“Monggo mbak, dimakan, kalo perlu dihabiskan, ya” ajak temanku itu sambil menunjuk makanan di meja yang telah ditata rapi. Dengan hati berbunga-bunga, aku memandang dua jenis masakan yang sepertinya membuat perutku semakin keroncongan. Maklum, saat itu aku memang belum makan apa-apa. Sebuah kebetulan yang sangat manis, kan? Saat aku berusaha mengisi piringku, tiba-tiba aku nyaris kehilangan selera makan mendengar lanjutan perkataan temanku, “Soalnya mbak, kalo ga dihabiskan, mau dibuang ajah, abis si abang ga suka makanan yang dianget-angetin.”
Begitulah manusia. Saat banyak pilihan, kalau bisa memilih yang lebih enak lagi, tanpa pikir panjang ia akan menyingkirkan yang lama. Sama dalam kasus temanku ini. Begitu dapat kesempatan untuk memasak berbagai makanan enak dari bahan-bahan segar setiap hari, saat makanan bersisa, eh, malah masuk ke keranjang sampah tanpa pikir panjang. Allah sudah pasti marah pada orang yang suka berlebih-lebihan dan mubazir makanan. Pada kasus temanku tadi, aku jengkel mendengar ketidakdewasaan para suami/istri rewel yang ingin makan masakan baru setiap hari padahal makanan sebelumnya masih ada. Lalu hendak dikemanakan makanan lama itu? Disedekahkan pada ulat-ulat dan binatang pengerat di tempat sampah? Tidakkah mereka berpikir kalau Allah mungkin saja menahan rezekinya, karena mereka sering memubazirkan makanan yang ada? Di mana letak barokah dari makanan itu, kalau sebagian dari mereka akan menghuni tempat sampah?
Membuang makanan di bulan suci
Kebiasaan suka membuang makanan seperti ini ternyata lebih sering terjadi di bulan saat kita diperintah menahan lapar dan hawa nafsu. Dengan alasan menghormati orang yang berpuasa, maka beraneka jenis hidangan pembuka hingga penutup disediakan secara berlebihan. Padahal, kita sendiri mengetahui dengan baik kalau seteguk air dan beberapa suap nasi pada saat berbuka sudah cukup menghilangkan rasa lapar tadi. Akhirnya, bahan makanan yang mahal dan makanan yang dimasak dengan susah-payah lebih sering menghuni isi lemari es, lalu pada akhirnya dibuang saja karena takut kadaluarsa. Di negara kaya seperti Dubai UEA, dikabarkan berton-ton makanan dibuang ke tempat sampah setiap malam karena tidak habis dimakan oleh orang-orang yang berbuka puasa. Bukankah lebih baik, jika uang pembeli makanan tadi disumbangkan pada negara-negara Islam yang miskin dan sedang terkena bencana kelaparan. Toh, niat kita mengagungkan orang berpuasa dan berharap mendapat pahala puasa mereka juga akan didapatkan dengan cara demikian.
Sikap mubazir di negara-negara maju
Negara-negara maju juga terkenal sebagai pembuang makanan terbesar di dunia. Setiap hari penduduk diperkirakan membuang bahan makanan segar dan masakan yang masih layak tanpa merasa bersalah. Padahal kegiatan memproduksi makanan seperti pertanian, industri dan retail menggunakan 70% dari total produksi bahan bakar dunia. Jumlah makanan yang dibuang penduduk duniapun mencapai 8.3 juta ton makanan setiap hari. Kebiasaan membeli bahan makanan secara impulsif lalu disimpan di tempat penyimpanan tanpa pernah digunakan paling banyak berkontribusi pada kegiatan mubazir ini. Aturan dari restoran-restoran kelas atas yang tidak membolehkan pegawainya membawa pulang sisa makanan lezat ikut memperburuk keadaan. Dengan menyesal, setiap hari para pegawai dapur harus membuang dan menyaksikan berbagai jenis hidangan dibuang begitu saja ke dalam tempat sampah.
Jika mau melongok tempat sampah di belakang supermarket, setiap hari tumpukan buah-buahan kelewat matang, sayuran tidak segar dan makanan hampir kadaluarsa menghuni tempat itu. Tidak semua orang bisa mengambilnya dengan alasan keamanan. Kontras dengan keadaan tersebut, sering diberitakan bahwa orang-orang tua para pensiunan malah ada yang kelaparan karena tunjangan pemerintah terlalu kecil untuk memenuhi kebutuhan makanan mereka. Beberapa organisasi sosial di Australia pernah diberitakan mencoba mengatasi hal tersebut dengan mengambil dan mendistribusikan bahan makanan layak dimakan. Beberapa orang relawan berkeliling restoran menjemput makanan yang bersisa setiap hari, maupun memilih bahan makanan yang masih bisa diolah di tempat sampah. Kemudian mereka mengantarkan makanan tersebut ke rumah-rumah panti jompo, orang-orang terlantar maupun mengolahnya menjadi kompos dan pupuk organik. Informasi ini dapat dilihat di situs givenow.com.au (give food) or secondbite.org
Mencoba untuk tidak mubazir
Suatu ketika, nenekku melihat ibu tengah mencuci bekas tempat menanak nasi. Dengan telaten, ibu mengumpulkan bekas-bekas nasi yang jumlahnya hanya segumpal kecil di saringan. Gumpalan kecil nasi bersih itu dimasukkan kembali ke dalam beras yang telah dicuci dan siap ditanak. Nenek sampai terharu melihat sikap hemat ibu tersebut. Toh nasi itu tidak terlihat maupun terasa lagi di dalam tumpukan nasi matang. Sikap demikian dipuji nenek sebagai salah satu sebab seorang hamba akan disayang oleh Allah SWT.
Keahlian menyimpan dan mengolah makanan ini dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak meninggalkan jejak dan bekas lalu dibuang sia-sia. Persis prinsip di rumah makan Padang! Hemat seperti itu bukanlah pelit. Itu namanya ‘elegant economy’, yaitu berusaha menghemat melalui modifikasi yang masih punya nilai manfaat. Untuk tips menghemat bahan makanan dapat dilihat di situs-situs seperti lovefoodhatewaste.com.
Jadi, stop mubazir makanan. Mari kita memasak secukupnya atau secara kreatif mengolah makanan tersisa menjadi makanan baru. Jangan sia-siakan makanan yang begitu sulit ditumbuhkan, diperoleh dan dibeli itu, ya.
Pekanbaru,
No comments:
Post a Comment