Wednesday, March 16, 2011

Ke New Zealand kami bertualang (bagian 4: Christchurch-Haast, West Coast)


10 November 2010

Pagi hari, pukul 7 aku dan hubby meluncur di atas mobil mungil yang kami sewa dari Omega Rental, Christchurch CBD. Mobil itu penuh dengan koper bawaan dari Australia, perbekalan makanan dan 6 liter air dalam galon. Aku membawa makanan kering, kalengan, buah-buahan, roti lengkap dengan semirannya, bumbu pecel, sayuran segar serta satu kontainer nasi. Kami tidak ingin kuatir mencari makanan halal dalam perjalanan liburan tersebut.

Matahari sudah makin tinggi sehingga pemandangan menarik seperti padang rumput hijau, ternak domba dan sapi, serta pegunungan di Arthur’s Pass National Park dapat diamati baik-baik. Rencananya kami akan melintasi Arthur’s Pass, bagian central Canterbury, ke pesisir Barat (West Coast) hingga mencapai tujuan akhir Haast. Puncak pegunungan tinggi tersebut masih tertutup salju tipis putih. Kamipun berseru-seru, Subhanallah, Alhamdulillah, indah ya Allah, serta berbagai pujian lain, karena mendapat sajian pemandangan yang begitu luar biasa.


Saat mendekati taman nasional Arthur’s Pass, kami disuguhi pemandangan lain lagi, yang penuh dengan bukit berbunga, sungai kecil dengan air berwarna biru, gunung-gunung beraneka warna, ada yang coklat, hijau, tergantung tanaman yang tumbuh di atasnya. Sesekali terlihat danau dangkal kebiruan karena pantulan warna langit. Padang rumput berwarna coklat, dihiasi rumput-rumput fluffy (seperti ekor kucing lembut berbulu) yang banyak tumbuh di dataran tinggi. Puncak-puncak tertutup salju tersebut semakin dekat rasanya. Mereka bak lelehan es krim vanilla, kontras menyelubungi puncak-puncak gunung yang coklat. Kadang-kadang gunung berwarna hijau yang diselimuti rumput serta pecahan batu-batu besar ada di depan mata. Pendeknya, si pak supir dan bu turis, tak henti-hentinya berdecak kagum melihat pemandangan yang berubah-ubah dalam sekejap mata.


Huah, ngantuknya! Besok-besok disambung lagi ya...

Ternyata setelah melewati jalan berkelok, ada tempat mampir di tengah jalan Arthur’s Pass. Bagi yang sering melewati bukit Barisan (kelok 9) dan seterusnya, tempat ini seperti di Lubuk Bangku. Tempat berhenti ideal untuk meluruskan kaki, makan makanan ringan, setelah sopir dan penumpang dihajar banyak tikungan yang membuat mual dan lelah. Tetapi di Arthur’s Pass, kami tidak dapat berhenti lama, walaupun banyak juga yang dapat dilihat di sana, seperti museum, air terjun dan berbagai jenis burung. Hubby terus mengingatkan kalau kami harus mencapai pesisir Barat sebelum malam hari (sekitar pukul 8pm) saat itu.

Perjalanan kami teruskan hingga menuju Hokitika, West Coast. Begitu melewati Arthur’s Pass, vegetasi yang terlihat mulai berubah. Pegunungan mulai sedikit, hutan-hutan tropis yang lebat lebih sering terlihat. Karena West Coast terletak di bagian Barat yang lebih dekat ke Australia, maka cuacanya cenderung sedikit tropis. Hutan yang ada di daerah tersebut termasuk hutan prehistoris dengan tumbuhan dan hewan langka, khas Pulau Selatan. Sejak emas ditemukan di pulau ini, maka industri penambangan yang pesat berhasil memajukan New Zealand. Sayangnya, karena industri tersebut sering mengeksploitasi kawasan hutan, maka usaha itu dihentikan. Kini New Zealand lebih suka menjual ‘alam’nya lewat wisata dengan slogan clean and green New Zealand.

Franz Josef Glacier adalah tempat perhentian kami yang pertama di West Coast. Tempat ini sangat terkenal, karena kita bisa mendaki bukit es, masuk gua es, atau sekedar potret glacier yang berasal dari salju di puncak Mt Cook. Glacier yang meleleh tersebut membentuk sungai es beku raksasa. Foto berikut menunjukkan perubahan bentuk glacier dari tahun ke tahun. Pada tahun 2010 ini, luas glacier yang terbentuk lebih kecil dari tahun 1950. Coba bandingkan dengan glacier pada tahun 1885. Tidak heran glacier tersebut diberi nama sesuai dengan penemunya, Franz Josef. 

Glacier tersebut dilihat oleh ribuan turis setiap tahun yang sekedar ingin melihat es beku. Terus terang aku kurang tertarik mendekat, karena sebelum masuk lokasi kami diingatkan oleh bahaya avalanche mendadak. Apalagi cuaca saat itu cukup panas, padahal baru pertengahan musim semi. Sungguh tidak patutlah mencoba sesuatu yang berbahaya seperti itu. Apalagi thesis belum kelar, iskh, iskh... Jika ingin memasuki glacier tersebut, sebaiknya datanglah di musim dingin. Biaya tur sekitar $150-200 NZD, dan kita diajak masuk ke dalam glacier dan total waktu yang diperlukan kurang lebih 3 jam.


Perjalanan dilanjutkan ke Haast, destinasi pertama hari itu, yang jaraknya sekitar 130km dari Franz Josef Glacier village. Kuatir tidak dapat mencapai Haast dan check in di lodge sebelum pukul 8 malam, dengan susah payah kami berusaha menelpon lodge tersebut. Sepertinya mereka sudah terbiasa menerima tamu yang terlambat datang, karena si resepsionis mengatakan akan meninggalkan kunci kamar jika kami tidak datang sebelum pukul 8. 

Pada saat itu matahari tenggelam sekitar pukul 8 malam, saat itulah mayoritas resepsionis/kantor admin penginapan di New Zealand ditutup. Kamipun ngebut menuju Haast, tanpa sempat mampir di Fox Glacier, salah satu tempat lain untuk mengamati glacier. Perbaikan di sepanjang jalan yang hanya mengizinkan kendaraan dipacu 30km/jam membuat perjalanan sedikit terganggu. Walau begitu, kami sempat-sempatnya berhenti di Lake Matheson dan anjungan untuk mengamati West Coast atau Selat Tasman. Selat ini membatasi New Zealand dengan pulau Tasmania, Australia.


Pada pukul 7 malam, akhirnya kami sampai di Haast Lodge. Aku sempat terkejut melihat Haast yang tak taunya semacam desa kecil di tengah hutan. Aku merasa begitu jauh dari peradaban dan hiruk-pikuk dunia, hiks! Melihat lodge yang bersih dan banyak pengunjung, serta keamanan ketat di luar penginapan, aku tidak begitu kuatir lagi. Maklum, inilah malam pertama kami dalam perjalanan keliling ini.


Perth,