Wednesday, November 16, 2011

Memanfaatkan Waktu 'Menunggu'


Kalau mendengar orang-orang mengeluh soal ‘menunggu’, biasanya aku suka senyum sendiri. Sudah lama aku merasa kegiatan ‘tunggu-menunggu’ bukanlah sebuah gangguan, melainkan segmen waktu paling produktif dalam hidup. Kenapa ya?

Belajar menunggu karena kondisi
Untuk mencapai lokasi tempat SMA kami berada di Rumbai, maka aku dan teman-teman harus naik bis selama satu jam dari perumahan di Minas. Paling-paling kegiatan kami hanya sebatas mengobrol, main game, mendengarkan musik atau tidur-tiduran. Setelah beberapa lama kami bisa membaca tanpa pusing di atas kendaraan, barulah waktu perjalanan di atas bis menjadi lebih produktif. Beberapa orang memilih membaca atau menghafal pelajaran dari buku catatan. Persiapan ulangan dua atau tiga hari kemudian praktis lebih banyak dilakukan dalam perjalanan tersebut. Teman-teman yang suka belajar di atas bis biasanya mendapatkan ranking tinggi di kelas. Inilah yang kunamakan ‘produktif’ saat menunggu.

Aku juga belajar untuk produktif saat menunggu keberangkatan kereta api dari stasiun Gambir, Jakarta, ke stasiun Tugu di Yogyakarta. Setiap kembali dari liburan Idul Fitri, biasanya pesawat yang kutumpangi akan tiba sekitar pukul 11 pagi di Jakarta. Setelah Idul Fitri, antrian pembelian tiket di stasiun tersebut tetap panjang. Aku pernah antri pada pukul 11 pagi untuk membeli tiket kereta yang berangkat pukul 7.30 malam. Walhasil aku menunggu lebih dari 8 jam di stasiun hingga waktu keberangkatan. Bagi orang-orang, membuang-buang waktu di stasiun pastilah membosankan dan melelahkan. Tetapi bagi orang seperti itu, kesempatan menunggu dapat menjadi ajang mencari kenalan baru, belajar bersosialisasi dengan sesama penunggu, saat untuk menyusun rencana perkuliahan di semester baru, hingga mengamati orang-orang yang menjadi sumber inspirasi dalam tulisan-tulisanku di diary.

Saat menunggu antrian di bank, di dokter, restoran, bengkel atau kuliah dari dosen juga bukan waktu paling membosankan bagi diriku. Seperti yang kukatakan di atas tadi, saat menunggu adalah waktu paling produktif. Biasanya untuk mengantisipasi saat menunggu, aku menyediakan sebuah majalah untuk dibaca dalam tas. Apalagi pada masa kuliah di Yogya, aku sedang getol-getolnya membiasakan diri membaca Reader’s Digest untuk latihan bahasa Inggris. Biarpun Reader’s Digest membuat kantuk semakin menjadi-jadi, aku selalu berusaha menamatkan sebuah artikel untuk melatih ‘Reading Comprehension’ dan menambah my ‘English sense’. Suatu ketika, aku bahkan mendapat pinjaman buku menarik dari seseorang di pesawat, karena ia melihatku begitu khusyuk membaca sebuah majalah Islami di ruang tunggu keberangkatan.


Produktif saat menunggu dan ditawari pekerjaan
Pekerjaan yang paling kusukai adalah membuat rencana saat menunggu. Berbekal sebuah buku planner, aku menuliskan semua hal-hal yang ingin kulakukan, termasuk mengevaluasi hal-hal yang tidak sempat kukerjakan. Membuat kerangka paper atau outline sebuah tulisan juga lebih banyak dihasilkan pada saat menunggui mahasiswa yang sedang ujian/mengerjakan lab. Dengan begitu, ketika acara menunggu berakhir, aku sudah punya draft atau semacam langkah-langkah yang perlu dilaksanakan untuk pekerjaanku saat ini.

Hebatnya, kebiasaan produktif menunggu sambil membaca, belajar atau membuat rencana ini pernah membuahkan hasil tawaran pekerjaan. Saat itu aku dan hubby sedang menunggu di sebuah bengkel di Perth. Paper yang ada di tanganku sebetulnya sebuah petunjuk cara pengujian korosi untuk tesis. Tulisannya kecil-kecil dan sangat membosankan untuk dilihat. Tetapi aku bertekad untuk menghabiskan beberapa lembar petunjuk tersebut saat mobil selesai diservis.

Tiba-tiba, seorang tuan di sampingku yang dari tadi sibuk memainkan hapenya menyapa dan menanyakan tentang paper di tanganku. Dengan sopan aku mengatakan kalau paper itu adalah standar pengujian korosi dari ASTM untuk tesisku. Iapun bertanya-tanya tentang kuliahku, hasil yang kuperoleh selama ini dan apa punya rencana untuk berkarir di Australia. Ia adalah seorang Manager di sebuah perusahaan besar di Australia. Menurutnya, mereka sangat membutuhkan seorang Civil Engineer. Jika lulus nanti, kenapa aku tidak mencoba saja melamar ke perusahaan mereka? Ia bersedia menjadi mentor kalau aku berminat.

Setelah mengucapkan terima kasih untuk perhatiannya, aku cuma bisa terbelalak dan berusaha menenangkan diri. Hubby yang berada di pinggir tempat duduk sana hanya dapat melihatku dengan pandangan penuh tanda tanya. Setelah tuan itu pergi mengambil mobilnya, barulah aku menceritakan apa yang terjadi tadi kepada hubby.


Menunggu itu sebenarnya sebuah rahmat
Sejak itu, aku yakin acara menunggu bukanlah waktu yang tersia-sia diberikan Allah untuk tiap manusia.

Pertama, masa menunggu sebenarnya waktu kosong yang tersedia untuk mengejar ketertinggalan kita dalam berbagai hal. Biasanya kita punya banyak rencana, tetapi karena tangan kita hanya dua (bukan Cinderella, ya), maka sisa-sisa rencana tersebut bisa dikerjakan di waktu menunggu itu. Misalnya menghafal pelajaran, menambah vocabulary, atau menyelesaikan sebuah artikel yang belum sempat dibaca kemarin.

Kedua, waktu menunggu juga dapat digunakan untuk berzikir dan membaca/menghafal surat-surat pendek. Nasihat ini sering kuamalkan saat berada dalam perjalanan, misalnya naik pesawat. Saat mengantri di bank yang super panjang dan lama juga bisa dipakai untuk berzikir. Bulan Ramadhan lalu, aku melihat seorang bapak tua di depanku sedang komat-kamit seperti berzikir. Tanpa sadar, mulutku ikut-ikutan komat-kamit, lalu berzikir seperti beliau.

Ketiga, menurut pengalamanku, waktu menunggu juga bisa digunakan untuk kontemplasi atau merenung, menulis diary, menyusun rencana dan membuat evaluasi hal-hal yang telah kita kerjakan selama ini. Seringkali ide-ide terbaik untuk paper dan artikelku berasal dari saat penantian yang tidak pernah kurasa membosankan.

Sebenarnya banyak sekali hal-hal bisa kita laksanakan pada saat-saat ‘menunggu’ tersebut.  Jadi, be productive saat menunggu, jangan biarkan waktu yang sangat berharga itu hilang begitu saja.


Pekanbaru
Saat mengingat seorang teman yang menyia-nyiakan waktu 'menunggu'

2 comments:

Haddori Amma said...

Good mon,
Paling nggak, di perjalanan, aku main sudoku yg mengasah otak.

Monita Wibisono said...

betul, do, biasanya aku tiga kali lebih produktif kalau belajar di tempat umum. apa ini sindrom 'riya', berbuat hanya di depan khalayak? haha...