Hari itu aku bertemu mbak J dalam kegiatan praktikum. Kegiatannya tidak sulit, cuma mengawasi mahasiswa mengadakan eksperimen, menjawab pertanyaan mereka dan memberikan nilai. Pekerjaan ini menarik, karena sambil bekerja, kita juga bisa membaca bahan-bahan riset atau sekedar ngobrol dengan sesama pembimbing.
Biasanya omong-omong dimulai dengan saling berkabar soal riset, supervisor ataupun keluarga. Tapi saat itu mbak J kok sepertinya jadi menggelar 'dagangan' beliau, maksudku, 'gossipan' terhot dari seputar kehidupan teman-teman Indo di Perth.
Mataku terbelalak, feeling a bit excited, soalnya aku memang tak pernah gaul dengan banyak orang di sini. Satu-satunya temanku ya, si hubby, sesekali Mareese dan beberapa orang untuk say hello serta memberi semangat.
Jiwaku bergetar, cieee... soalnya dah lama tak omong-omong tentang orang lain, apalagi kok yang dibicarakan sungguh mesakne kisahnya. Me-sak-ne, mungkin diartikan 'menyedihkan' saja. Mbak J mulai mengupas selapis demi lapis isu-isu mengenai orang tersebut dengan penuh semangat. Aku terpukau mendengarnya. Sesekali aku menyelingi dengan berbagai komentar, yang menurutku cocok dengan ulasan mbak J.
Mbak J pun memulai isu demi isu dengan 'katanya', terus 'katanya', plus sedikit analisis mengenai hal tersebut sebelum memulai dengan 'katanya' yang lain lagi.
Tiba-tiba, hik! aku mengucap dalam hati. Astaghfirullah... apalagi setelah tersadar bahwa tanggapanku cukup menggeneralisir suatu fakta tanpa memberikan alasan logis di balik semua itu. Cuma tanggapan doang, pikirku dengan gelisah. Tapi kok mbak J jadi begini seru mengulang-ulang point gossipannya lalu menghubungkan dengan tanggapanku.
Aku kembali tidak enak hati, apalagi setelah 'katanya-katanya' yang kutau harus dikonfirmasi dengan obyek bersangkutan. Apa benar seperti itu, atau cuma khayalan penggosip sebelum mbak J atau semua ini jadi satu tanpa ada yang mau membuktikan keabsahannya.
Syukurlah setelah beberapa saat mbak J tidak meneruskan ceritanya. Mungkin sudah abis atau karena aku telah lama diam tidak menanggapi.
Astaghfirullah. Kalaulah mbak J bercerita tentang orang tersebut demikian fasihnya, bukan tidak mungkin tanggapan-tanggapan tidak logisku tadi bisa diakumulasikan dan diceritakan kembali ke orang lain dalam bentuk cerita yang lebih kaya dari versi awalnya. Hiii, aku mendadak ngeri sendiri.
Kengerianku terbukti saat keesokan harinya aku bertemu teman mbak J yang mencoba mengkonfirmasi isi gossipanku dengan mbak J sebelumnya. Saat kutanya kira-kira apa yang ingin dibicarakan, dengan tersenyum lebar, orang itu mengungkapkan betapa senangnya dia mengetahui info hot walaupun hanya sepersekian isi tanggapanku kemarin. Mataku kembali terbelalak, menyadari betapa besarnya kesalahanku menyebarkan spekulasi yang dianggap menarik dan disebarkan tanpa disaring lagi oleh mbak J dalam waktu hanya semalam!
Aku merasa semakin bersalah.
Tadinya aku sudah belajar untuk stop menjadi penggosip amatir, tapi kok hari ini jadinya malah aku lebih buruk dari seorang penggosip kaliber nasional. Aku malu pada Allah. Bukankah penggunjing atau penggosip itu sama dengan menceritakan keadaan orang lain yang bila ia ketahui tentu dia tidak menyukainya. Walaupun kita tidak menyukai orang tersebut, kita tetap diberi amanah menyimpan rahasianya yang tidak ingin diketahui oleh orang lain.
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang (QS 49:11-12).
Sambil berpura-pura mau mengecek buku terbaru di lantai tiga perpustakaan, aku tinggalkan teman mbak J yang terlihat antusias ingin mengkonfirmasi isi gosipan tadi.
Hmmh, kurasa, lain kali, aku harus lebih cerdas untuk tidak mengungkit-ungkit kabar-kabar orang lain yang menggelincirkan kami ke dalam ghibah dan berakhir dengan mendapat laknat Allah.
Astaghfirullah...
Perth,
sorry mbak J, yuk kita sudahi acara rumpi-rumpi ini.
Biasanya omong-omong dimulai dengan saling berkabar soal riset, supervisor ataupun keluarga. Tapi saat itu mbak J kok sepertinya jadi menggelar 'dagangan' beliau, maksudku, 'gossipan' terhot dari seputar kehidupan teman-teman Indo di Perth.
Mataku terbelalak, feeling a bit excited, soalnya aku memang tak pernah gaul dengan banyak orang di sini. Satu-satunya temanku ya, si hubby, sesekali Mareese dan beberapa orang untuk say hello serta memberi semangat.
Jiwaku bergetar, cieee... soalnya dah lama tak omong-omong tentang orang lain, apalagi kok yang dibicarakan sungguh mesakne kisahnya. Me-sak-ne, mungkin diartikan 'menyedihkan' saja. Mbak J mulai mengupas selapis demi lapis isu-isu mengenai orang tersebut dengan penuh semangat. Aku terpukau mendengarnya. Sesekali aku menyelingi dengan berbagai komentar, yang menurutku cocok dengan ulasan mbak J.
Mbak J pun memulai isu demi isu dengan 'katanya', terus 'katanya', plus sedikit analisis mengenai hal tersebut sebelum memulai dengan 'katanya' yang lain lagi.
Tiba-tiba, hik! aku mengucap dalam hati. Astaghfirullah... apalagi setelah tersadar bahwa tanggapanku cukup menggeneralisir suatu fakta tanpa memberikan alasan logis di balik semua itu. Cuma tanggapan doang, pikirku dengan gelisah. Tapi kok mbak J jadi begini seru mengulang-ulang point gossipannya lalu menghubungkan dengan tanggapanku.
Aku kembali tidak enak hati, apalagi setelah 'katanya-katanya' yang kutau harus dikonfirmasi dengan obyek bersangkutan. Apa benar seperti itu, atau cuma khayalan penggosip sebelum mbak J atau semua ini jadi satu tanpa ada yang mau membuktikan keabsahannya.
Syukurlah setelah beberapa saat mbak J tidak meneruskan ceritanya. Mungkin sudah abis atau karena aku telah lama diam tidak menanggapi.
Astaghfirullah. Kalaulah mbak J bercerita tentang orang tersebut demikian fasihnya, bukan tidak mungkin tanggapan-tanggapan tidak logisku tadi bisa diakumulasikan dan diceritakan kembali ke orang lain dalam bentuk cerita yang lebih kaya dari versi awalnya. Hiii, aku mendadak ngeri sendiri.
Kengerianku terbukti saat keesokan harinya aku bertemu teman mbak J yang mencoba mengkonfirmasi isi gossipanku dengan mbak J sebelumnya. Saat kutanya kira-kira apa yang ingin dibicarakan, dengan tersenyum lebar, orang itu mengungkapkan betapa senangnya dia mengetahui info hot walaupun hanya sepersekian isi tanggapanku kemarin. Mataku kembali terbelalak, menyadari betapa besarnya kesalahanku menyebarkan spekulasi yang dianggap menarik dan disebarkan tanpa disaring lagi oleh mbak J dalam waktu hanya semalam!
Aku merasa semakin bersalah.
Tadinya aku sudah belajar untuk stop menjadi penggosip amatir, tapi kok hari ini jadinya malah aku lebih buruk dari seorang penggosip kaliber nasional. Aku malu pada Allah. Bukankah penggunjing atau penggosip itu sama dengan menceritakan keadaan orang lain yang bila ia ketahui tentu dia tidak menyukainya. Walaupun kita tidak menyukai orang tersebut, kita tetap diberi amanah menyimpan rahasianya yang tidak ingin diketahui oleh orang lain.
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang (QS 49:11-12).
Sambil berpura-pura mau mengecek buku terbaru di lantai tiga perpustakaan, aku tinggalkan teman mbak J yang terlihat antusias ingin mengkonfirmasi isi gosipan tadi.
Hmmh, kurasa, lain kali, aku harus lebih cerdas untuk tidak mengungkit-ungkit kabar-kabar orang lain yang menggelincirkan kami ke dalam ghibah dan berakhir dengan mendapat laknat Allah.
Astaghfirullah...
Perth,
sorry mbak J, yuk kita sudahi acara rumpi-rumpi ini.