Friday, September 11, 2009

Lunch Box


Cerita kenangan beberapa tahun lalu saat masih bekerja di kampus. Hingga saat ini kami masih membawa bekal lunch bahkan dinner ke office. Serunya, di sini makanan bisa disimpan di fridge dulu dan dihangatkan di microwave sebelum dimakan. Anyway, hidup 'menenteng' lunch!

Setiap pagi setelah sarapan aku sibuk menyiapkan bekal untuk makan siang untukku dan suami di kantor. Nasi yang selesai dimasak dimasukkan ke kotak-kotak plastik setelah didinginkan terlebih dahulu. Kemudian giliran lauknya dimasukkan ke plastik kecil agar tidak bercampur dengan nasi. Sepotong tempe atau tahu diletakkan di antara nasi dan lauk berisikan plastik. Sementara dua sendok sayuran di dalam plastik lain melengkapi isi kotak tadi. Sebagai pencuci mulut aku menyiapkan dua buah jeruk mandarin. Setelah kotak berisi bekal dan jeruk tadi dimasukkan ke kantong kertas, aku tidak lupa menyertakan dua buah sendok dan tisu ke dalamnya.

Kukira aku sendiri yang selalu tergesa-gesa menyiapkan bekal makan siang tersebut. Ternyata ibuku juga mengalaminya sendiri sebelum ayah mendapatkan makan siang gratis di restoran perusahaan. Biasanya ibu menggunakan rantang dua susun untuk meletakkan nasi, lauk-pauk dan sayurannya. Lalu ayah membawa susunan rantang tersebut ke kantor.

Membawa bekal makan siang sendiri dari rumah ternyata bukan perkara mudah. Rata-rata teman-teman sekantor menyatakan ogah menenteng makan siang mereka dan memilih makan siang di warung yang cukup jauh dari kantor atau pulang ke rumah. Jangankan untuk membawanya, menyiapkannya saja sudah malas. Menurut mereka, membawa bekal makan siang sendiri sangat merepotkan, karena kalau ditaruh di tas tidak muat, tetapi kalau ditenteng kok tidak keren. Masa dosen menenteng makan siang kemana-mana.

Menurutku boleh saja mereka berpendapat demikian, padahal makan di warung tentu saja tidak efisien. Pertama, jarak tempuh yang cukup jauh memerlukan kendaraan. Kedua, tentu saja makan siang tiap hari di warung cukup mahal. Apalagi harga makanan matang cukup mahal. Bayangkan sepiring nasi dan soto ayam ditambah segelas es teh saja bisa menguras kantong Rp 8.000 di warung kecil. Belum lagi godaan untuk ngemil tempe barang sepotong atau kerupuk udang besar yang gurih. Ketiga, kadang-kadang makan bersama di warung menjadikan waktu makan sangat lama sehingga mengganggu jadwal pekerjaan berikutnya. Aku selalu gusar menunggu teman-teman yang tidak tepat waktu dengan alasan makan siang. Tapi mau bagaimana lagi…

Tapi tentu saja masih ada orang-orang idealis yang mengutamakan kebersihan, kelezatan, kesehatan… terutama kesehatan kantong… hehehe… Beberapa atasanku yang notabene dekan fakultas dan ketua lembaga tertentu di kampus saja masih rela membawa makan siangnya sendiri setiap hari. Selain beberapa alasan tadi masih ada tambahan alasan menarik yaitu penghematan waktu untuk makan siang. Membawa bekal sendiri dapat mengurangi waktu yang diperlukan keluar dari kantor. Padahal dengan tetap berada di kantor selama istirahat makan siang, mereka bisa saja makan ambil membaca, menonton, mengetik di komputer… bahkan melaksanakan bimbingan tugas akhir dengan mahasiswa! Bayangkan berapa banyak waktu yang bisa dihemat kalau bawa lunch box!

Tetapi akhir-akhir ini sejak kantin fakultas tutup kulihat ada kebiasaan baru tiap jam makan siang. Tiba-tiba saja pak Andi salah satu kolegaku mengajak kami makan siang bareng. Tentu saja pak Andi sedang berbasa basi, wong nasinya saja satu kotak kecil… mana mungkin bisa dibagi untuk semua. Tetapi keherananku bertambah saat bu Reni ketua Program Studi dan sekretarisnya Neni segera menyambut ajakan pak Andi. Ternyata mereka telah bergabung dengan gembiranya di meja pak Andi untuk makan siang bersama.

Setelah ada kepastian kantin tidak akan dibuka lagi, kulihat klub makan siang bertambah anggotanya. Sambil makan mereka bercanda dan bercerita dengan gembira. Ternyata waktu makan siang dapat juga dijadikan ajang sosialisasi. Kulihat anggotanya juga sudah tidak malu-malu mengeluarkan makanannya dari tas mereka.

Suatu hari suamiku harus membawa lunch box kami ke kantornya. Karena tergesa-gesa, suamiku menjatuhkan kantung lunch box. Alhasil sendok-sendok berserakan di kakinya dan mahasiswa di sekitarnya hanya tertawa-tawa keheranan. Uh, biarin, dumel suamiku. Yang penting bisa makan siang dengan enak dan murah… biarpun harus menenteng sendok atau kejatuhan di depan umum sekalipun.

Pak Dekan juga turut memperhatikan kebiasaan kami menenteng kantung makanan dari kantung plastik hitam bermerk agen isi ulang cartridge printer. “Baru pulang belanja pak?” tanya pak Dekan. Kita hanya tersipu, “Bukan pak, ini membawa makan siang.” Pak Dekan melanjutkan, “ Iyalah, kalau kita yang tua-tua ini kayaknya tidak bisa makan kalau tidak di meja makan,” Sambil mendengar itu aku dan suami hanya bisa saling bertukar senyum.

Kantung lunch box juga bisa membuat suamiku mogok membawa bekal makan siangnya. “Masa aku dibelikan kantung bergambar Strawberry shortcake? Apa tidak ada yang lain, yang lebih 'feminin'?” Gerutu suamiku. Aku hanya tertawa lebar mendengarnya. Aku memang membelikannya kantung lunch box supaya kantung lama bisa diganti. Hanya saja aku tidak menemukan corak kantung yang sedikit maskulin atau berwarna netral. “Kamu itu sungguh tidak manusiawi… lagipula apa kata mahasiswa nanti…” Hahaha, ternyata dia tidak secuek yang kupikirkan:)

Perth,
saat lunch box jadi penghuni tetap my backpack:)

No comments: