Thursday, September 23, 2010

Ketika aku... mengingat papa dan ekspresi cintanya dengan berbagai oleh-oleh



Tiba-tiba aku teringat kebiasaan baik papaku yang suka membawakan oleh-oleh berupa makanan atau apa saja untuk kami, anak-anak dan mamaku. Biar dikata pulangnya selalu berseru heboh memanggil kita semua untuk mencicipi oleh-olehnya, sebenarnya diam-diam kami sangat menghargai kebiasaan menyenangkan itu.

Sore hari saat pulang dari bekerja di kantor, aku menuju meja makan menemui papaku yang sedang menikmati makan malamnya, pukul lima sore teng. Sepuluh biji buah seri merah-merah yang dibungkus dalam napkin putih terletak di atas meja makan. Mataku terbelalak melihat buah kecil-kecil menggiurkan yang sudah jarang ditemukan di mana-mana.

“Dari pohon di depan kantor,” kata papaku sambil asyik mengunyah makanannya.

Di depan kantor beliau memang terdapat bermacam-macam pohon buah-buahan yang mulai sering panen. Ada pohon kelapa hibrida, jambu merah, jambu klutuk, jambu warna putih, buah seri, mangga, nangka, pendeknya semua permintaan dari pegawai di kantor barangkali dibudidayakan di sana. Kadang-kadang tinggal beberapa hari lagi waktu panen, tiba-tiba buah-buahan itu sudah raib diambil entah siapa. Ada saja yang dicurigai, walau tak sampai hati karena toh para pegawai bisa mengeluarkan uang sendiri dari kocek mereka untuk membeli berkilo-kilo buah-buahan itu. Mungkin mereka jengkel karena buah-buah mengkal itu dipanen atau sudah berbulan-bulan melihat tapi tak kebagian.

Tetapi, sore itu aku bahagia sekali, karena papaku bilang, buah seri itu khusus untukku. Mungkin beliau ingat saat aku kecil aku suka histeris kalau menemukan pohon seri. Kadang-kadang jika sudah menemukan pohonnya, aku suka berlama-lama berkeliling sambil berusaha keras menemukan buah termerah dan terbesar untuk dimasukkan ke mulut. Sambil mengenang kebiasaan masa kecilku, berdua dengan mama, kami menghabiskan buah-buah seri tersebut.

Tidak hanya buah seri, kadang-kadang papaku membawakan bermacam-macam makanan kesukaan keluarga seperti sate padang dari Duri yang jauhnya hampir 60km dari Minas, tempat tinggal kami. Sate itu pastilah dibawa dengan mobil berkecepatan luar biasa sepanjang jalan Duri-Minas agar tetap hangat saat kami cicipi. Setiba di rumah dengan berseru-seru heboh saat memasuki pintu rumah, kami langsung berkumpul untuk mencicipi bawaan istimewa itu. Memang heboh, tetapi kebiasaan papa yang satu itu memang menyenangkan dan mengenyangkan.

Papaku sangat gembira jika anak-anaknya puas, bahagia, tersenyum lebar, atau bahkan berebutan baik sepotong sosis, seteguk jus buah maupun secubit roti berselai kacang yang dikumpulkannya berhari-hari saat dinas di luar kota. Tak satupun ia makan, semuanya disimpan baik-baik di dalam kantongnya, dimasukkan ke dalam tas kerjanya untuk digelar di meja makan saat ia pulang.

Tiap datang ke rumahku, pasti ada saja buah tangan yang dibawa. Entah sepuluh kotak susu, lontong sayur, keripik, apa sajalah yang pasti beraneka ragam dan sudah beliau pastikan kami sukai. Meskipun aku sudah setua ini, kebiasaan papaku yang selalu membawakan sesuatu cukup membuatku terharu sebenarnya. Tetapi aku menghargai tiap bawaan beliau, walau tidak melompat-lompat gembira seperti saat beliau membawakan kerupuk ikan dan angka delapan dari kampung, kurma nabi dan kacang pistachio dari Mekah, atau bros kiwi dari New Zealand. Sekarang aku cukup tahu diri dan jika sudah tak sanggup lagi kami konsumsi sendiri, akan kubagikan pada orang lain agar mereka turut merasakan kebaikan hati tulus papaku.

Menurut papaku, saat beliau pulang ke rumah tanpa membawa oleh-oleh misalnya barang sebiji permen, beliau kuatir nanti tidak akan diperhatikan atau dinanti-nanti kepulangannya oleh anak-anaknya. Mengharukan, bukan? Beliau memang papa yang penyayang dan selalu mengingat kami, anak-anaknya yang bandel-bandel ini. Terima kasih banyak, pa, untuk semua oleh-olehnya selama ini.

Perth,
Saat merindukan oleh-oleh papa, dan berharap oleh-oleh falafel wrap untuk hubby bisa melestarikan ‘ekspresi cinta dalam sebuah oleh-oleh’.