Friday, September 10, 2010

Ketika aku... mulai mencoba memahami ‘tetangga’


Ingat curhatku tentang ‘tetangga’ yang suka mengeluh, ga? Baru-baru ini aku sudah mulai berdamai dengan ‘gangguan’ yang kuterima darinya. Awalnya kupikir mungkin dia bersikap demikian karena aku begitu cuek. Memang kuakui diriku bukanlah pribadi ‘peramah’, tetapi lebih menjurus pada ‘pemarah’. Setelah bosan mencari jalan keluar, kupikir apa salahnya aku ‘drawing a longer line’, atau apalah salahnya aku sedikit berempati atau menunjukkan bahwa diriku ini punya ‘compassion’ juga dan mau mengerti kesusahannya.

Mulailah aku menanggapi dengan ringan cerita-cerita curhatnya yang sering kuanggap menjatuhkan semangat diriku. Mayoritas topiknya memang selalu tentang keresahan yang kadang menurutku tidak terlalu serius. Tetapi setelah mengkaji dan mulai memahami posisinya, aku belajar merespon dengan lebih sabar serta ceria tiap keluhannya. Sudah saatnya hobi ‘coaching’ku dipraktekkan, walaupun kutau ia beberapa tahun lebih senior dari diriku. Siapa tau kami mungkin sebenarnya saling membutuhkan, yaitu, ia membutuhkan pendengar sedang aku membutuhkan curhatnya untuk didengarkan.

Kemudian aku mencoba melihat sisi positif keluhannya soal riset dan supervisornya. Lambat-laun aku menyadari, bahwa sebenarnya tiap keluhannya dalam riset mengandung banyak makna untukku selama ini. Tak kusadari, setelah bertahun-tahun nenangga, ternyata keresahannya telah menular ke diriku sehingga mau tak mau aku jadi ikut ‘bergerak’ lebih cepat dalam pekerjaan risetku. Jika tidak, di akhir masa studi bukan tidak mungkin aku merasa proses PhD ini lebih sukar, karena tidak ada benchmark. Intinya, aku benchmarking dengan temanku tadi, sehingga aku berusaha meningkatkan level pekerjaanku, berusaha sama kerasnya dengan dia agar pekerjaanku layak untuk sekaliber tesis PhD. Walaupun aku sering harus mengingatkan diriku bahwa sesuatu itu ada juga batasnya dan harus mendengar kata supervisorku yang punya banyak PhD student juga.

Subhanallah, jadi moralnya, aku diberi Allah teman seperti dia selama ini bukan untuk menyusahkanku, tetapi ternyata membantuku supaya berusaha lebih keras dalam studi. Tak kusangka, Allah membantuku lewat orang seperti dia. Jika kupikir dulu aku mau jauh-jauh dari dia, ternyata, tak disangka, malah dia-lah yang paling banyak membantuku selama ini.

Hmm, akhirnya aku bisa menyikapi dengan bijaksana dan mensyukuri karunia Allah yang satu ini... Alhamdulillah, ya Allah...