Tuesday, September 8, 2009

Tertipukah Kita?


Terinspirasi dari ‘Masyarakat Substantif”
link http://www.eramuslim.com/suara-kita/pemuda-mahasiswa/alwi-alatas-masyarakat-substantif.htm


Penampilan, kekayaan, gelar dan jabatan sering menjadi tujuan utama dalam hidup orang di dunia ini.

”Kalau tante tidak pakai barang bermerk, tante sering tidak dipandang orang, lho,” kata tanteku saat kulihat koleksi tas dan sepatu bermerknya yang berjibun.

”Uang itu segala-galanya. Punya uang, beres deh. Tidak bahagia, ya tinggal shopping, makan-makan, jalan-jalan, dijamin hepi lagi,” tulis seorang remaja di blognya.

”Pokoknya mbak ga nyesal beli rumah di perumahan kami. Ada anggota DPR lho yang beli. Pasti bentar lagi jalanan ke arah sana diaspal,” kata mas marketing saat kami menanyakan harga rumah di perumahannya.

Wadao, wadao, aku geleng-geleng kepala. Kok jadi gini? Katanya ”jangan menilai dari tampak luar”, tapi kok lama-lama orang terperosok juga pada outer quality saja tanpa mempertimbangkan inner quality. Tas bermerk menjamin orang mengagumi kita? Apakah saya peduli dengan Gucci, Louis Vitton atau Bonia? Uang bikin hepi? Short term kali, kalo tetap ga hepi, uang lagi, uang lagi... kapan bahagianya? Anggota DPR? Aduh, bosen deh, seolah mereka jadi jaminan mutu. Who cares so much dengan anggota DPR dan kekayaannya?

Inilah tipuan dunia dan segala isinya. Saat si hebat dan kaya melangkah, semuanya terpana dan terpesona walaupun si kaya dan hebat tadi menggunakan cara tidak jelas dalam mencapai kekayaan atau kehebatannya. Sudah pasti sikap ’cinta dunia’ membuat kita lebih mementingkan apa yang ada di dunia dan segala isinya. Semua ingin berteman dan menjadi pengikut si sukses (in term harta, gelar dan jabatan). Seolah-olah tidak ada kualitas lain seperti kepribadian baik, rajin beribadah, ramah dan penyayang, serta mencintai sesama yang perlu dibesar-besarkan. Tapi, kata mereka, bukankah itu juga fitrah manusia, senang yang indah-indah... ya kan? Ya, tapi jangan berlebihan sekali memuja mereka.

Itulah sebabnya, mayoritas masyarakat Indonesia mengelu-elukan selebriti lewat tayangan dan taburan berita di berbagai media. Menurut mereka, sudah tampil menjadi aktris/aktor kaya, penyanyi bersuara emas lalu kaya atau bahkan jadi figuran dan kaya--- itu penting. Padahal menjadi tenar dan kaya (misalnya) bukan menjamin dirinya akan masuk surga pula di kemudian hari. Disamping itu, sikap buruk pujaan itu merasuk ke dalam sanubari para pemujanya, sehingga kadang mereka latah meniru kelakuan selebriti-selebriti tadi. Entah meniru penampilan, tongkrongan, gaya hidup, pendapat, sampai pemikiran yang jelas-jelas sering menyimpang dan tidak sehat.

Aku pernah mengalami bagaimana penampilan/harta/jabatan memang di perlukan walau berada dalam sebuah kelompok penulis yang kutau cukup agamis. Saat aku muncul dengan sikap biasa, pendiam, sederhana, tidak aktif, terlihat nervous, sehingga orang tidak tertarik mengajakku berkomunikasi. Bahkan saat aku mencoba berinteraksi, kadang jarang ditanggapi. Mereka seperti memilih-milih anggota mana yang terlihat cerdas, kaya, cantik atau berwibawa. Sampai suatu kali, seorang mahasiswaku tidak sengaja membongkar identitasku di sana. Ia lupa menghilangkan gelar saat menuliskan namaku di papan tulis dan bercerita tentang pengalamanku sebagai juri lomba karya ilmiah di kampus. Setelah momen itu, kok aku merasa banyak orang berubah tanggapannya tentangku. Pendapatku mulai diminta, didengarkan dan dilaksanakan. Teman-teman yang tadinya memandang rendah, mulai bertanya macam-macam dan menjadikanku rujukan. Astaghfirullah... mungkin begitulah kita, begitulah juga aku... sering memandang manusia dari sisi luarnya saja. Begitu tau ia memiliki ’sesuatu’, maka kita langsung merubah pandangan kita terhadapnya. Tetapi, saat itu semua jadi tidak indah lagi sebenarnya, karena sudah lupa untuk tulus pada sesama. Hanya tulus pada si ’yang mulia’ di matanya.

Sikap demikian membuatku sadar, tapi sering juga tak sadar-sadar. Saat aku begitu mengagumi seseorang yang ’hebat’ di mataku, aku sering harus mengingatkan diriku untuk tidak terlalu memujanya. This is not a perfect world... pasti orang tersebut ada kelemahan yang belum kuketahui. Sedangkan jika aku mulai meremehkan seseorang, aku berkaca pada diriku, apa yang sudah aku lakukan, siapa tau orang tersebut lebih disayang Allah daripadaku. Mungkin ia sayang pada kedua orang tuanya dibanding diriku dan mungkin juga nasibnya akan lebih baik dariku di masa depan, kataku menyesali diri.

So, friends… janganlah tertipu dengan gunung emas, tetapi lihatlah gunung batubara yang hitam itu, walaupun hitam, tetapi banyak memberi makna pada kehidupan kita…

Perth,
Tertipuuu, huhuhu… (Nugie).

No comments: