejadian dalam buku cerita Laura, saat mereka sekeluarga berhenti untuk berpiknik di tepi danau Pepin. Pinggiran danau yang berbatu-batu, berair biru dan banyak semak-semak bunga musim semi, rasanya persis seperti dalam cerita itu.  



Goodbye, South Mountain
Akhirnya kami harus ngebut lagi menuju Christchurch. Langit terlihat mendung dan hujan turun sesekali. Kami berhenti di sebuah spot, melihat ke belakang, deretan gunung-gunung South Mountain dengan puncak bersalju seolah melambaikan tangan kepada kami. Aku berharap, suatu hari akan dapat kembali ke sini bersama hubby atau keluarga besarku. Insya Allah.



Perjalanan melelahkan
Tibalah pemandangan membosankan, yang dulu membuatku sangat excited. Padang rumput hijau dihiasi bola-bola putih (atau domba), bahkan padang rumput kuning yang dipenuhi sapi-sapi hitam merumput. Kepala kami terasa berat, tetapi perjalanan harus terus dilaksanakan. 



Kami berhenti sejenak di sebuah kota kecil tetapi penuh turis yang sedang beristirahat. Di tempat itu ada bangunan toilet yang dipenuhi pengunjung. Aku berjalan pelan-pelan menikmati suasana, terutama bunga-bunga di depan rumah penduduk. Mirip suasana countryside di Inggris. English cottage, hmmmh.

Kami bergantian menyetir hingga tiba di Christchurch sebelum pukul 5 sore. Huahh, mengantuknya… zzzz

Pekanbaru,
Til we meet again in another 'grand honeymoon journey'

No comments: