Tuesday, June 2, 2009

Bersiap itu pasti



Tahun lalu waktu pulang kampung, aku mengingatkan beberapa mahasiswa bimbingan untuk selalu ’bersiap-siap’ dalam menghadapi masa depan. Kita toh, tidak tahu seperti apa masa depan kita, tapi melakukan persiapan lebih pasti daripada tidak bersiap. Kadang beberapa kesempatan akan datang di saat-saat tidak terduga, akhirnya orang paling siap-lah yang jadi pemenangnya.

Bersiap di sini, maksudku, melakukan persiapan dalam mencapai cita-cita. Itu bisa berupa skill atau harta fisik. Misalnya, sebagai seorang pelajar, persiapan yang kita miliki berbeda. Kita mesti siap secara keilmuan dan keahlian. Beberapa persiapan penting yang perlu kita miliki, seperti IPK tinggi, kemampuan bahasa Inggris, komputer, sampai kemampuan berdiskusi, negosiasi atau organisasi. Semua itu perlu kita pikirkan saat kita mulai masuk kampus dan membayar uang SPP. Pada dasarnya, itulah sebabnya kita perlu sekolah dan bekerja keras lalu dihadiahi titel. Sebab, kita melaksanakan persiapan untuk masa depan agar dapat berkontribusi lebih banyak bagi masyarakat. Kalo intinya sekolah biar dapat uang banyak, yah, bisa juga... tapi niat membantu orang seharusnya lebih diutamakan.

Saat aku kuliah dulu, aku malas sekali kursus bahasa Inggris. Sedang mendapatkan nilai bagus saja sudah sulit, ditambah lagi beban-beban seperti kursus bahasa dan berorganisasi. Sayangnya, keinginan untuk stop kursus tidak didukung ortu, sehingga aku harus tetap les dua kali seminggu di Jogja (waktu itu kita tinggal di Jl Kaliurang, sekitar 20km dari tempat les). Aku mengerti kalau bersiap-siap lebih pasti, daripada terus menurutkan rasa malas. Anyway, dua setengah tahun tidak terasa, setelah itu aku ikutan tes TOEFL yang pertama. Tak disangka, Alhamdulillah, saat lulus kuliah, nilai TOEFL itu jadi tiketku sekolah ke luar negeri dan mendapat pekerjaan menjadi dosen di UNRI.

Kemudian, saat mengerjakan riset aku sering mendapat hambatan seperti keterlambatan pengadaan material, alat atau tenaga ahli. Tapi tiap mendengar kabar buruk itu, aku merasa harus bekerja semakin keras. Prinsipku, no time to worry... aku harus jalan terus, karena... ’bersiap-siap lebih pasti’, dan tidak siap-siap sudah pasti tidak mendapatkan apa-apa. Syukurlah, walau sering terjadi delay, tapi karena jalan terus, entah kenapa, tak disangka-sangka, Allah menurunkan bantuan sehingga riset tetap bisa berjalan. Misalnya saat aku kehabisan fly ash, aku masih punya stock cukup untuk satu bulan, padahal stock baru belum tentu akan datang dalam sebulan, tapi aku ga stop membuat sampel. Saat fly ash sudah nyaris habis, tinggal sekilo-dua kilo, tak disangka ada teknisi yang menemukan delapan bucket fly ash di gudang! Subhanallah... aku bisa jalan terus. Kalau aku stop kan aku pasti udah kehabisan waktu mau melanjutkannya. Aku sempat surprise juga, karena sudah mo mutung rasanya, ga ngerjain riset dulu. Mungkin mo murung dulu sebulan... tapi karena ga mau menghabiskan waktu dan merasa yakin bahwa aku harus terus berjalan bersiap menyelesaikan thesis, maka waktu tidak terbuang percuma.

Sama halnya dengan pulang ke kampung akhirat nanti, maka kita perlu mengecek apakah kita sudah melakukan persiapan. Kita lalai karena merasa waktu masih cukup untuk bersiap. Padahal umur terus bertambah, amal jariyah tidak bertambah-tambah. Aku masih sering melihat orang membuang-buang waktunya percuma dengan hal-hal tidak bermanfaat untuk persiapan saat kita pulang kampung nanti. Kebanyakan menonton tivi, menggosip, berpikiran negatif, bermalas-malasan, berfoya-foya, shopping sana-sini dan sekarang... facebook, yang membuat orang tidak produktif, adalah contoh-contoh hal-hal yang mengganggu persiapan kita. Mudah-mudahan kita bertobat dan berusaha melaksanakan persiapan serius untuk pulang kampung ke akhirat. Insha Allah.

Perth,
’Mati itu pasti’, ’bersiap itu pasti’, dan tidak bersiap... maka merugi.