Thursday, April 16, 2009

Koin...


Hai, aku adalah sekeping uang receh bernilai lima ratus rupiah. Rupaku bundar, berwarna kuning kusam, tetapi jika baru, kalian akan terkagum-kagum melihat kilauku yang cemerlang. Aku dilahirkan di sebuah pabrik pencetak uang.

Setelah jadi aku dikemas sedemikian rupa membentuk tabung bersama kawan-kawanku. Lalu kami dimasukkan ke kotak besar. Di dalamnya ada beribu-ribu temanku. Kami semua tidak tahu akan dibawa ke mana. Setelah penuh dan terimpit beberapa ribu orang teman, lalu aku tidak dapat melihat cahaya lagi karena kotaknya ditutup.

Beberapa lama kemudian, akupun tidak tahu, kudengar suara riuh tangan mengambili kami. Lalu tiba giliran kelompok kami. Kami diletakkan di bagian paling atas. Sebentar saja tangan yang lain menyusun kami dalam kotak segiempat dan memasang kotak tersebut di mejanya.

Setelah meja dibuka tutup beberapa kali, akhirnya kelompok kami diambil. Bersama dengan tumpukan uang lain yang berupa kertas, kami diberikan kepada seorang wanita. Ia segera memasukkan kami ke dalam tas tangannya.

Tiba-tiba ia mengambil kelompok kami dan merobek kertasnya. Ia mengambilku, karena aku terletak di bagian atas, lalu memberikannya kepada tukang parkir. Tangan tukang parkir yang kotor cepat mengambilku dan memasukkanku ke dalam kantung celananya. Sekarang semuanya gelap lagi.

Setelah entah beberapa lama, akhirnya aku merasa ditarik sesuatu. Ternyata tukang parkir itu mengambilku untuk diberikan kepada seorang penjual es. Aku diletakkan di bagian datar gerobak. Dengan cepat tukang es krim memungutku, tetapi tiba-tiba… ting… aku merasa jatuh ke aspal. Rupanya tangan tukang es tidak memegangku cukup kuat sehingga aku tergelincir dan jatuh.

Oww!! Seruku, lalu aku menggelinding menjauhi gerobak tukang es. Kulihat tukang es mencari-cari aku dengan matanya. Tetapi aku telah bergerak ke arah depan dan bukan samping kiri atau kanan dengan kecepatan cukup tinggi. Dug, akhirnya aku menabrak tiang kios majalah.

Setelah beberapa kali terinjak oleh orang yang melihat-lihat majalah, akhirnya aku tertendang oleh salah seorang pembeli ke kaki penjual majalah. Penjual majalah melihatku, dan langsung memungutku. Ia menyodorkan aku ke pembeli yang menendangku tadi. Pembeli tersebut menggeleng, menyatakan bahwa aku bukan miliknya.

Tukang majalah segera memasukkan aku ke tasnya. Aku tersekap lagi di dalam tas. Aku menemukan banyak koin lain di dalam tas. Tetapi aku tidak ingin berkenalan dengan satu koinpun. Aku tergeletak di sudut tas, sedangkan mereka di bagian tengah. Jadi tidak ada alasan untuk berbasa-basi, pikirku.

Kurasa ada yang menarikku. Seorang gadis cilik mengeluarkan aku dari tas. Ia mengamat-amatiku sebentar sebelum menggenggamku erat-erat. Gadis cilik itu lalu berdiri dan berlari menuju warung di sebelah rumahnya.

“Beli mi, kakak” ia menyodorkanku ke penjual.

Penjual itu memberikan bungkusan mi dan menerimaku. Ia menaruhku dalam kotak plastik di depan mejanya. Aku bertemu lebih banyak koin lagi. Koin-koin itu berserakan dalam kotak dan memenuhi tiap sudut kotak kumal itu. Aku tetap pada pendirianku yang tidak mau berkenalan dengan satu koinpun.

Besok harinya si kakak penjual memasukkan kami ke dalam dompetnya. Dompet itu sempit, dan kami semua berdesakan di dalamnya. Tak lama kami dikeluarkan dari dalam dompet. Rupanya kami hendak ditukar dengan beberapa bungkus mi dan kerupuk.

Aku merasa tengah melayang dan ditaruh duluan di meja. Selanjutnya beberapa koin lagi menyusulku. Kami berimpit-impitan di meja toke. Kakak penjual mengambil beberapa bungkus mi lagi, dan mengeluarkan beberapa koin lagi. Toke mengambil kami semua, menghitung dengan teliti dan memasukkan ke kotak uangnya kembali.

Malamnya kami disusun sesuai dengan nilai masing-masing. Aku diletakkan paling bawah dan dibungkus perlahan dengan kertas. Rasanya kembali ke keadaan semula setelah aku dicetak. Setelah semua selesai dibungkus, lalu kami dimasukkan ke dalam kantung plastik hitam bersama ratusan koin dan uang kertas lain.

Esoknya kami semua dibawa ke tempat aku mengenal dunia pertama kali. Seseorang yang sebenarnya kasir menghitung kami dengan cermat. Wajahnya terlihat datar dan mulutnya komat-kamit. Akhirnya ia mengambil kami semua dan meletakkan di kotaknya dekat meja.

Beberapa saat kemudian aku merasa kelompok kami diangkat. Kulihat nona berpenampilan elegan mengambilku dari mbak kasir. Ia menaruh kami dalam sebuah kantung kertas dan memasukkannya hati-hati ke dalam tas tangannya.

Kurasa… aku harus melalui hari-hari di mana tempatku hanya dompet, kotak, laci melulu…

Pekanbaru,
terinspirasi dari uang 'kecil' di celengan...

No comments: