Tuesday, October 18, 2011

A super dedicated Dr IC

The Big Blue Shed, tempat penuh kenangan Dr IC.

Lelaki separuh baya bertubuh besar, tinggi, berambut putih, dan bersuara menggelegar itu selalu terdengar memberi perintah di sana-sini. Walaupun tengah berbicara dengan teknisi di suatu pojok, ia masih sempat memberi petunjuk pada kerumunan mahasiswa yang mengerjakan sampel-sampel mereka di sudut lain. 

Beberapa bulan setelah studi literatur selesai, Dr IC mendapat kesempatan untuk membaca proposalku. 

Menurutnya, banyak hal yang harus diperbaiki walaupun proposal itu sendiri sudah 'readable' (ini poin terpenting, readable!). 

Ia bukan pembimbing utama tesisku, tapi sebagai Associate Supervisor ia berhak memberikan masukan-masukan untuk proposal yang sudah kugarap selama 3 bulan itu. 

Aku hanya bisa menerima komentarnya tanpa banyak protes, karena riset memang hal baru bagiku dan masih banyak yang harus kupelajari agar riset ini bisa dikerjakan dan sukses. 

Disamping itu Dr IC adalah salah satu sesepuh dosen Struktur di Jurusan dengan banyak pengalaman bekerja di proyek sipil, so, kupikir pengetahuanku kemungkinan hanya 0.01% dari pengetahuannya. Tentu saja ia menginginkan riset yang aplikatif, orisinal dan sesuai dengan tujuan akhir kualifikasi level mahasiswa doktoral. 

Rasanya setelah keluar dari meeting tersebut aku seperti melihat puncak sebuah menara padahal rasanya aku masih berada jauh di luar pagar menara itu sendiri. Hm.

Dr IC sangat terkenal akan campur-tangannya dalam berbagai pekerjaan dan isu penting di lab Beton. Meskipun sibuk mengajar kelas-kelasnya dan terlibat dengan berbagai proyek, tetapi Dr IC selalu berusaha hadir meskipun hanya beberapa menit di lab yang sangat luas itu. 

Peralatan yang dimilikinya untuk riset 'membentang' dari bagian dalam lab Beton hingga di bawah struktur 'Big Blue Shed'. Big Blue, demikian kami memanggilnya, adalah tempat menguji sampel besar seperti balok dan pelat berukuran lebih dari 5 meter dengan alat-alat rumit.  

Beliau adalah tipe orang yang super dedicate pada eksperimen dan alat-alatnya, tak sungkan duduk diam di lab berhari-hari tanpa lelah untuk mengutak-utik program dan mengkalibrasi beberapa data logger sekaligus. 

Ia seperti sebuah otak dan bagian dari kelengkapan lab, karena pengetahuannya yang sangat luas di bidang teori dan aplikasi telah menjadi rujukan kepada dosen, mahasiswa, teknisi, praktisi dan konsultan-konsultan di lapangan.

Salah satu hal yang kuamati, beliau selalu ingin turun tangan membantu (baca: mengurusi) semua riset mahasiswa dan dosen yang menginginkan bantuannya tanpa pilih-pilih atau pikir-pikir panjang. 

Bisa jadi hanya dari sekedar saran keilmuan hingga bantuan tenaga, beliau selalu ada. 

Kadang aku heran juga melihat Dr IC mau berkotor-kotor meratakan permukaan beton segar yang baru dicor milik seorang temanku saat ia melewati sampel-sampel tersebut tanpa diminta. 

Aku juga sering terkaget-kaget mendengarnya berbicara denganku saat aku sedang fokus mengerjakan sesuatu yang dianggapnya belum tepat, seperti saat pemasangan sulfur cap untuk benda uji tes tekan. Tanganku sampai pegal mengulangi pencetakan sulfur cap pada sampel agar mendapatkan permukaan yang rata sesuai alat kalibrasi. 

"Jika tidak, hasilnya kurang akurat karena beban tidak terdistribusi merata di permukaan benda uji. Don't worry, there's always a room for improvement", kata Dr IC, membesarkan hati.

Sayangnya, meski super dedicate, dosen seperti Dr IC sepertinya tidak akan pernah menjadi idola para teknisi di lab. 

He always pushy, wants things on the spot, crazy' dan segudang kata-kata berbunga (baca: mengerikan) selalu royal dilimpahkan mereka untuknya. 

Dirikupun selalu bimbang karena kadang mengidolakan beliau, tetapi kadang setuju dengan para teknisi yang ingin beliau pensiun saja dari lab. Jika sedang dibantu oleh beliau, aku merasa 'friends', sedangkan saat ia memotong jadwalku bekerja di lab dan memakai alat-alat yang kuinginkan, aku langsung mencak-mencak sendiri berharap ia tidak pernah punya rencana tak terduga demikian

Tetapi biar suka tak jelas demikian, ternyata di saat-saat paling tak terduga, Dr IC bisa ada untuk membantuku tanpa perlu diminta secara khusus, padahal beberapa waktu kemudian ia tidak lagi menjadi Associate Supervisorku karena berbagai alasan. 

Saat itu teknisi senior sudah pensiun dan ia bersedia membantuku mengambil data terakhir risetku yang telah tertunda selama berbulan-bulan. Dr IC bersedia membantu mengkalibrasi dan mengatur alat-alat tes Modulus of Elasticity tersebut. Lalu kami berdua bekerja sama dengan tenang dan baik menguji semua sampel-sampel dipandu dengan catatan-catatan serta ingatanku yang telah mendapat training khusus dari teknisi senior tersebut. 

Mungkin semangatnya yang meledak-ledak, keinginannya agar semua orang bisa 'as professional as they can be', dan berbagai harapan agar semua tantangan yang diterimanya dalam bekerja dapat terakomodasi selalu membuatnya terlihat sangat produktif dan super dedicated. 

Padahal jika dilihat dari kondisi fisiknya sekarang, beliau tampak lebih tua, lebih fragile dan lebih lambat dari tahun-tahun awal aku berada di lab. Tampaknya beliau masih tidak mau menyerah dengan keadaan, meskipun umur terus menggerus kecepatan aktivitasnya. Suaranya masih menggelegar di berbagai sudut lab. 

Ia pernah mengatakan bahwa kesukaannya pada 'tantangan' dan keasyikan mengajar mahasiswa Teknik Sipil dengan cara berbeda dari semestinya, seperti 'beam competition', demonstrasi pengujian, dan aneka praktek baik di lapangan, bagai ramuan jamu penambah kekuatan serta semangat hidupnya. Semangat itulah yang ingin ditularkannya pada orang-orang di sekelilingnya, pada mahasiswa, dosen dan teknisi. Pada dosen muda seperti aku, ia berpesan agar rajin berinovasi dalam pengajaran dan penelitian, memberikan tantangan-tantangan intelektual pada mahasiswa, sekaligus memperbaiki kompetensi diri agar dapat menjadi pengajar sekaligus insinyur yang profesional di bidangku.

Saat aku berpamitan dari lab untuk selamanya, Dr IC menyalamiku dengan hangat. 

Kulihat matanya penuh kata-kata meski ia sendiri hanya diam saja sambil tersenyum. 

Oh, Dr IC, I think I've got you!

Aku hanya bisa membalas dengan senyum sungkan sambil melirik lantai beton di bawahku karena mengerti artinya. 

Sudah bertahun-tahun aku melihatnya di lab sejak ia menjadi Associate Supervisor hingga aku selesai studi sekarang.  Pada saat bersamaan, bertahun-tahun pula ia melihat kegigihanku bekerja dan berjuang di lab maskulin itu tanpa banyak mengeluh. Aku terus berjalan meski pelan dan banyak sekali tantangan yang harus aku lalui termasuk dari jadwal-jadwalnya yang kadang menghalangi kelancaran pembuatan sampel-sampelku. Bahkan terakhir kali aku harus mengulang eksperimen karena ia menyebabkan listrik satu lab mati saat forklift yang dikendarainya menyenggol instalasi listrik di lab. Oh wow. 

Meskipun pekerjaanku memerlukan waktu lebih lama dari orang lain, kuharap dia melihat usaha-usahaku yang tidak sempurna itu sebagai sebuah usaha terbaikku untuk menaklukkan kesangaran perjalanan mendaki menara PhD.

Detik berikutnya, aku bisa melihat penghargaan dari dirinya. 

Karena ia sekarang mulai berceramah tanpa ragu soal proyek terbarunya di Kalbarri, daerah pertambangan, padaku, seolah-olah aku seseorang profesional yang sudah lama dikenalnya dengan baik.

Thank's Dr IC, "There's always a room for improvement"

Perth,