Friday, January 6, 2012

Bakat vs Ketekunan

Hah, banyak amat, seruku dalam hati saat melihat beberapa teman dengan wajah kusut membawa beberapa gulungan gambar di tangan mereka. Tugas mingguan, delapan gambar dalam seminggu, teman dekatku berkata. Delapan gambar seminggu! Pastilah para calon arsitek itu harus punya bakat menggambar untuk menyelesaikan semua tugas dengan baik dan tepat waktu.

“Sebenarnya kak, apakah kita perlu punya bakat dalam menggambar untuk masuk Arsitektur?” tanyaku pada seorang senior dari Jurusan Arsitek suatu hari. Aku masih belum bisa membayangkan apa jadinya tugas-tugas tanpa bakat tersebut. Lagipula aku tahu ia pintar menggambar, karena tugas-tugasnya kerap menjadi contoh di papan pajangan.

“Tidak juga sih,” jawabnya. 

“Semua orang sebenarnya bisa belajar menggambar, tetapi kalau ia punya bakat, maka gambar yang dihasilkan biasanya terlihat lebih hidup”.  

Oh, jadi itu bedanya. Orang tak berbakat juga bisa menghasilkan gambar yang bagus, tetapi si berbakat kalau bisa mengeksploitasi kejeliannya, maka ia menghasilkan gambar yang jauh lebih menyentuh.


Si pintar yang tak pernah bertanya

Ada sebuah kejadian lain lagi soal bakat yang cukup membekas dalam hatiku. Hal ini terjadi antara kami para peserta tutorial dengan dosen Statistika. 

Sang dosen Statistika melihat wajah kami para peserta asistensi dengan ekspresi datar. “Kalau kalian tetap rajin begini, pastilah kalian akan lulus ” katanya membesarkan hati. Ia tahu kami selalu mau bersusah-payah mengerjakan tugas-tugasnya yang sulit dan menunggu dengan sabar saat beliau mengoreksi pekerjaan kami. Padahal banyak juga yang tidak memahami dengan baik apa yang beliau ajarkan, meski sudah membaca berbagai buku. 

“Saya tahu ada satu dua orang di kelas kalian yang sangat pintar dan hasil kuis mereka selalu sangat memuaskan” lanjut beliau. 

Kamipun saling berpandangan dengan wajah penuh tanya. 

“Sayangnya, mereka tidak pernah datang bertanya pada saya, padahal kalau mereka mau berdiskusi dengan saya...” ia kemudian tidak melanjutkan kata-katanya. Siapapun itu, aku turut menyesal karena kalau temanku mau datang, siapa tahu ia bisa mendapatkan nilai sempurna dalam mata kuliah ini, sesalku.


Jurus dua golok
Soal bakat vs ketekunan juga disinggung dalam buku Ranah 3 Warna (karangan Ahmad ‘Negeri 5 Menara’ Fuadi). Hal ini berkaitan dengan ‘jurus dua golok’ yang diajarkan oleh Kyai mereka di Pondok. Dalam jurus ini digunakan dua macam golok yang untuk memotong sepotong tongkat kayu. Golok pertama berkilau, tajam dan sering diasah. Sedangkan golok kedua karatan, tumpul dan sudah pasti sebaiknya diasah dahulu sebelum digunakan oleh sang Kyai.

Sang Kyai mendemonstrasikan bahwa golok yang sangat tajam tadi jika tidak digunakan sebagai mana mestinya dan asal-asalan, ternyata tidak dapat memotong sebilah kayu tadi. Sedangkan golok tumpul plus karatan yang digunakan dengan serius, terus-menerus dengan irama konsisten malah pada akhirnya membuat tongkat kayu terpotong. Tentu saja perlu waktu lebih lama untuk memotong kayu dengan golok tumpul, tetapi jika si golok tajam tak serius memotong maka ketajamannya tadipun tidak terlalu berguna.

Kyai tersebut mengajarkan lewat jurus dua golok, bahwa orang yang tidak terlalu berbakat tetapi selalu serius dan tekun berusaha dalam mengerjakan sesuatu pada akhirnya akan menuai hasil memuaskan juga

Meskipun orang berbakat akan menghasilkan produk yang lebih ‘berkilau’ daripada si tak berbakat, tetapi keberhasilan akhir mereka tergantung dari keseriusan dan ketekunan mereka sendiri.


Tidak hanya mengandalkan bakat saja
Berdasarkan cerita di atas, maka mudah dimengerti kalau untuk berhasil, tidak murni hanya menggunakan bakat saja. Asal seseorang mau mencari jalannya, tekun berusaha dan tidak gampang menyerah, maka ia akan mendapatkan imbalan setimpal, yaitu sebuah kesuksesan. 

Oleh karena itu, kita harus berhenti berkata pada diri kita maupun kepada orang lain kalau kita tidak berbakat dalam melakukan sesuatu.

Prof Habibie pernah mengakui kalau dirinya hanyalah orang yang tekun berusaha dan bukan termasuk orang jenius (buku Habibie dan Ainun). Untuk ukuran orang sekaliber beliau, kurasa, pengakuan ini hanyalah bentuk kerendahan hati beliau saja. Saat mengambil doktor di Jerman, meskipun waktunya banyak dihabiskan saat bekerja paruh waktu, seperti merancang gerbong kereta api ringan, ia tetap bisa lulus dengan nilai cemerlang. Sepertinya, ia lebih suka dikatakan sebagai orang yang tekun dan giat berusaha ketimbang seorang super jenius di bidangnya. Hal ini menunjukkan, bahwa bakat semata bukanlah satu-satunya penentu kesuksesan, tetapi juga ketekunan dan keseriusan.

Bagi adik-adik mahasiswa atau teman-teman yang mengatakan ia tidak berbakat di suatu bidang, sebaiknya mereka meralat pola pikir anda. Kita tidak selalu harus berbakat dalam suatu bidang, lalu baru dapat terjun ke dalamnya. Insya Allah berkat ketekunan dalam berusaha, kita bisa juga kok meraih impian dalam hidup.

Pekanbaru,

No comments: