Monday, February 15, 2010

A long way to China

Bulan Oktober 2009 lalu kami berkunjung ke Shanghai menghadiri sebuah konferensi di Tongji University. Benar-benar menarik, karena aku tidak bisa membayangkan seberapa besar ukuran bangunan, jalan, atau transportasi publik di sana. Pastilah huge! Karena itulah China!

Kehebohan perjalanan kami ke China dimulai beberapa bulan sebelumnya. Aku mesti urus tiket di Campus Travel sekitar tiga bulan sebelum berangkat karena aturan Curtin untuk perjalanan business (seperti konferensi), kita perlu menggunakan biro perjalanan resmi dari kampus agar memperoleh asuransi. Selain itu, aku ingin berangkat bareng my hubby, sehingga kami ingin dapatkan tiket murah.

Setelah tiket beres, kita mesti cari visa di Konsulat China. Aku masih pusing soal ini, karena paspor biru (paspor dinas) memerlukan visa atau tidak. Syukurlah ada teman dari Jepang yang memberitahukan bahwa paspor biru tidak perlu visa. Kita cuma perlu membawa surat perjanjian kerja sama China dan Indonesian Government untuk jaga-jaga. Akupun sempat bertanya ke Konsulat China berbekal info yang diunduh dari laman Konsulat China di Jakarta. Oleh karena itu, sekarang hanya my hubby yang datang dengan paspor hijau aja perlu mengurus visa. Prosesnya mudah, datang ke Konsulat China di Brown Street, mengisi form, taruh foto di sana, terus jemput tiga hari kemudian. Biayanya AUD50 kalau waktunya tidak buru-buru.

Benar kan, begitu di bandara Perth, pramugari darat yang mengurus check in bolak-balik menanyakan soal visa dan pasporku ini. Maklum, paspor dinas selalu bikin aku harus sabar menunggu, ditunda bentar, diliatin, etc. So, aku jelaskan kalo berdasarkan surat-surat dari website dan lampiran kerjasama China-Indonesia itu aku tidak perlu visa. Setelah 10 menit menunggu beliau menanyakan pada pihak imigrasi yang berwenang segala, barulah tiket kami diproses. Sabar ya, yang pada pake paspor biru! Kurang privilege kayaknya.

Pesawat Cathay Pasific yang akan kita tumpangi terlambat tiba di Perth. Otomatis, perjalanan kami ke Shanghai tentulah akan ditunda juga. Aku udah panik aja ngebayangin haruskah mengurus sendiri penerbangan lanjutan dari Hongkong ke Shanghai esoknya. Waktu transit hanya satu jam, sudah pasti telat, karena mesti cari gate, antri di imigrasi. Hongkong sama seperti Changi, merupakan airport tempat transit international dan gerbang ke negara-negara Far East, Eropa, Africa dan Asia lain. Tapi karena udah jam 1 malam dan aku ngantuk banget, akhirnya kuputuskan pasrah aja, jika sampai perlu nginep di bandara Hongkong sehari.

Baru duduk di pesawat dan siap untuk take off, kami didekati pramugari yang membawa kertas booking. Ternyata hanya suamiku yang dipesankan moslem meal, sedangkan aku tidak dipesankan oleh ibu agen tour yang sempet bikin kesel itu. Aku kecewa, karena meal seperti itu biasanya tidak selalu ada di fridge mereka. Moslem meal, Kosher (Jews meal), Hindu Vegetarian, kids meal, semuanya disediakan khusus menurut regulasi agama ybs. Ini jadi pelajaran untuk selalu cek semuanya dengan teliti dan tidak menyerahkan apa-apa saja ke orang-orang yang mengurus kita. Syukurlah mereka masih punya stok vegetarian Hindu yang penuh kari sayuran. Selama halal, aku ga keberatan.

