Sunday, June 14, 2009

Karena bukan lagu kesukaan Dinda (2)


Sudah hampir tiga hari Dinda menolak telepon, sms bahkan kunjungan teman-temannya. Dinda merasa malas bertemu karena teman-temannya tidak mau memainkan lagu pilihannya. Kalau mereka masih bersikeras lagu Ello, aku juga bisa bersikukuh ingin lagu Audy, pikir Dinda.

Kenapa Dinda tidak mengalah saja menyanyikan lagu Ello sesuai keinginan teman-temannya? Lagipula soal kesukaan lagu saja, kenapa Dinda jadi ngambek begini. Tetapi aku kan tidak bisa menyanyikan lagu Ello begitu saja. Yang pasti lagu Audy lebih cocok untukku, pikir Dinda kesal. Sejenak kemudian Dinda menghela nafas panjang. Ia menyadari telah bersikap egois dan merasa menyesal. Tetapi kalau meminta maaf, nanti dulu… Dinda ingin tahu seberapa besar ia bisa bertahan tanpa mereka.

Begitu membuka pintu pagar, Dinda segera teringat kebun belakang yang teduh dan asri. Dinda malas masuk ke rumah. Ia berjalan mengitari rumah menuju kebun belakang. Ia tidak lapar. Mungkin duduk-duduk sedikit sambil memperhatikan ikan koi tidak akan membuat lapar. Mungkin juga dapat menghilangkan rasa kesalnya.

Dinda segera duduk di bangku taman. Rasanya tidak pernah senyaman ini. Angin bertiup semilir melenakan Dinda. Bunga-bunga yang bermekaran bergoyang-goyang mengikuti angin. Sesekali tercium wangi dari rumpun melati dan pohon kenanga yang harum menyegarkan.

Dinda melirik kolam kecilnya. Pohon papyrus melenggok-lenggok bergoyang ditiup angin. Koi belang merah putih hitam berkejaran dengan teman-teman di balik teratai. Koi ini cukup nakal karena suka menggoda teman-temannya sesama koi. Dinda tersenyum mengamatinya. Koi dengan warna dominan merah itu lalu berenang jauh di balik teratai. Sementara itu beberapa ikan koi lain secara berkelompok berenang bersama ke kelompok daun teratai lain. Si koi dominan merah tidak mau bergabung dengan kelompoknya, masih saja berenang sendiri di pojok dekat tepi kolam.

Tiba-tiba Dinda melihat kucing liar yang gemuk di sisi kolam. Padahal dari tadi ia tidak melihat barang seekor kucingpun. Kolam itu cukup dangkal, kucing bisa saja menyambar koi itu. Dinda mendadak berdiri. Ia berlari ke ujung kolam dan menghalau kucing tersebut. Kucing yang tengah terkejut itu mendadak lari entah ke mana dengan ekspresi jengkel. Dinda telah merusak kesenangannya.

Sejenak Dinda melihat koi merah itu berenang kembali ke kelompoknya. Ikan itu kembali bermain dengan teman-temannya. Tetapi kali ini mereka tampak berenang bergerombol ke balik teratai yang lain. Dinda lega melihatnya. Karena koi itu tidak dimakan kucing gemuk tadi.

Dinda duduk kembali ke bangku taman yang nyaman di bawah keteduhan pohon mangga. Bila musim mangga, pohon ini akan berbuah banyak dan rasanya sungguh segar. Tetapi musim kering tidak memberikan apa-apa kecuali tawaran kesejukan bila berteduh di bawahnya.

Koi itu, pikir Dinda sambil melihat ikan merah itu kembali. Koi itu sama seperti aku. Dia tadi sedang sendiri, dan aku juga merasa sendiri. Biasanya teman-teman kelompok bandnya akan mengantarnya pulang karena rumah mereka berdekatan. Tetapi tadi mereka tidak muncul sehingga Dinda pulang sendiri naik bus. Lalu siang-siang begini biasanya mereka akan datang untuk belajar bersama, kadang di rumah, kadang di kebun belakang ini. Kemudian mereka akan berlatih band di studio yang tidak jauh dari rumah Dinda.

Koi itu sendiri dan dia hampir saja dimakan kucing, sesal Dinda. Tiba-tiba Dinda merasa kehilangan teman-temannya. Aku juga tadinya berkelompok, ternyata harus sendiri. Apakah ada kucing yang akan memakan aku jika sendiri begini? tanya Dinda dalam hati. Kucing tidak akan memakan aku, tetapi kesepian ini kucingnya yang akan memakan aku hingga sedih, pikir Dinda.