Friday, February 4, 2011

Wanita dan persaingan


Sering baca soal ini di kolom wanita bekerja, atau mengamati hal ini terjadi pada ibu-ibu yang ngumpul bareng di arisan? Annoying ya? Tapi, diam-diam dalam hati, pernah melakukannya, kan? Nah, welcome to our small competitive world, ladies!

Wanita-wanita, kata para pria, so complicated!

Di depan teman baik, perhatian, ramah, eh, di belakang, belum juga buka pintu pagar (emang dari mana?) sudah langsung tet, tet, tet... ngerumpiin si teman tadi! Gila amat, berubah ratusan derajat isi omongan. Bukannya tadi saling menyayangi, tapi di belakang, koq gini?

Jadi inget film Desperate Housewives nih. Bener-bener mencerminkan wanita dan persaingan!

Kata para ahli, persaingan itu memang masalah klasik manusia. Tidak pria, tidak wanita, semuanya bersaing ketat soal simbol status, suami/istri, karir, latar belakang akademis, atau kecantikan. Jadi, sebenarnya, apa moralnya bersaing ini ya?

Persaingan, terutama antar wanita, itu sebenarnya suatu cara untuk mengukur kesuksesan diri sendiri. Karena, dengan memandang orang lain lebih rendah maka, hal ini akan membantu para wanita kompetitif tadi meningkatkan rasa percaya diri mereka. Misalnya dengan mengatakan ‘anak saya pintar juga ya...’ maksudnya diam-diam mo bilang ‘siapa dulu, mak-nya, yang lebih pintar dong!’.

Halah, ibu-ibu banget ya! Makanya para wanita tadi sibuk saling mengukur soal tingkat kecerdasan, isi kantong suami, bekerja atau tidak bekerja, liburan ke luar negeri atau dalam negeri, pakai nappies yang mana, belanja di warung atau supermarket, baju butik atau gerai dalam pasar. Rasanya familiar, kan? Itu hanya sebuah cara untuk menenangkan diri mereka, kalau mereka oke, mereka keren karena pakai baju keluaran butik (iyyy) dan tidak ketinggalan zaman, kalau bisa lebih bagus dari wanita lain.

Kalau diperhatikan baik-baik, sebenarnya semangat kompetitif ini berawal dari rasa kurang puas terhadap diri sendiri. Entah ada sesuatu yang membuat para wanita tadi merasa kurang dari dirinya, seperti terlalu kurus, kurang fashionable, merasa tidak gaul, tidak cukup pintar, tidak S2/S3 atau punya suami kaya. Jika bertemu orang dengan kelebihan yang ingin mereka miliki, secara tidak langsung si wanita kompetitif merasa si orang tersebut sebagai sebuah ancaman bagi dirinya. Timbullah rasa iri dan dengki, jenis emosi negatif yang ternyata tidak membantu mereka menyelesaikan masalah. Malah membuat mereka semakin terobsesi ingin melebihi orang yang menjadi obyek rasa iri tadi. Kadang-kadang mereka membuat keputusan aneh, misalnya membeli barang yang lebih bagus, ikut klub fitness mahal, menyekolahkan anak di tempat bergengsi, sampai melakukan hal-hal yang dilakukan si teman tetapi diusahakan supaya lebih luar biasa atau lebih spektakular! Ada juga yang melakukan berbagai hal-hal aneh seperti marah-marah ga jelas, tak rela berbagi ‘isi rumpian’ mereka dengan kroninya, melarang si teman yang bikin iri melakukan sesuatu atau menyombongkan diri padahal ga ada yang nanya atau lagi menyinggung hal tersebut.

Very, very strange, indeed!

Tak cuma itu, sering sekali sebagai sesama wanita kita menggunakan cara kompetisi yang cukup ‘kotor’. Maksudnya, para wanita kompetitif cenderung passif-agresif, yakni mencoba ‘merobohkan’ lawan dengan gosip, sabotase atau pengucilan. Maka, jangan heran, Amanda di sinetron Betty~ selalu meluncurkan aneka serangan kepada Betty nyaris tiap saat, agar pamornya sebagai seorang resepsionis tidak kalah dari Betty yang nyentrik tetapi asisten pribadi boss besar. Sebab itulah para wanita dinilai lebih ‘kompleks’ dari pria dalam persaingan. Jika para pria berkompetisi dengan cara yang agresif, langsung terlihat dan dirasakan, para wanita sering membuat orang lain seperti tertohok dari belakang.

Familiar gag?

Ok, para wanita kompetitif di luar sana, don’t worry, lah! Coba gunakan terminologi ‘kompetisi, atau kompetitif’ dengan lebih bijaksana.

Seharusnya kita mau belajar membandingkan diri dengan orang yang di bawah kita, agar kita merasa bersyukur. Sedang berusaha membandingkan dengan yang lebih di atas kita, supaya kita lebih rajin berusaha.

Tetapi, kalau membandingkan dengan ‘yang lebih’, jangan pake ekstra ingin menyingkirkan atau membunuh karakter mereka sekalian, dong.

Percaya diri saja, karena ‘we are doing the best we can, and we can do better’... yang bisa membuat diri kita lebih empati pada orang lain dan meletakkan rasa motivasi di tempat yang benar.

Sst, jauhi sikap kompetitif berlebihan tadi, karena secara tidak langsung hal itu menunjukkan ‘siapa diri kita’ sebenarnya.

Perth,
Diadopsi dari ‘The truth about female competitiveness’, STM, March 28, 2010.
Image from dawgsports.com