Thursday, July 16, 2015

Bertemu NH Dhini


Seri kenangan dari penulis NH Dhini sudah kuikuti sejak tahun 1998. 

'Sebuah Lorong di Kotaku' dan 'Padang Ilalang di Belakang Rumah' adalah buku-buku dari seri tersebut yang kumiliki pada awalnya. Kesengsem dengan cerita-cerita tentang masa kecil, alam, dan perjalanan beliau, aku mulai membeli judul-judul lain yakni 'Langit dan Buku Sahabat Kami', 'Sekayu', dan 'Kuncup Berseri'. 

Pada tahun 1999-2000, aku studi di UK sehingga tidak bisa membaca buku-buku beliau. 

Tetapi, sebelum berangkat ke UK, aku diberi buku 'Djalan Bandungan' oleh seorang teman. Buku itu kubawa ke Manchester sebagai salah satu bacaan penting karena sang tokoh utama melakukan kursus singkat ke Belanda. Cerita sang tokoh sangat cocok dengan spiritku yang baru pertama kali ke Eropa untuk studi. Beberapa poin penting sempat kutulis dalam post berikut. 

Sepulangnya dari Eropa pada tahun 2000, buku 'Kemayoran' telah menantiku. Secara berturut-turut, buku-buku lain berjudul 'Jepun Negerinya Hiroko, 2001', 'Dari Parangakik ke Kampuchea, 2003', dan 'Dari Fontenay ke Magallianes, 2005' diterbitkan. Meski harus menunggu dua tahun sekali (mirip film Trilogi 'Lords of the Ring), cerita perjalanan hidup bu Dhini semakin seru. Aku semakin menikmati tips-tips praktis dan cara pandang bu Dhini. Saat itu beliau sudah pernah tinggal di Jepang, Kamboja, Filipina dan Perancis. Rasanya ingin sekali menetap dan berpindah-pindah negara untuk mengalami sendiri hidup di lingkungan asing dan belajar banyak hal. Kisah-kisah perjalanan beliau ke Vietnam, Hong Kong dan Perancis Selatan juga memicu untuk melakukan perjalanan suatu hari nanti ke negara-negara tersebut.

Saat studi di Australia tahun 2007-2011, aku tidak lupa mengikuti kelanjutan seri kenangan bu Dhini. Keluarga membawakan buku 'La Grande Bourne, 2007', dan 'Argentuil, 2008' yang mulai banyak menyinggung riak dan gelombang dalam pernikahannya, meski cerita-cerita perjalanannya di Perancis dan USA serta pengamatan lapangan tetap menyenangkan untuk diikuti.

Setelah studiku berakhir dan aku pulang ke tanah air pada tahun 2011, buku 'Pondok Baca: Kembali ke Semarang' sudah ada di toko buku. Selama menunggu kelanjutan buku, tahun 2008-2011 aku bisa berpuas hati membaca koleksi tulisan bu Dhini di perpustakaan Curtin University. Tahun berikutnya, bu Dhini melengkapi cerita kepulangannya ke tanah air melalui buku 'Dari Rue Saint Simon ke Jalan Lembang, 2012'. Banyak hal menarik yang beliau alami pada masa reverse culture shock tersebut sempat kualami saat pulang ke Indonesia.

Lama-lama ingin sekali bertemu beliau di Yogyakarta. Aku sudah membuat rencana untuk suatu hari nanti. Tetapi aku tidak pernah perlu datang ke sana. Alhamdulillah, pada akhir Desember 2014, setelah menghadiri Australia Awards Alumni Annual Dinner di Jakarta, aku bertemu bu Dhini sendiri di Bandara Soekarno Hatta. 

Aku tengah melewati kafe di dekat pintu masuk ke terminal keberangkatan. Tiba-tiba mataku menangkap seseorang dengan wajah familiar duduk tenang sendirian di sana. Batinku sempat bertanya, siapakah ibu yang wajahnya seperti sangat kukenal ini? Mendadak aku ingat wajahnya yang ada di cover buku-buku. Lalu aku tersenyum pada beliau dan beliau membalas. 

