Baru-baru ini aku diberitahu teman kalau seseorang yang pernah kutolong telah mencoba memblack-mail diriku di depan bos. Aha! Tampaknya orang tersebut kecewa berat dengan keputusan bos yang dinilainya kurang adil. Secara sengaja ia menulis email kepada bos memberitahukan bahwa ia layak dan telah pernah mendapat ‘pelatihan khusus’ dariku (tapi tidak eksplisit) dalam bekerja.
Saat menerima berita tersebut, sebenarnya aku tidak memiliki perasaan apapun. Aku cukup terkejut dengan keberaniannya bertanya langsung pada bos, tanpa berkonsultasi padaku lebih dulu. Sebelumnya tanpa sepengetahuanku, bos ternyata pernah mewanti-wanti karyawan lain kalau kami tidak boleh memperlakukan orang lain secara khusus. Tetapi rasa solidaritasku sebagai sesama pelajar dari Indonesia, membuatku kasihan dan bertekad membantunya. Itulah yang membuat diriku merasa cukup santai menerima berita tersebut, karena aku yakin bos akan bersikap adil.
Sayangnya, seseorang menghembuskan kalimat ‘nulung malah kepenthung’ saat mendengar pengalamanku tadi. Akupun mulai berpikir, kali-kali saja aku terlalu baik hati atau nrimo saja, diperlakukan seperti ini. Pengalamanku selama 4 tahun berkutat dengan ego dan kekerasan dunia riset di sini membuatku lebih cuek menghadapi kegusaran baru dari lingkungan. Istilah itu sebenarnya kurang tepat, karena si kawan yang menulis email pada bos tidak menyebutkan nama, tetapi, kalau bos melihat latar belakangnya, sudah dapat dipastikan, kami yang berasal dari Indonesia ini pastilah si biang keladinya. Akupun ikut kesal karena teman lain dari Indo sempat bertanya padaku, karena khawatir disalahkan. Karena itu aku malah berubah jadi jengkel pada si teman yang mengirim email pada bosku tadi.
Apa kira-kira yang harus aku lakukan? Menanyakan langsung ke si teman, tentu saja akan membuat dia akan defensif. Jika aku pura-pura tidak mengetahui apa yang terjadi, ia pasti girang, karena merasa aku tidak akan marah atau tidak punya sikap.
Anyway, aku tidak ingin didesak teman yang memberikan kabar ini padaku, tetapi aku juga kecewa diperlakukan seperti itu lagi oleh teman yang mementhung diriku. Aku ingat baik-baik, bahwa ‘orang-orang zalim tidak akan beruntung’. Yang penting, aku telah ikhlas tadinya menolong, jadi pahala itu harus aku pertahankan baik-baik dengan tidak menggosipkannya kembali atau menyerangnya untuk memberi kepastian. Untuk dia, aku akan lebih berhati-hati dan seadanya saja, karena aku telah kehilangan kepercayaan pada dirinya.
Allah itu Maha Adil. Dia mengetahui yang terbaik untuk kita.
Biarpun aku dipenthung oleh si dia, temanku tadi, aku memutuskan untuk tetap bersikap baik dan membantu siapa saja yang membutuhkan pertolonganku jika aku mampu. Biarlah Allah saja yang menilai dan aku tidak perlu mengambil sikap kelewat curiga atau hati-hati atau merasa diperdaya lagi oleh orang lain. Janganlah hal ini menghentikan keinginan berbuat baik yang mengalir dalam diri kita. Hanya Allah akan memberi ganjaran tiap perbuatan dengan adil, Insya Allah.
Itu sajalah yang kuingat.
Perth,