Pesawat Airbus A330 Cathay ini super keren (maklum,orang kampung). Tadinya aku terheran-heran liat Business Class yang super nyaman karena bisa selonjoran. Ternyata punya kita ga terlalu buruk. Ada screen individual di depan kursi, lengkap dengan bantal dan selimut. Lebih gembira lagi karena penerbangan malam itu cukup sepi, maka aku dan mas bisa dapatkan empat kursi jejer gratis! Keren banget! Bisa tidur selonjoran juga nih, tiket ekonomi tapi fasilitas bisnis! Dua screen, dua selimut dan dua bantal untuk tiap orang... hehehe. Jadi ga enak ma bule-bule di samping kita yang cramming di tempat duduk mereka. Oya, tempat duduknya nyaman banget, ada tempat kepala, terus kursinya bisa distel turun dan tempat duduknya memanjang. Awesome!

Pagi-pagi setelah ngetem bentar di toilet, aku shalat shubuh di pesawat. Terus kuperhatikan my hubby ga tidur-tidur, apa ga pusing? Astaga, beliau udah nonton 3 film sekaligus tanpa capek? Lagi-lagi pas sarapan, aku dapat menu vegetarian (kononnya, tapi kok ada salami di salad?). Mbak pramugari berusaha membantuku merubah booking form, supaya dalam perjalanan kembali ke Perth aku dapat moslem meal. Thank you banget, mbak Kim Jo!

Sesampainya di Shanghai, kita harus buru-buru ke gate. Manajemen Cathay Pasific bagus banget, walaupun telat, mereka langsung menyediakan boarding pass kita. Jadi semua yang ada penerbangan lanjutan ke Tokyo, London, US, Shanghai, Taiwan, etc, tinggal ambil boarding pass dan cabut ke gate masing-masing. Sambil buru-buru mencari gate, kita mesti lewatin entry point tertentu. Di sini jangan salah, karena waktu mepet, antrian masuk panjang, jadi mesti lihat dulu masuknya dari mana. Kalau balik lagi kadang sudah tidak bisa. Hiks!

Begitu sampai di gate, kita udah ditunggu bis ke pesawat Dragon Air. Wuih, masih nge bis nih? Dengan lari-lari agak sutriss, aku dan hubby naik ke shuttle gede. Seperti waktu di Jeddah, masih pake shuttle aja ke pesawat. Sayang, kita tidak sempat melihat Hongkong yang terkenal itu. Aku cuma sempet liat dari pesawat kalo Hongkong dikelilingi perbukitan dan banyak gedung-gedung tinggi. Mungkin satu hari, janji kami berdua, kita akan mampir di Hongkong.

Lagi-lagi, menunya masih belum ditukar juga. Kata beliau, kalau mesen meal khusus itu, at least 72 hours before departure. Ya sudahlah, aku makan aja salad dan menu vegetarian lagi. Desertnya es krim Haagen Dazs! Yum, jarang-jarang di pesawat dapet es krim mahal. Emang keren, nih, penerbangan ke China. Setelah itu tanpa kusadari, aku dan hubby udah ketiduran, karena perjalanannya sekitar 2.5 jam dari Hongkong ke Shanghai.

Begitu menjejakkan kaki di bandara Pudong, Shanghai, kita langsung heran. Bandaranya guedeee banget, dan kita jalan berkilo-kilo meter, upps, mungkin hampir sekilo meter untuk masuk ke custom. Sampai di custom, tempat antriannya puanjanggg banget, bukan yang ngantri, tempat antrinya doang. Aku ga kebayang kalo bandara lagi rame! Bisa berapa juta orang dilayani dalam sehari? Begitu sampe deket antrian itu, kami masih harus revisi form masuk dan kesehatan dari imigrasi, jadi yang terakhir masuk ke custom. And... no problem ma pasporku, soalnya paspor dinas bukan barang aneh di China. Yippie!

Perjalanan belum berakhir, masih harus ambil koper dan melewati scanner. Alamak, semua super jumbo di China! Conveyor beltnya, kalo di Perth, kecil banget (apalagi di Pekanbaru), wah, kalo di sini, gede-gede banget! Sampe koper kita yang cuman tinggal dua biji itu muter-muter lama satu putaran. Kita masih excited, ecstatic, terutama saat jalan ke stasiun Maglev.


Kita berencana naik Maglev dari airport ke Longyang Rd Station. Kapan lagi... yang jelas semua transportasi aneh-aneh dunia mesti dicobain satu-satu. Karena kami tinggal cuman 7 hari, aku dan hubby putuskan ambil return ticket yang expired minggu depan seharga 80 Yuan. Belinya pake bahasa Inggris aja, toh di depan loket ada microphone kecil, jadi mereka bisa dengar dengan jelas apa yang kita mau. Tempat nunggunya juga penuh, seru, rame dengan berbagai macam orang yang foto-foto di depan poster maglev. Kita tidak bisa nunggu di samping rel, seperti naik train di Perth. Mungkin untuk alasan keamanan, jadi begitu Maglevnya datang, kita baru dipersilakan masuk. Sayangnya ga ada akses untuk koper, mesti angkat sendiri lewat elevator. This is China, jadi pastikan, hati-hati saat berdesakan, sabar dengan antrian panjang, dan be careful, copet!

Wow, begitu melihat maglev, kita kembali excited. Kita cepat-cepat masuk dan cari tempat duduk. Ada tempat bagasi juga, jadi barang tinggalin aja di sana. Berdebar-debar juga naik Maglev ini. Mana ga ada seat belt lagi. Padahal katanya saat siang hari, kecepatan maksimumnya sampe 432 km/h. Aku masih had no idea seberapa cepat si Maglev ini berjalan, jadi masih berharap betul-betul impressive. Begitu jalan... alamak! Apalagi pas mulai berjalan miring dan menambah kecepatan sampe 430 km/h, dan pas lagi kenceng gitu papasan ma Maglev lain, lagi! Kupikir ada tabrakan! Kenceng banget suaranya! Jederrr!!!

Perjalanannya ga lama, cuman 10 menit gitu dengan jarak tempuh 30km dari airport-Longyang Station. Kita langsung keluar mo nyari taxi ke Magnolia Hotel di Siping Rd dekat Tongji University. Tetapi, masih sempet juga foto-foto berlatar belakang stasiun Maglev sebelum nyari taxi.

Di tempat antrian taxi, begitu melihat taxi yang katanya bagus seperti blue bird, berwarna toska, kita buru-buru nyamperin drivernya. Aku sudah siapkan tulisan bahasa China, yang isinya ”Mr Driver, please take me to... ke nama dan alamat hotel”. Semua itu dapatnya di website hotel. So, supir taxi kita langsung paham, walopun kita ga bisa omong Chinese language.

Saat di taxi, pemandangan yang dihamparkan begitu berbeda dengan tempat kita tinggal. Padat, penuh orang naik sepeda, tapi banyak mobil bagus, bis, di kiri-kanan penuh apartment, rumah, pemukiman, sayang semuanya kelabu berdebu. Memang di sini, tingkat polusi udaranya tinggi sekali. Pohon-pohon aja berwarna hijau kotor. Udaranyapun ga bersih seperti saat Pekanbaru penuh asap. May be it is not a nice day!

Setelah muter sana-sini, lewatin jembatan gede, berbagai persimpangan, etc, akhirnya kami sampai di Magnotel, Sipping Road, dekat Wujiaochang Commercial Area. Aku sempet panik, kok Magnotel? Bukannya Magnolia Hotel? Eh, ternyata itu singkatannya. Lumayan, dari Longyang ongkos taxi sekitar 50Yuan, dan bisa minta receipt, walo tadinya drivernya ga ngerti aku minta apa. Tapi terus dia tunjukin mesin receiptnya dan print-print... eh, kita berdua sama-sama gembira, karena dia paham aku minta receipt. Ada-ada saja...

Hellow... kataku begitu masuk ke hotel. Seperti hotel-hotel lainnya…

Tapi, hey, we’re in China!

Perth,
Wanna see China again!