Thursday, February 24, 2011

Belajar dari Jessica Watson

Umur 15 tahun, kelas 3 SMP, saat itu aku sedang menikmati dunia glamour menjadi penyanyi dan aktivis kesenian di sekolah. Tiada hari tanpa suka-suka, hingga di akhir tahun ajaran aku diajak teman masuk Pesantren Kilat yang mengubah hidupku. Anyway, aku sedang membandingkan diriku dengan Jessica Watson yang saat berumur 15 tahun sibuk mencari dana dengan menelpon sponsor agar mimpinya menjadi pelaut tunggal berlayar solo keliling dunia menjadi kenyataan!

Itulah hebatnya cita-cita. Ia seperti membakar jiwa tiap orang, layaknya rumput kering dibakar api tanpa henti. Jessica Watson, berusaha membuktikan kalau tiap individu, terlepas dari keadaan diri mereka, sebenarnya mampu berbuat sesuatu yang besar. Setiap orang mampu mencapai cita-cita mereka, asalkan mau berusaha (dan berdoa, tentunya). Berkat bantuan orang tua, sponsor dan mentor-mentor ahli, pada bulan May 2010, Jessica berhasil mencapai garis finish (Sydney), disambut ribuan orang dan perdana menteri saat itu, Kevin Rudd. What a great achievement for 16 years old! Biarpun ia tidak mendapatkan gelar ‘pelaut termuda yang mengelilingi dunia’ karena jarak tempuh yang kurang dari persyaratan, semua orang tetap mengapresiasi usahanya.

Saat pertama kali Jessica mengungkapkan keinginannya untuk berlayar keliling dunia sendirian, orang tuanya sudah mulai mengalami kesulitan untuk menghentikan niat ‘ajaib’ tersebut. Daripada membiarkannya kecewa karena keinginannya tidak tercapai, orang tua Jessica akhirnya memilih untuk membantunya dari nol, seperti mengawasi pekerjaan pembuatan kapal yang akan dipakainya. Ibu Jessica turun tangan setiap hari untuk memastikan bahwa Ella Pink Lady, si kapal, dibuat sesuai kebutuhan serta memiliki peralatan mutakhir untuk membantunya berlayar sendirian. Siapapun bisa melihat dan merasakan kesungguhan Jessica dalam mempersiapkan segala-sesuatu untuk pelayaran perdananya itu. Ia tidak segan bernegosiasi dan berunding dengan para ahli, seperti layaknya seorang dewasa yang bertanggung jawab atas sebuah proyek.

Jessica sempat melaksanakan pelayaran percobaan sendiri sebelum pelayaran sebenarnya. Baru beberapa saat berlayar, kapalnya mengalami kecelakaan yang mengundang komentar negatif dan celaan termasuk dari Premier Anna Bligh dan ahli pelayaran. Semua komentar yang datang tidak ditanggapi dengan kecil hati oleh Jessica. Iapun dengan dewasa mengatakan kalau kegagalan pertama tadi hanya pengalaman yang akan membantunya untuk lebih siap dan bertindak lebih cermat di kemudian hari. Syukurlah, orang tuanya tidak mau menghalangi niat keras Jessica, sehingga ia dapat kembali ke laut setelah kapalnya selesai diperbaiki selama 2 minggu.

Saat pelayaran kedua Ella Pink Lady ke laut lepas pada tanggal 18 Oktober 2009, Jessica diantar beberapa kapal para pendukungnya. To be honest, saat itupun aku merasa tidak yakin dengan Jessica mengingat sendirian di laut sana, di tengah samudera luas, tidak bisa tidur nyenyak karena harus menjaga kapal yang tengah berlayar serta bagaimana kalau ada bajak laut. Ahh, bisa dibayangkan bagaimana inginnya orang tua Jessica menghentikan niatnya itu. Bayangkan, rute yang dilalui Jess adalah Sydney, Line Islands (Pacific), Cape Horn (Argentina), Cape Agulhas (South Africa), Perth, lalu kembali ke Sydney. Sangat jauh, kan?

Setelah beberapa hari di laut, saat kegiatan rutin telah terlaksana barulah Jessica merasa lega. Setiap hari, seorang meteorologist, Bob McDavitt, memberi laporan soal cuaca hari tersebut kepada Jessica. Dengan cara demikian, Jessica dapat mengatur rute perjalanan agar tidak terjebak badai. Suatu kali ia menghadapi badai yang sangat besar dengan gelombang ombak setinggi 10m di samudera Atlantik, wow, mengerikan! Syukurlah ia dapat mengendalikan dirinya dan tetap berani, walaupun saat itu sangat berbahaya baginya untuk mengemudikan kapal dari dek. Ia harus mengikat diri di dalam kabin dan membiarkan autopilot mengendalikan kapal kecil itu. Selama pelayaran, Jessica pun dapat menelpon orang tuanya setiap saat yang ia inginkan, sehingga mereka tidak kuatir mengenai kondisi Jessica. Iapun dapat terus menulis di blognya, menjawab pertanyaan para followernya di kapal. Mungkin membosankan ya, sendirian selama 210 hari di laut sendirian, berteman laut dan internet saja. Ada juga lumba-lumba yang datang menemaninya sesekali, cukuplah untuk menghilangkan rindu pada makhluk hidup lain.


Kadang perasaan moody itu menerpa Jessica dalam perjalanan. It’s understandable. Tetapi ia seringkali harus cepat memulihkan diri, tidak berlanjut pada rasa emosional berlebihan. Good job, Jessica! To be honest, sekali kita mampu memulihkan rasa bad mood dalam diri kita, tidak akan sulit untuk mempertahankan sikap positif tersebut di kemudian hari. Apalagi di tengah masa-masa yang membutuhkan kekuatan hati dan ketajaman pikiran seperti yang dialami Jessica. Salut sekali dengan kedewasaan, keberanian dan ketabahannya.

Akhirnya, 210 hari berlalu... Jessica mendarat dengan sukses di dekat Sydney Opera House. Tidak ada komentar negatif lagi dari orang-orang, kecuali, ‘sebenarnya apa tujuan Jessica, ya?’

Aku tahu jawabannya, ‘untuk membuktikan kalau siapapun dapat mencapai cita-cita mereka asal terus berusaha’...

What a history...

Perth,

pic diunduh dari life.com, news.com.au