13 November
2010
Whuaa, pagi
yang indah di Dunedin. Tapi tidak ada waktu untuk bermalas-malasan. Kami membereskan tumpukan barang-barang di kamar dan memasukkannya ke dalam mobil. Hari ini kami bertekad sampai lebih awal di Twizel, Mackenzie District.
Tur pendek di
pusat kota
Sebelum meninggalkan Dunedin, kami melakukan tur singkat keliling kota klasik ini. Chinese
Garden menjadi tempat pertama kunjungan kami. Sayangnya
kali ini aku tidak dapat bercerita mengenai isinya, karena kebun masih ditutup. Gerbang megah di depan kebun lantas jadi penanda bahwa aku pernah berkunjung ke sana. Serasa di Cina saja ya. Selanjutnya kami berputar-putar di tengah kota melihat museum
Dunedin, pabrik coklat Cadbury dan bangunan-bangunan klasik di seputar kota
dingin tersebut.
Pesisir
Timur
Twizel, kota di Mackenzie District menjadi tempat persinggahan terakhir acara keliling pulau Selatan. Untuk mencapai tempat itu kami
menyusuri jalan lintas pesisir Timur . Dari Dunedin, perjalanan
dilanjutkan ke Waikouaiti dan Palmerston. Di Palmerston aku
berbelanja buah-buahan dan sayuran segar untuk menambah perbekalan kami. Kebetulan kami sedang ngidam keripik kentang dan apel merah yang crunchy. Toko-toko di Palmerston
umumnya bergaya vintage. Seperti
kota-kota lama di South Island ini, kita bisa temukan berbagai peninggalan
bersejarah yang berkaitan dengan aktivitas pertambangan emas awal abad 20 di
pusat-pusat kota.
Salah satu tempat yang tak sengaja kami temukan di Oamaru bernama Victorian Precinct. Kompleks bangunan lama tersebut terdiri dari restoran, museum, toko wol (woolstore), galeri dan pertokoan bergaya Victorian. Di depan kompleks itu terdapat sejenis English cottage garden yagn lebih menarik hatiku. Sayangnya aku cuma punya waktu sebentar saja untuk menghirup nafas dalam-dalam, duduk di bench meresapi suasana dan memotret bunga-bunga yang tak pernah kulihat dalam hidupku. Hubby lebih menyukai public art di antara gedung-gedung besar tadi. Karya logamnya sungguh kuno, kurang menarik hatiku. Tempat ini sangat ramai dikunjungi oleh turis-turis asing. Sekejap saja mereka bergerak memenuhi kompleks bangunan maupun kebun yang tengah ku eksplorasi.
Perjalanan
kami di provinsi Otago melewati kota-kota kecil seperti Kurow dan Otematata dan beberapa danau besar seperti
Lake Waitaki, Aviewmore dan Benmore. Lake Benmore merupakan tempat yang paling
padat dengan pengunjung. Di tepi danau
tersebut, beraneka bentuk karavan, tenda dan motor home terparkir rapi di sana. Danau itu terkenal
dengan aktivitas memancing, mendayung, naik boat ataupun sekedar rileks
menikmati pemandangan gunung di sekitarnya.Melihat keadaan di tepi Lake Benmore, aku teringat pengalaman anak-anak di Eropa dan Amerika yang selalu menikmati sekali kegiatan musim panas di tepi danau.
Omarama,
dalam bahasa Maori berarti ‘place of light’. Tempat ini terkenal dengan langitnya yang cerah dan terang untuk mengamati bintang-bintang. Lokasinya berada di
persimpangan Omarama-Twizel Rd, Omarama-Linds Pass Rd, dan Omarama-Otemata Rd.
Kota ini penghasil susu, wol dan pertanian dan beberapa tahun belakangan
populer sebagai tempat peristirahatan, olahraga salju, terbang layang maupun
tramping (trekking dan camping, OZ bilang: bushwalking).
Padang
lupin di Ahuriri river, Twizel-Omarama Rd
Berangkat
dari Omarama, kami menyusuri jalan Twizel-Omarama Rd menuju Twizel. Tempat ini
memiliki padang-padang rumput luas dengan latar belakang pegunungan Selatan.
Saat menyeberangi jembatan di atas Ahuriri river, aku terbelalak. Ribuan
bunga berwarna pink hingga ungu memenuhi sisi tepi sungai penuh kerikil
tersebut. Sepertinya padang lupin yang kucari-cari! Hanya ada di musim semi! Hubbypun membelokkan mobil dan turun dari tepi jalan untuk mendekati sungai yang nyaris penuh bunga tersebut.
Beberapa kendaraan di belakang kami juga berbelok mendadak.
Tampaknya, orang-orang tidak ingin melewatkan padang bunga indah itu!
Di sinilah
keceriaan sebenarnya dimulai. Alas kaki harus dilepas agar tidak basah. Kaki-kaki seolah menjerit bersentuhan dengan air sungai Ahuriri yang dingin. Ternyata berjalan di sungai dangkal dengan arus tidak terlalu kuatpun cukup sulit karena kerikil-kerikil di dasar sungai tidak mudah untuk diinjak. Aku harus berjalan cepat dan berpegangan pada hubby. Di depan, hamparan ribuan bunga lupin tegak berdiri menyambut kami. Bunga lupin memiliki 280 spesies dengan aneka ukuran, warna dan tingkatan racunnya. Bunga ini berasal dari Amerika Utara, tetapi banyak juga ditemukan di daerah Mediterania, Afrika, Canada dan New Zealand. Di Texas, US, bunga ini dikenal sebagai blue bonnet. Kuntum berbentuk bunga kacang-kacangan tersusun rapi dalam sebuah tangkai besar dan berat. Lupin yang dapat dimakan tergolong kacang-kacangan sehingga dapat diolah menjadi makanan ringan, vegetarian sosis, tahu dan tepung. Di tengah padang bunga itu, aku lebih mirip seekor kupu-kupu yang
sibuk hinggap di sana-sini mengamati, meraba dan mencium bau harum lupin di udara. Betapa indahnya tempat ini, Subhanallah… Padahal menurut sebuah laporan soal lingkungan, penyebaran lupin yang sangat cepat di Ahuriri river telah merusak ekosistem dan habitat burung-burung air di sana.
Aoraki/Mount Cook, puncak tertinggi di South Island (3754m)
Sudah
menjelang ashar, tetapi hubby bersikeras ingin mendatangi Mount Cook, di Mt
Cook National Park. Puncak gunung bersalju ini selalu populer untuk kemping. Dalam perjalanan menuju Aoraki, kita ditemani oleh Lake Pukaki yang misterius. Aku menyebutnya begitu, karena air danau berwarna toska berkat bebatuan di dasarnya yang berwarna putih. Danau berwarna toska itu jika digabung dengan pegunungan dengan puncak-puncak bersalju, maka pemandangan Lake Pukaki di kaki Mt Cook persis seperti pemandangan dalam iklan produk makanan atau minuman segar di media massa.
Di sebuah
lapangan luas di kaki gunung itu, puluhan kendaraan dan tenda berjejer rapi
menyambut malam. Tidak perlu khawatir dengan fasilitas kemping, toilet yang
bersih, dapur dan fasilitas umum tersedia semuanya. Aku dan hubby hanya melirik
sebentar ke ‘perkampungan dadakan’ itu, lalu berjalan ke kaki Mt Cook. Oh,
lucunya, sebentar-sebentar kami melihat kelinci berwarna abu-abu cukup besar
berlari di depan dan menyelinap ke dalam semak-semak. Karena terlalu lelah dengan perjalanan padat hari itu, aku
dan hubby tidak pergi terlalu jauh. Akupun merasa cemas karena sudah hampir
pukul 8 malam. Tidak ingin kan, keesokan harinya kalian membaca headline news semacam~ ‘Dua postgrad Curtin tersesat di Mt Cook’.
Farm house
di Twizel
Keindahan
Mt Cook tidak hanya bisa dinikmati di kaki gunung saja. Saat memasuki rumah
pertanian yang kami sewa, pemandangan gunung bersalju itu hadir di jendela
besar dapur. Menarik sekali kalau bisa setiap hari memasak atau mencuci piring dengan pemandangan spektakular seperti itu. Apa ada pengaruhnya untuk rasa masakan?
Ssst, sebentar, rumah pertanian? Iya, kami sendiri kaget karena ternyata rumah pertanian itu meskipun terlihat kecil, ternyata terlalu besar untuk dua orang.
Ssst, sebentar, rumah pertanian? Iya, kami sendiri kaget karena ternyata rumah pertanian itu meskipun terlihat kecil, ternyata terlalu besar untuk dua orang.
Tempat itu
sendiri terlalu mewah sebenarnya untuk kami. Farm itu terdiri dari beberapa
rumah beraneka tipe. Tipe yang paling besar dan mewah disewa oleh pasangan
berkendaraan Mercy. Rumah besar di samping tempat kami dihuni oleh dua pasangan
orang tua-tua yang berwajah ramah. Rumah ketiga di ujung jalan sepertinya tidak
disewakan.
Tinggal di
farm yang sepi seperti ini adalah bagian paling menyenangkan dari perjalanan kami. Meskipun otak terasa segar melihat yang indah-indah dalam liburan, aku dan hubby
secara fisik sudah super kelelahan. Jadi, bisa tidur sangat nyenyak ditemani bunyi desir angin di
antara pepohonan dan suara binatang-binatang di pertanian, rasanya luar biasa. Hmmh, pokoknya tempat ini memang sangat pas untuk stay out of the crowd...for a deliberately honeymoon couple...
Well, sleep
tight…
Perth,
No comments:
Post a Comment