Tanpa basa-basi aku bertanya, "Maaf, ibu Dhini ya?" 

Ibu cantik itu mengangguk dan tersenyum lebih lebar. Sebenarnya aku malu, barangkali cara bertanyaku kurang sopan. Tetapi aku jauh lebih malu saat beliau mengiyakan aku jadi ingin menangis karena mataku langsung berkaca-kaca begitu melihat bu Dhini. Oh, beginikah rasanya ya ketemu seseorang yang sudah lama ingin kita temui! (Jadi ingat kata Ustadz Kazim, "bagaimana lagi ceritanya kalau kita bertemu dengan Rasulullah SAW di akhirat kelak, pasti lebih tidak tahan untuk menangis keras-keras karena selama ini hanya mendengar tentang beliau, mengenali dan mengikuti ajarannya saja...")

Bu Dhini ingin tahu mengapa aku mengenalinya padahal belum pernah bertemu. Aku cuma bisa tersenyum dan mengatakan bahwa aku ingat foto beliau di buku-bukunya.

Syukurlah bu Dhini tetap tenang dan bercerita bahwa ia baru pulang dari sebuah pertemuan. Aku menerangkan diriku, pekerjaan dan pulang dari kegiatan di Jakarta. Kami berbicara tentang buku terbaru beliau, kemungkinan mengundang beliau ke Pekanbaru (lagi) dan hal-hal kecil lain yang tidak bisa kuingat. 



Kukatakan pada beliau apa yang ingin kukatakan kepadanya sejak aku mengikuti seri kenangan:

a) Tentang diriku yang belajar soal moral, disiplin, keahlian berteman, habit menulis, pandangan tentang kehidupan, dan aneka tips menarik mengenai adaptasi dengan orang asing. 

b) Tentang buku-bukunya yang menginspirasiku untuk bepergian ke luar negeri sembari berlibur, bekerja atau sekolah. Aku berusaha merentangkan kemampuanku dan semangat untuk bisa ikut merasakan dan menikmati pandangan-pandangannya di berbagai negara. Baru-baru ini aku mengunjungi Jerman, Belanda, Dubai, sedangkan sebelumnya pernah ke Saudi Arabia, Tiongkok, Vietnam, Jepang, USA, Kanada, Selandia Baru, serta menetap sebentar di Inggris dan Australia. 

Bu Dhini merasa senang mendengar hal itu. Beliau bersyukur kalau tulisan beliau bermanfaat dan menginspirasi pengembangan diriku.

Sebenarnya beliau sudah mengajarkan banyak hal tentang menjadi 'international citizen' lewat tulisannya. Kemampuan adaptasi di lingkungan asing, kemampuan membuka jejaring, disiplin, produktif, berpikiran terbuka terhadap perubahan dan mampu bertahan dalam situasi apapun (resilience and endurance), tatakrama, kemandirian, dan banyak hal lain. Aku sudah mempertimbangkan dan melakukan mana yang baik untuk kuikuti dan hal mana yang tidak kusetujui. Toh aku sudah dewasa. 

Bu Dhini bilang bahwa buku terbarunya (Dari Ngalian ke Sendowo) akan terbit pada tahun depan (2015). Buku itu baru kudapatkan beberapa hari lalu di Gramedia.

Banyak pertanyaan lain yang ingin kuungkapkan, tetapi aku sudah banyak mengetahui tentang kehidupan beliau dari buku-bukunya. Aku lalu berpamitan, dan membiarkan bu Dhini bersiap-siap untuk berangkat ke gate keberangkatan pesawat ke Semarang. Jika aku bisa memberikan sesuatu yang lebih berarti untuk beliau, pasti akan kuberikan saat itu juga, batinku berkata.

Setelah bertemu langsung, aku merasa lebih mengenal beliau. Beliau seperti seorang budhe dan teman lama yang bijak, dan (mudah-mudahan) akan selalu menemani dengan buku-buku berikutnya dari seri kenangan. 

Pekanbaru,

No comments: