Tuesday, November 30, 2010

Ke New Zealand kami bertualang (bagian 2: Drama Amazing Race)


Sabtu, 7 November 2010

Pernah terpikir olehku, mungkin jadi peserta Amazing Race itu menyenangkan kali ya, karena dapat keliling dunia gratis. Walau gratis, tetapi kalau tidak dapat bekerja sama dengan partner mengatasi persoalan dalam situasi tertekan bisa-bisa regu kita berantakan. Siapa tau berbekal suka bikin jadwal perjalanan, hobi jalan-jalan, tak takut tantangan, berdua dengan hubby yang pintar mencari rute serta easy going begini, suatu hari nanti kita bisa ikutan. Amin. Heheh, mimpi melulu! Akibat pernah ngimpi seperti itu, aku dan hubby jadi sempet ngalami Amazing Race leg Perth-Melbourne-Christchurch. Ceritanya begini...

Pesawat Jetstar Perth-Melbourne yang telah dijadwalkan berangkat pukul 22.40pm belum tiba juga di bandara domestik. Tak usah ditanya reaksi penumpang lain. Sudah kupastikan mungkin akulah orang yang paling gelisah di antara mereka semua. Pada penerbangan Perth-Melbourne ini, setidaknya kami sudah harus tiba di terminal internasional Melbourne-Tullamarine pukul 7am keesokan harinya. Pesawat yang membawa kami ke Christchuch akan berangkat pukul 8.30am. Bikin stress.

Baru sekitar pukul 1am pesawat yang membawa kami ke Melbourne berangkat. Melegakan juga saat kapten pilot mengatakan akan mencoba ngebut untuk mengganti waktu yang hilang karena penundaan tadi. Saking tak kuasanya menahan kantuk, aku langsung tertidur pulas beberapa jam. Saat terbangun dan melihat jam, cukup lega rasanya karena masih ada waktu 1.5 jam sebelum pesawat ke Christchurch berangkat.

Tetapi, rasa tenang kami tidak bertahan lama.

Tampaknya drama Amazing Race sudah mau dimulai nih.

Begitu turun di Tulla airport, pesawat malah berputar-putar dulu mencari tempat parkir.

Betul-betul seperti sebuah drama yang membuat panik. Saat pesawat sudah parkir, eh, awak kabinpun memerlukan waktu sekitar 5 menit untuk membuka pintu pesawat. Setelah terbuka, aku langsung terhalang semua penumpang di depan yang ingin segera ke luar pesawat. Syukurlah nyonya tua di sampingku yang mengerti situasi kami mempersilakan kami ke luar lebih dahulu sambil menghadang penumpang di belakangnya.

Kamipun mulai berlari kencang sambil berseru-seru, ‘Excuse me, excuse me,” menyusuri koridor kedatangan, berusaha mencari terminal internasional.

Bersama hubby, aku membuat rencana untuk dapat check-in di counter. Aku akan berlari menuju counter check-in, sedangkan hubby berlari juga dong, mengambil barang-barang kami di carousel. Terminal domestik dengan terminal internasional untuk Jetstar letaknya memang bersebelahan. Tetapi dalam situasi abnormal seperti ini, kami mesti berbagi tugas di dua tempat agar semua tidak ditinggal pesawat.

Walaupun aku telah pernah mengamati peta bandara Tullamarine, aku tetap kesulitan menemukan pintu koneksi terminal domestik dan internasional.

Tiba di counter Jetstar terminal internasional, saat check-in aku berusaha menerangkan kalau bagasiku sedang diambil oleh hubby. Tak lama hubby menelpon soal barang yang belum keluar dari carousel.

Para ground hostess mengatakan kalau mereka harus menutup counter beberapa menit lagi. Jika barang tak dapat dimasukkan, maka barang bisa ditinggal dan dikirim esok ke Christchurch. Pilihan kedua, kami bisa berangkat besok ke Christchurch bersama barang tadi. Wah, aku tak tahu keputusan apa yang harus diambil. Tetapi, yang pasti, memang baranglah akan menyusul, karena aku malas mengurus penginapan di Melbourne.

Aku mondar-mandir tak sabar. Di mana hubby?

Tiba-tiba seorang mas OZ berkaos merah yang kuketahui satu pesawat denganku dari Perth datang menyeret kopernya menuju counter check in yang sama.

“That's him!” Seruku girang!

Si petugas Jetstar bertanya sambil memperhatikan si mas tadi, “your husband?”

“Oh no”, jawabku tertawa lebar. Bukan, bukan, ini orang yang sepesawat denganku. Berarti barangnya sudah keluar dan suamiku tak jauh di belakang.

Di belakang orang itu ada seseorang lain datang mengantri. Tak pernah aku sebahagia itu melihat orang mengantri, karena mudah-mudahan masih ada waktu ekstra sehingga tas kami bisa tepat waktu sampai di counter.

Tak sabar menunggu, akupun pamit mau menyusul hubby sebentar yang siapa tau nyasar terminal.

Baru beberapa detik berlari ke arah terminal domestik, aku bersorak girang melihat hubby membawa troli berisi tas-tas kami. Kamipun mendorong troli berisi tas menuju counter Jetstar dengan kecepatan sangat luar biasa. Dengan tersenyum lebar, mungkin lega, si mbak tadi mengambil alih barang-barang kami.

That's it, dengan masuknya ketiga tas tadi, mbak tersebut langsung menutup counter sambil mengingatkan kalau boarding tinggal 20 menit lagi.

Hellow, 20 menit? Tampaknya aku dan hubby masih harus berlari ke gate untuk boarding.

Drama kedua pun... dimulai!

Bismillah, bismillah... aku berseru-seru dalam hati. Kami langsung masuk antrian panjang itu sambil mengisi form keberangkatan dari Australia di meja. Aku menulis secepat-cepatnya dan setepat-tepatnya lalu ikut bergeser dalam antrian. Tak peduli kartu tersebut berisi informasi kami dengan tulisan compang-camping.

Selesai di petugas imigrasi, kami kembali berlari kencang mengikuti papan penunjuk arah Gate 33. Tapi setelah sampai di sana, kok hanya sampai Gate 31, mana 33 nya?

Akupun diserang rasa panik tak keruan, karena mengira waktu mungkin tinggal sekitar 5 menit lagi untuk boarding.

Keep running ke depan, seruku mengomando.

Drama Amazing Race benerrr...

Alhamdulillah, tak lama berlari ke arah depan, penunjuk arah Gate 33 akhirnya muncul.

Yes, aku dan hubby menyerbu Gate tersebut menuju ke barisan beberapa orang yang tampaknya siap untuk boarding.

“Christchurch?” tanyaku panik pada petugasnya.

“Not yet” jawab si mbak, yang sudah sempat mengenaliku lagi.

“This one goes to Wellington. Will call you later, ok?”

Aku dan hubby langsung speechless, merasa lega, setelah tidak pernah tenang dari tadi malam.

Huahaha, we made it! Kita tidak jadi ditinggal pesawat!

“Kok kita kayak seperti sedang ikutan game itu ya,” kata hubby, mungkin teringat sesuatu.

“Amazing Race,” kataku sambil tertawa lebar tak peduli wajahku yang kusut, belum sikat gigi dan belum sarapan pagi.

Siapa yang tidak histeris nyaris ditinggal pesawat, padahal murni bukan salah kita sebagai penumpang. Sayangnya, kita tidak sedramatis orang-orang di AR yang kalau berhasil bisa langsung berpelukan gembira.

Leganya... Alhamdulillah, karena bisa berangkat hari ini dengan semua perlengkapan berlibur kami ke New Zealand.

Perth,