Sunday, July 1, 2012

Saat kebaikan tak dihargai orang



Sahabatku, orang yang suka menolong, telah dicerca karena sebuah maksud baiknya. Dengan sedih ia menuturkan bahwa ia dituduh lancang telah mengumpulkan donasi tanpa seizin atasan dan persetujuan teman-teman. Sedang diriku hanya bisa mengurut dada saat seseorang menuduhku bak ‘pahlawan kesiangan’. Aku dan tim dianggap hanya ingin mendapat nama setelah kegiatan yang kami bantu telah terlaksana.

Sebenarnya, apa yang dicari manusia saat ia melakukan sesuatu? Ketenaran? Kekayaan? Kepuasan batin? Masalahnya, orang sering lupa bahwa apapun yang dilakukan hendaklah semata-mata karena mengharap pahala Allah. Kalau niatnya jadi yang lain-lain, itulah sebabnya jadi gampang sakit hati saat kebaikan dibalas dengan ‘tamparan menyakitkan’.

Sahabatku yang dituduh mengorganisir sesuatu tanpa persetujuan atasan dan kolega, sebenarnya ingin mempermudah pekerjaan semua orang. Tentu saja ia meminta persetujuan teman-teman yang berkaitan dengan hal tersebut, karena toh, beberapa orang dengan sukarela mengeluarkan biaya urunannya. Hanya karena ulah dan perkataan segelintir orang yang tidak mau mengeluarkan uang untuk keperluan makan-makan sajalah yang telah mengacaukan semuanya. Kegiatan itupun dibatalkan, uang dikembalikan dan hati terluka harus disembuhkan.

“Kadang maksud baik itu memang sulit diterima orang lain,” kata senior kami. Apalagi hati sempit dan pikiran picik yang menyebabkannya. Jadi tak heran, hal-hal kecil bisa jadi besar, dan memakan korban orang-orang yang tulus dalam bekerja.

Soal ketulusan bekerja ini juga bisa menjadi bumerang tersendiri bagi diriku baru-baru ini. Aku dan tim telah berusaha mengerjakan tugas dari atasan yang melibatkan pihak lain tanpa pikiran imbalan, nama atau reputasi. Tadinya tugas itu sama sekali tak kusukai, tetapi lambat-laun aku bisa menerimanya demi Allah. Sayangnya, setelah energi dan sumber daya kami habis, begitu kegiatan berakhir aku harus menelan pil pahit saat mulut busuk seseorang menuduh kami sebagai ‘pahlawan-pahlawan kesiangan’~ yang ingin mendapat nama setelah semuanya berakhir! Kejam nian orang yang berpikiran demikian. Bahkan, sungguh terlalu saat ia bisa mengucapkannya kepada orang lain tanpa berpikir.

Belajar dari kedua kasus itu, sekarang aku harus belajar (lagi-lagi) meluruskan niat dalam melakukan sesuatu. Masalahnya, saat masih terbetik rasa ‘sakit hati’ meskipun sebesar atom, maka sulit bagi aku dan sahabat untuk mendapatkan pahala dari Allah. Dalam hati, mungkin masih ada ‘rasa ingin dihargai’ oleh orang lain. Sehingga saat mereka tidak menerima atau menuduh yang bukan-bukan, kok masih ada rasa kecewa dalam hati. Lagipula aku harus belajar lagi, bahwa masalah-masalah sepele seperti ini jangan sampai menggerogoti keteguhan dan kekuatan hati yang telah kubina sejak lama. Baca lebih lanjut dalam 'Nulung malah kepenthung'.

Maka dari itu, tarik nafas, dan berniatlah agar segala sesuatu yang dilakukan hanya untuk mengharap pahala dari Allah, dan bukan untuk penghargaan dari manusia.

“Selama Allah masih melihat dan mengetahui kebaikan yang dilakukan, serta mengetahui keutamaan yang diulurkan, maka janganlah mengharapkan pujian dari orang lain.”  (p.98, La Tahzan, Dr ‘Aidh al-Qarni).

Pekanbaru,

No comments: