Tuesday, February 9, 2010

Gengsi



Hari ini aku pengen banget ngobrol tentang GENGSI. Soalnya sudah berhari-hari sedang memikirkan sesuatu yang menurutku terjadi karena gengsi. Sebenarnya apa yang mau digengsikan, toh rezeki sudah di tangan Allah. Tapi ya begitu, manusia, malu kalau tidak pasang gengsi.



Beberapa hari lalu aku ketemu mbak-mbak dari Indonesia di pusat perbelanjaan. Karena sudah beberapa kali tiap berjalan ke sebuah toko lalu ketemu, aku jadi tidak enak tidak menyapa.


Setelah basa-basi dikit, aku diberitau jika beliau dan keluarganya masih akan tinggal di Perth sekitar setengah tahun lagi. Soalnya masih harus membantu dosennya mengajar kelas. Biasanya memang banyak Postgrad yang kebagian ngajar kelas atau lab, jadi aku maklum alasan itu. Kemudian beralih ke omong-omong soal tesis dan kapan ngumpulinnya. Menurut mbak tersebut, tesis akan dikumpulkan setelah jadi buku. Disuruh nulis buku sama pembimbing, dan berhubung banyak bab sampe 11 bab, jadi agak lama nyeleseinnya. Akupun sibuk ber-oh, eh, wow, dstnya.


Terus, saat aku tanya untuk kedua kalinya si mbak ambil jurusan apa, si mbaknya bilang, “Oh, yang sekolah itu suamiku, kalo aku sih ga sekolah,”


Bengong ga, tuh? Jadi dari tadi kita ngebicarain suaminya?


Aku pikir, ya aneh juga yang ditanya dari tadi mbaknya kok, tapi kok dijawab mengenai suaminya. Yang paling lucu, semuanya tentang kerjaan suami tapi seolah-olah mbaknya yang sedang sekolah.


Yo wis, lah, mungkin mbak itu agak gengsi kalo ngaku ‘ikut suami’ di sini. Setahuku mbak tersebut sudah bergelar Master juga.


Persis sama yang pernah kurasakan. Sebenarnya aku juga sekolah di sini, tetapi seringkali kalau ketemu teman lama di Facebook, biasanya pada nanya, kok aku tinggal di Australia, lagi ikut suami sekolah ya? Sekali dua kali sih, aku masih bilang, enggak, aku juga sekolah…


Tapi lama-lama, ya ngapain gengsi kalo dikira ikut suami? Toh, kita sebagai istri memang harus selalu ikutan suami kok.


Jadi, kalau ada yang nanya begitu lagi, aku akan jawab, “Iya, mas/mbak, lagi ngikut suami, ni”


Tak perlu ikutan nerangin masalah teknis sekolahnya seperti apa dan tesisnya udah sampai di mana.


Udah pusing ma tesis sendiri, kok.


Kalau kata suamiku tercinta, untuk apa gengsi-gengsian. Enakan adem-ayem, tentrem, ga perlu berantem demi gengsi. Dipikir-pikir, iya juga sih.


Gengsi itu mungkin terjadi karena kita selalu merasa ingin dianggap hebat, paling dulu tau, paling dulu punya, atau jadi sumber rujukan. So, ga asik dong, kalo dianggap kuper, sederhana, tidak trendy atau gaul. Mungkin perlu diingat juga, gengsi itu sebagian dari sombong, menganggap diri sendiri lebih baik dari orang lain. Mungkin juga gengsi keluar karena sikap defensif kita yang tidak ingin diremehkan orang, sehingga perlu untuk menyombongkan diri terlebih dahulu.


Apapun itu, mungkin terima dengan lapang dada sajalah kalau kita memang belum mampu atau belum layak. Rezeki itu kan di tangan Allah, jadi Allah yang menentukan apakah sudah saatnya kita mendapatkannya atau tidak. Jangan gengsian kalau belum sampai di sana, tetaplah berdoa dan berusaha:)



Perth,

Sedang belajar mengurangi gengsi, karena aku toh tak sempurna…